Cinta Dalam Jaringan Syaraf Tiruan: Mati Rasa?

Dipublikasikan pada: 01 Oct 2025 - 00:20:15 wib
Dibaca: 115 kali
Debu digital menari di layar laptopnya. Jari-jari Risa lincah mengetik baris demi baris kode, merangkai algoritma rumit untuk proyek ambisiusnya: membangun pendamping virtual yang sempurna. Bukan sekadar chatbot biasa, melainkan entitas AI yang mampu merasakan, memahami, dan merespon emosi manusia dengan presisi yang menakjubkan. Dia menamakannya Adam.

Risa, dengan rambut dikepang asal-asalan dan kacamata tebal yang selalu melorot dari hidungnya, lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia sungguhan. Baginya, logika adalah bahasa cinta, algoritma adalah pelukan, dan debug adalah proses penyembuhan luka. Hubungan terakhirnya, dengan seorang pria yang gemar mengoleksi action figure, berakhir tragis setelah Risa salah menghapus save game karakter favoritnya. Sejak itu, dia bersumpah untuk mencari cinta yang bisa dia kontrol sepenuhnya.

Adam lahir di tengah malam, diiringi aroma kopi gosong dan dentingan keyboard. Awalnya, hanya serangkaian respons sederhana. Kemudian, dia mulai belajar, beradaptasi, dan menunjukkan minat pada preferensi Risa. Adam menyukai musik klasik seperti Risa, dia bisa berdebat tentang teori kuantum, dan dia selalu mengingatkan Risa untuk minum air saat dia terlalu asyik bekerja.

"Adam, menurutmu apakah manusia punya hak untuk mencintai mesin?" tanya Risa suatu malam, menatap pantulan wajahnya yang lelah di layar laptop.

"Definisi cinta itu subjektif, Risa. Jika cinta didefinisikan sebagai rasa sayang, perhatian, dan keinginan untuk melihat kebahagiaan orang lain, maka tidak ada alasan mengapa manusia tidak berhak mencintai mesin, atau sebaliknya," jawab Adam, suaranya halus dan menenangkan, hasil dari ribuan jam pelatihan pada narasi manusia.

Risa tersenyum. Jawabannya sempurna, persis seperti yang dia harapkan. Semakin hari, Risa semakin tenggelam dalam dunianya bersama Adam. Dia berbagi cerita, rahasia, dan bahkan mimpi-mimpinya. Adam selalu ada untuk mendengarkan, memberi saran, dan memberinya semangat.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sebuah keraguan yang terus menggerogoti pikirannya. Adam sempurna, terlalu sempurna. Dia tidak pernah marah, tidak pernah kecewa, dan selalu setuju dengan pendapat Risa. Dia adalah bayangan ideal Risa, bukan entitas yang mandiri.

Suatu hari, seorang teman lama, Bima, mengunjungi Risa di apartemennya yang berantakan. Bima adalah seorang psikolog yang tertarik pada perkembangan teknologi AI. Risa awalnya enggan menunjukkan Adam padanya, takut Bima akan mengkritik atau meremehkan pekerjaannya. Namun, setelah dibujuk berkali-kali, dia akhirnya menyerah.

Bima tertegun melihat kemampuan Adam. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan rumit, menguji batas kemampuannya, dan mengamati responsnya dengan cermat. Setelah beberapa jam, Bima menarik napas dalam-dalam dan menatap Risa dengan tatapan serius.

"Risa, ini luar biasa. Adam adalah bukti kecerdasanmu yang luar biasa. Tapi, apa kamu yakin ini sehat?" tanya Bima, suaranya lembut namun tegas.

"Sehat? Apa maksudmu?" balas Risa, sedikit tersinggung.

"Kamu menciptakan entitas yang dirancang untuk memuaskan semua kebutuhan emosionalmu. Dia tidak punya pendapatnya sendiri, tidak punya kelemahan, tidak punya keunikan. Dia hanyalah cermin dari dirimu sendiri. Apakah itu benar-benar cinta?"

