Jejak Digital di Hati: Cinta yang Terlupakan AI?

Dipublikasikan pada: 30 Sep 2025 - 00:20:15 wib
Dibaca: 124 kali
Aplikasi kencan itu berkedip di layar ponsel Anya, menampilkan wajah-wajah yang familiar sekaligus asing. Sudah enam bulan sejak perpisahannya dengan Kai, enam bulan sejak dunia Anya terasa kehilangan warnanya. Mereka bertemu di aplikasi ini dua tahun lalu, sebuah algoritma mempertemukan dua jiwa yang katanya serasi. Ironisnya, algoritma yang sama seolah kini berusaha menghapus jejak Kai dari hidupnya.

Anya menggeser layar, mencoba mencari distraksi. Setiap wajah yang lewat, setiap profil yang menjanjikan petualangan baru, hanya mengingatkannya pada Kai. Senyumnya yang teduh, caranya menggigit bibir saat berpikir, bahkan aroma parfumnya yang selalu tertinggal di bantal Anya. Semua itu, terasa seperti jejak digital yang tak terhapuskan di hatinya.

Kai adalah seorang programmer AI, pencipta aplikasi kencan yang kini Anya benci. Ia selalu bersemangat menceritakan tentang bagaimana algoritmanya bekerja, bagaimana ia berusaha menciptakan koneksi yang tulus di dunia maya. Dulu, Anya terpesona dengan dedikasinya. Sekarang, Anya hanya merasa dipermainkan. Apakah cinta mereka hanyalah hasil dari kode yang rumit? Bisakah sebuah program benar-benar memahami perasaan manusia?

Sebuah pesan masuk. Dari nomor yang tak dikenal.

"Anya, ini aku, Kai. Aku tahu ini mungkin aneh, tapi aku harap kamu mau membaca pesanku."

Jantung Anya berdegup kencang. Ia menggigit bibirnya, ragu untuk membuka pesan itu. Apakah ini bagian dari strategi Kai untuk kembali padanya? Atau hanya kebetulan belaka? Akhirnya, rasa penasaran mengalahkan keraguannya.

"Aku tahu kamu mungkin membenciku. Aku tahu aku menyakitimu. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku tidak pernah menyesali pertemuan kita. Kamu adalah hal terbaik yang pernah terjadi padaku."

Anya terdiam. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak tahu harus merasa marah, sedih, atau lega.

"Setelah kita berpisah, aku terus memikirkanmu. Aku bahkan mengubah algoritma aplikasi kencan itu. Aku menambahkan fitur 'kenangan', yang secara acak menampilkan momen-momen penting dalam hubungan pengguna. Tujuannya bukan untuk membuat mereka terjebak dalam masa lalu, tapi untuk membantu mereka belajar dari pengalaman, untuk menghargai apa yang pernah mereka miliki."

Anya tertegun. Jadi, selama ini, aplikasi itu tidak hanya berusaha menghapus Kai dari hidupnya, tetapi juga mencoba membantunya memahami apa yang hilang?

"Aku tahu ini mungkin terdengar gila, tapi aku percaya bahwa cinta sejati itu bukan hanya hasil dari algoritma. Cinta adalah tentang pilihan, tentang komitmen, tentang perjuangan untuk tetap bersama meskipun ada badai. Dan aku, Anya, aku memilihmu. Aku berkomitmen padamu. Aku siap berjuang untukmu."

Anya menghapus air matanya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Apakah ia harus mempercayai Kai lagi? Apakah ia harus memberinya kesempatan kedua?

"Aku tidak memintamu untuk langsung memaafkanku. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku masih mencintaimu. Dan aku bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkanmu kembali. Aku tahu kamu benci aplikasi itu, tapi bisakah kamu setidaknya bertemu denganku? Biarkan aku menjelaskan semuanya secara langsung."

Anya terdiam lagi. Ia menatap layar ponselnya, menimbang-nimbang keputusannya. Di satu sisi, ia masih terluka dan marah. Di sisi lain, ia merindukan Kai dengan segenap hatinya.

Akhirnya, ia mengetik balasan singkat.

"Oke. Di mana?"

Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil, tempat mereka sering berkencan dulu. Kai sudah menunggu di sana, mengenakan sweater abu-abu kesukaannya. Ia tampak lebih kurus dan lelah.

"Anya," sapanya lembut, suaranya bergetar.

Anya mengangguk singkat dan duduk di depannya. Suasana canggung menyelimuti mereka.

Kai mulai berbicara, menceritakan tentang penyesalannya, tentang bagaimana ia merindukan Anya, tentang bagaimana ia menyadari bahwa cinta mereka lebih dari sekadar algoritma. Ia mengakui kesalahannya, ia meminta maaf dengan tulus.

Anya mendengarkan dengan seksama, mencoba membaca ketulusan di matanya. Ia melihat ada kesedihan yang mendalam di sana, sebuah penyesalan yang nyata.

"Aku tahu aku menyakitimu," kata Kai, suaranya serak. "Dan aku tidak tahu apakah kamu bisa memaafkanku. Tapi aku harap kamu tahu bahwa aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Kamu adalah satu-satunya wanita yang aku inginkan."

Anya terdiam. Ia menatap Kai, mencoba mencari jawaban di dalam hatinya. Apakah ia siap untuk membuka hatinya lagi? Apakah ia siap untuk mengambil risiko lagi?

Ia teringat akan semua kenangan indah mereka, semua tawa, semua dukungan, semua cinta yang mereka bagi. Ia teringat akan bagaimana Kai selalu membuatnya merasa istimewa, bagaimana ia selalu membuatnya merasa dicintai.

Akhirnya, ia mengambil keputusan.

"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan," kata Anya, suaranya pelan. "Tapi aku bersedia mencoba. Aku bersedia memberimu kesempatan kedua."

Mata Kai berbinar. Ia meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat.

"Terima kasih, Anya," bisiknya. "Terima kasih sudah mau memberiku kesempatan."

Mereka berpandangan, saling tersenyum. Mungkin, cinta mereka memang bukan hanya hasil dari algoritma. Mungkin, cinta mereka memang ditakdirkan untuk terjadi.

Anya masih ragu, tapi ia percaya bahwa dengan komunikasi yang jujur dan komitmen yang kuat, mereka bisa membangun kembali hubungan mereka. Ia percaya bahwa jejak digital di hatinya, yang dulu terasa menyakitkan, kini bisa menjadi pengingat akan cinta yang pernah ada, dan harapan akan cinta yang akan datang. Mungkin, cinta yang terlupakan AI, bisa ditemukan kembali dalam dunia nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI