Aroma kopi robusta mengepul, berpadu dengan desingan halus dari laptop di pangkuannya. Di kedai kopi sudut kota yang remang-remang, Anya, seorang data scientist muda, menatap layar dengan dahi berkerut. Algoritma machine learning yang ia rancang untuk memprediksi kecocokan pasangan seolah mengejeknya dengan sederet angka yang tak kunjung menemukan pola. Padahal, ia sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan, membenamkan diri dalam lautan data kencan online, menganalisis preferensi, kebiasaan, bahkan pola pengetikan.
Tujuannya sederhana: membuktikan bahwa cinta, yang selama ini dianggap misteri, bisa dipahami dan bahkan diprediksi melalui data. Sebuah ironi, mengingat Anya sendiri kesulitan menemukan cinta.
Ia menyesap kopinya, pahitnya senada dengan kekecewaannya. Aplikasi kencan yang ia gunakan hanya menghasilkan obrolan basa-basi dan janji-janji kosong. Ia merasa seperti subjek penelitiannya sendiri, terjebak dalam lingkaran algoritma yang tak memihaknya.
“Lagi nyari jodoh, ya?”
Anya terlonjak kaget. Seorang pria berdiri di samping mejanya, senyumnya ramah namun terasa menggoda. Rambutnya sedikit berantakan, kacamatanya melorot di hidung, dan kaos band indie yang dikenakannya tampak kebesaran. Penampilannya jauh dari tipe ideal yang selama ini ia simpan dalam benaknya.
“Maaf, saya tidak bermaksud menguping,” lanjut pria itu, “tapi kelihatannya kamu sedang bergelut dengan angka. Saya juga, sih. Saya programmer.”
Anya mengangkat alis. “Saya Anya. Dan ya, saya sedang mencoba memecahkan misteri cinta.”
“Menarik. Saya Rei. Mungkin saya bisa bantu? Saya biasanya memecahkan masalah yang lebih duniawi, seperti bug di sistem e-commerce, tapi cinta mungkin tantangan yang seru.”
Anya tertawa kecil. “Saya rasa kamu akan kewalahan. Algoritma saya sendiri saja menyerah.”
“Jangan meremehkan kekuatan debugging,” balas Rei dengan senyum. “Siapa tahu ada error yang tersembunyi dalam datamu.”
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Rei ternyata tidak hanya programmer biasa. Ia memiliki ketertarikan yang sama dengan Anya, yaitu mengaplikasikan teknologi untuk menyelesaikan masalah. Bedanya, Rei lebih fokus pada masalah sosial, seperti membangun platform untuk menghubungkan petani dengan pasar.
Selama beberapa minggu berikutnya, mereka bertemu secara rutin di kedai kopi itu. Rei menawarkan perspektif baru pada algoritma Anya. Ia menyarankan untuk memasukkan variabel yang selama ini diabaikan Anya, seperti selera humor, minat seni, dan bahkan tingkat kepekaan emosional.
“Algoritma tidak bisa menangkap hal-hal abstrak seperti itu,” bantah Anya.
“Mungkin belum. Tapi kita bisa mencoba mencari representasi datanya,” sahut Rei. “Misalnya, selera humor bisa diukur dari frekuensi penggunaan emoji atau pilihan kata-kata tertentu.”
Anya mulai terpengaruh. Ia merevisi algoritmanya, menambahkan variabel-variabel baru yang disarankan Rei. Hasilnya? Algoritma itu mulai menghasilkan prediksi yang lebih akurat, bahkan terkadang menakutkan.
Namun, ada satu hal yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma itu: perasaannya sendiri.
Semakin sering ia bertemu Rei, semakin kuat perasaannya. Ia menyukai caranya berpikir, caranya tertawa, bahkan caranya mengacak-acak rambutnya saat frustrasi. Ia menyadari bahwa Rei adalah tipe pria yang selama ini ia cari, meskipun tidak sesuai dengan kriteria yang ia tetapkan sendiri.
Suatu malam, setelah begadang memperbaiki algoritma, Rei mengantarnya pulang. Di depan apartemen Anya, suasana terasa canggung. Rei menatap Anya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Anya,” ucap Rei pelan, “saya menikmati waktu yang saya habiskan bersamamu. Kamu orang yang luar biasa.”
Anya menahan napas. Inilah momen yang ia tunggu-tunggu. Tapi, ada sesuatu yang menahannya untuk mengungkapkan perasaannya. Ia takut. Takut ditolak, takut merusak persahabatan mereka, dan terutama, takut algoritma yang selama ini ia andalkan ternyata salah.
“Saya juga, Rei,” jawab Anya akhirnya. Jawaban yang ambigu, menyisakan ruang untuk interpretasi.
Rei tersenyum tipis. “Baiklah. Sampai jumpa.”
Rei berbalik dan berjalan menjauh. Anya terdiam, menyesali kebodohannya. Ia membiarkan kesempatan itu berlalu begitu saja. Ia terlalu sibuk mencari jawaban dalam algoritma, sampai lupa bahwa cinta yang sebenarnya ada di hadapannya.
Keesokan harinya, Anya kembali ke kedai kopi. Ia berharap Rei akan ada di sana, tapi kursi yang biasa ditempatinya kosong. Ia memesan kopi dan membuka laptopnya. Algoritma yang ia rancang menampilkan hasil analisis yang mengejutkan: kecocokan antara Anya dan Rei mencapai 98%.
Anya tercengang. Bagaimana mungkin? Selama ini ia terlalu fokus pada data kencan online, sampai lupa memasukkan variabel terpenting: dirinya sendiri. Algoritma itu tidak bisa memprediksi perasaannya, tapi ia bisa.
Anya menutup laptopnya dan bergegas keluar dari kedai kopi. Ia tahu di mana Rei berada. Ia selalu pergi ke taman kota setiap sore untuk bermain dengan anjing-anjing peliharaannya.
Anya menemukan Rei di taman, sedang melempar bola untuk seekor anjing golden retriever. Ia menghampirinya, jantungnya berdebar kencang.
“Rei,” panggil Anya.
Rei menoleh, terkejut melihat Anya di sana.
“Saya minta maaf,” kata Anya, dengan suara bergetar. “Semalam, saya tidak jujur. Saya menyukaimu, Rei. Sangat menyukaimu.”
Rei tersenyum lebar. “Saya juga, Anya. Saya hanya menunggu kamu untuk mengatakannya.”
Anya tertawa lega. Ia memeluk Rei erat-erat. Di tengah taman kota, di bawah langit senja, mereka berdua saling mengungkapkan janji yang tak terucap. Janji untuk saling mencintai, saling mendukung, dan saling memecahkan misteri cinta, bersama-sama. Algoritma mungkin bisa memprediksi kecocokan, tapi cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar angka. Cinta membutuhkan keberanian untuk mengambil risiko, untuk jujur pada diri sendiri, dan untuk menerima orang lain apa adanya. Dan Anya, akhirnya, menemukan cinta itu.