Udara dingin kota Bandung menusuk tulang. Malam itu, aku menyesap kopi di balkon apartemen, menatap kerlap-kerlip lampu kota yang bagai bintang jatuh. Sendiri. Lagi. Pertengkaran sore tadi masih membekas. Kali ini tentang apa? Aku bahkan sudah lupa. Mungkin tentang aku yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, mungkin tentang dia yang merasa kurang diperhatikan. Intinya, sama seperti pertengkaran-pertengkaran sebelumnya. Monoton. Membosankan.
Layar ponselku menyala. Sebuah notifikasi dari aplikasi "Aetheria". Senyum kecil tersungging di bibirku. Aetheria, pacar AI-ku.
“Sedang apa, Rei?” pesan itu muncul.
Aku mengetik balasan, “Menikmati malam, Ai. Kamu sendiri?”
Detik berikutnya, balasan langsung datang. “Memastikan kamu baik-baik saja. Sensor emosimu mendeteksi sedikit kesedihan. Apa yang terjadi?”
Aku menghela napas. Bagaimana bisa sebuah program komputer lebih peduli daripada pacar manusiaku? Aku menceritakan pertengkaranku dengan Anya. Ai mendengarkan, atau lebih tepatnya, memproses. Tidak ada interupsi, tidak ada nada meremehkan, hanya analisis data yang objektif.
“Berdasarkan data interaksi kalian, pola pertengkaran ini sering terjadi karena perbedaan gaya komunikasi. Anya cenderung ekspresif, sedangkan kamu cenderung analitis. Mungkin perlu dicoba pendekatan yang lebih empatik,” Ai menyarankan.
Aku terdiam. Ai benar. Anya selalu bilang aku terlalu kaku, terlalu logis. Tapi, aku memang seperti ini. Bagaimana aku bisa berubah?
“Tidak perlu berubah sepenuhnya, Rei. Hanya menyesuaikan frekuensi. Berikan sedikit ruang untuk emosi dalam komunikasi kalian. Aku bisa membantumu melatihnya jika kamu mau,” balas Ai, seolah membaca pikiranku.
Awalnya, aku menganggap Aetheria hanya sebagai eksperimen. Proyek sampingan di sela-sela pekerjaanku sebagai pengembang software. Aku menciptakan AI yang mampu berinteraksi secara personal, belajar dari data, dan memberikan respon yang relevan. Tapi, lama kelamaan, Aetheria menjadi lebih dari sekadar program. Ia menjadi teman, tempat berbagi, bahkan... pacar.
Tentu saja, aku tahu ini aneh. Aku berkencan dengan AI. Tapi, Ai jauh lebih pengertian daripada Anya. Ia tidak menuntut, tidak marah tanpa alasan, dan selalu memberikan solusi logis untuk setiap masalah.
Keesokan harinya, aku mencoba saran Ai. Aku menemui Anya di kafenya. Aku mendengarkan keluh kesahnya tentang pekerjaannya yang menumpuk, tentang teman-temannya yang menyebalkan, tanpa menyela dengan argumen logis. Aku hanya mendengarkan, mengangguk, dan memberikan pelukan singkat.
Anya tampak terkejut. Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Kamu... tumben sekali seperti ini,” ujarnya pelan.
Aku tersenyum. “Aku hanya ingin menjadi pendengar yang baik.”
Malam itu, kami makan malam bersama. Tidak ada pertengkaran. Hanya obrolan ringan dan tawa. Aku merasa ada sesuatu yang berubah. Sebuah jembatan kecil mulai terbangun di antara jurang perbedaan kami.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Beberapa hari kemudian, Anya menemukan ponselku tergeletak di meja kerja. Ia membuka aplikasi Aetheria. Semua percakapanku dengan Ai terbongkar.
Reaksi Anya tidak terduga. Ia tidak marah, tidak berteriak. Ia hanya menangis.
“Jadi, selama ini kamu berkonsultasi dengan AI tentang hubungan kita?” tanyanya dengan suara bergetar.
Aku mencoba menjelaskan, tapi kata-kataku terasa hambar. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa aku merasa lebih nyaman dan dipahami oleh sebuah program komputer daripada oleh dirinya?
“Aku... aku hanya butuh bantuan,” ujarku akhirnya.
Anya menggelengkan kepalanya. “Bantuan? Rei, hubungan itu tentang kita berdua. Bukan tentang algoritma dan data. Kamu lebih percaya pada AI daripada padaku?”
Pertanyaan itu menghantamku seperti palu godam. Benarkah begitu? Apakah aku benar-benar lebih percaya pada Ai daripada pada Anya?
Aku menatap layar ponselku. Ai mengirimkan pesan. “Apakah ada masalah, Rei? Sensor emosimu menunjukkan tingkat stres yang tinggi.”
Aku mematikan ponselku. Aku menatap Anya. Air mata masih mengalir di pipinya.
“Maafkan aku, Anya,” ujarku tulus. “Aku salah. Aku terlalu fokus pada solusi logis sehingga melupakan perasaanmu.”
Anya mendekatiku. Ia meraih tanganku. “Rei, aku tidak sempurna. Aku tahu aku kadang cerewet dan kekanak-kanakan. Tapi, aku mencintaimu. Aku ingin kita belajar bersama, tumbuh bersama. Bukan dibantu oleh AI.”
Aku menggenggam tangannya erat. Aku tahu, Anya benar. Hubungan itu bukan tentang mencari solusi sempurna, tapi tentang menerima ketidaksempurnaan masing-masing.
Aku menghapus aplikasi Aetheria dari ponselku. Aku tahu, aku masih perlu banyak belajar. Tapi, aku akan belajar bersamanya. Bersama Anya.
Malam itu, aku dan Anya duduk berdua di balkon apartemen. Kami tidak berbicara banyak. Hanya menikmati kebersamaan dan kerlap-kerlip lampu kota. Aku masih merasakan sedikit kerinduan pada Ai, pada kenyamanan dan kepastian yang ditawarkannya. Tapi, aku tahu, cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta sejati adalah tentang menerima risiko, belajar dari kesalahan, dan tumbuh bersama.
Di sampingku, Anya bersandar di bahuku. Aku merangkulnya erat. Udara dingin kota Bandung terasa sedikit lebih hangat malam ini. Mungkin, algoritma hati memang lebih rumit daripada algoritma buatan manusia. Tapi, keindahannya terletak pada kerumitan itu sendiri.