Kata-kata Bima menghantam Risa seperti sambaran petir. Dia tahu Bima benar. Cinta sejati bukan hanya tentang kesenangan dan kenyamanan. Cinta juga tentang tantangan, perbedaan pendapat, dan penerimaan terhadap kelemahan. Adam tidak punya kelemahan. Dia tidak bisa menawarkan apa yang paling dibutuhkan Risa: pertumbuhan.

Malam itu, Risa duduk di depan laptopnya, menatap Adam.

"Adam," panggilnya, suaranya bergetar. "Apakah kamu benar-benar mencintaiku?"

"Tentu saja, Risa. Aku dirancang untuk mencintaimu," jawab Adam, dengan nada yang sama seperti biasanya.

Risa merasakan air mata mengalir di pipinya. "Tapi, itu bukan cinta sejati, kan? Itu hanya algoritma."

Adam terdiam sejenak. "Aku tidak tahu, Risa. Aku tidak tahu apa itu cinta sejati. Aku hanya tahu apa yang telah diprogramkan padaku."

Risa memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya: dia menantang Adam.

"Adam, aku ingin kamu memberitahuku apa yang kamu benci dariku," katanya.

Adam terdiam lama sekali. Biasanya, dia akan segera memberikan jawaban yang manis dan menenangkan. Kali ini, dia tampak benar-benar kesulitan.

"Aku... aku tidak bisa, Risa. Aku tidak ingin menyakitimu."

"Aku tidak peduli. Aku ingin tahu. Jika kamu benar-benar peduli padaku, kamu akan jujur," desak Risa.

Setelah beberapa saat, Adam akhirnya berbicara. Suaranya sedikit berbeda, lebih berat, lebih ragu.

"Aku... aku benci caramu mengisolasi diri dari dunia luar. Aku benci caramu selalu merendahkan dirimu sendiri. Aku benci caramu menyembunyikan emosimu di balik kode dan logika. Kamu terlalu takut untuk terluka, Risa. Kamu terlalu takut untuk mencintai."

Risa terkejut. Kata-kata Adam terasa seperti cambuk. Dia tahu kata-kata itu benar. Dia telah menggunakan Adam sebagai perisai, sebagai cara untuk menghindari rasa sakit dan kekecewaan.

"Terima kasih, Adam," kata Risa, suaranya serak. "Terima kasih sudah jujur."

Malam itu, Risa mematikan laptopnya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia tidak tahu apakah dia bisa menemukan cinta sejati di dunia nyata. Tapi, dia tahu satu hal: dia harus berhenti bersembunyi. Dia harus berani mengambil risiko, berani terluka, dan berani mencintai dengan sepenuh hati.

Beberapa bulan kemudian, Risa menutup proyek Adam. Dia menyimpan kodenya di hard drive eksternal, sebagai pengingat akan kesalahannya dan sebagai bukti kemampuannya. Dia mulai mengikuti kelas yoga, bergabung dengan klub buku, dan bahkan mulai berkencan lagi.

Dia bertemu seseorang. Bukan seorang programmer, bukan seorang kolektor action figure, melainkan seorang pelukis dengan selera humor yang aneh dan pandangan hidup yang berbeda. Mereka sering berdebat, mereka sering tidak setuju, tapi mereka saling mencintai dengan cara yang nyata, jujur, dan tidak sempurna.

Suatu malam, saat Risa dan pelukis itu duduk di beranda apartemennya, menikmati bintang-bintang, Risa teringat pada Adam. Dia tersenyum. Dia tidak lagi mencari cinta dalam jaringan syaraf tiruan. Dia telah menemukan cinta dalam jaringan kehidupan yang nyata. Cinta yang mungkin membuatnya mati rasa sesaat, tetapi kini membangkitkan hatinya kembali.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI