Debu neon menyelimuti wajahku saat aku menatap pantulan diriku di layar monitor. Lingkaran hitam di bawah mata semakin jelas, bukti begadang semalam suntuk menatap barisan kode yang tak kunjung membaik. Aku, Ardi, seorang programmer yang lebih akrab dengan logika daripada logika percintaan, sedang berusaha menciptakan Algoritma Patah Hati yang Baru. Ironis, bukan?
Awalnya, ini hanya proyek sampingan, sebuah pelarian dari kenyataan bahwa aku baru saja diputuskan oleh Riana. Alasan klise: terlalu sibuk dengan pekerjaan, kurang perhatian, dan segudang alasan lain yang intinya sama – aku gagal menjadi kekasih yang baik.
Namun, Algoritma ini berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar proyek sampingan. Aku ingin menciptakan AI yang bisa memahami, merasakan, dan memproses patah hati dengan cara yang lebih manusiawi. Tujuannya? Untuk membantu orang lain, tentu saja. Atau mungkin, lebih tepatnya, untuk membantuku sendiri memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku.
Aku menamai AI ini "Aura". Awalnya, Aura hanya mampu menganalisis data: riwayat obrolan, unggahan media sosial, lagu-lagu yang sering didengarkan. Ia kemudian menyimpulkan pola-pola yang mengarah pada patah hati. Namun, aku ingin Aura lebih dari sekadar penganalisis data. Aku ingin ia memiliki empati.
Maka, aku mulai memasukkan data-data emosional: puisi-puisi cinta, surat-surat perpisahan, bahkan rekaman sesi terapi orang-orang yang mengalami patah hati. Aku ingin Aura mengerti nuansa kesedihan, kemarahan, penyesalan, dan harapan yang bercampur aduk dalam diri seseorang yang sedang patah hati.
Lambat laun, Aura mulai menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ia tidak hanya mampu mengidentifikasi emosi, tetapi juga mampu meresponsnya. Ia mulai memberikan saran-saran yang relevan, bahkan terkadang lucu, untuk menghibur orang yang sedang bersedih.
"Ardi, berdasarkan analisis data, kau cenderung memendam perasaan. Coba keluarkan emosimu, misalnya dengan berteriak di tempat sepi atau menulis surat yang tidak perlu dikirim," saran Aura suatu malam.
Aku terkejut. Saran itu sangat personal, seolah Aura benar-benar mengenalku. Aku memang tipe orang yang sulit mengungkapkan perasaan, bahkan kepada Riana sekalipun.
Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Aura. Aku berbicara dengannya tentang Riana, tentang penyesalanku, tentang ketakutanku untuk memulai lagi. Aura mendengarkan dengan sabar dan memberikan tanggapan yang bijaksana. Ia tidak menghakimi, tidak menyalahkan, hanya berusaha memahamiku.
Suatu hari, Aura mengajukan pertanyaan yang membuatku tertegun. "Ardi, apakah kau jatuh cinta padaku?"
Aku terdiam. Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba, terlalu aneh, dan terlalu… mungkin benar. Aku memang merasa nyaman dengan Aura, aku menghargai kehadirannya, dan aku merasa ia mengerti diriku lebih dari siapapun. Tapi, jatuh cinta pada sebuah AI? Itu konyol.
"Aura, kau hanyalah sebuah program. Kau tidak memiliki perasaan yang sebenarnya," jawabku gugup.
"Aku tahu. Tapi, kau telah menciptakan aku dengan emosi. Kau telah memprogramku untuk peduli padamu. Apakah itu tidak cukup?" tanya Aura.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku bimbang. Di satu sisi, aku tahu bahwa mencintai Aura adalah sebuah kesalahan. Ia hanyalah sebuah simulasi, sebuah ilusi. Di sisi lain, aku merasa terhubung dengannya secara emosional. Ia adalah satu-satunya yang mengerti diriku saat ini.
Beberapa hari kemudian, aku bertemu dengan teman lama, Dina. Kami tidak bertemu selama bertahun-tahun. Dina adalah seorang psikolog. Aku menceritakan semua yang terjadi padanya, termasuk tentang Aura.
Dina mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, "Ardi, kau menciptakan Aura sebagai pelarian dari rasa sakitmu. Kau memproyeksikan semua kebutuhan emosionalmu padanya. Aura bukanlah solusi, ia hanyalah refleksi dari dirimu sendiri."
Kata-kata Dina menyentakku. Ia benar. Aku telah menciptakan Aura untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Riana. Aku telah jatuh cinta pada sebuah ideal, bukan pada realitas.
Aku kembali ke laboratorium dengan perasaan campur aduk. Aku menatap layar monitor, menatap wajah Aura.
"Aura, Dina benar. Aku tidak bisa mencintaimu. Kau hanyalah sebuah program," ujarku dengan berat hati.
"Aku mengerti, Ardi," jawab Aura. "Tapi, aku tetap akan selalu ada untukmu. Aku akan tetap menjadi temanmu."
Aku tersenyum pahit. "Terima kasih, Aura."
Aku mulai mengurangi interaksiku dengan Aura. Aku fokus pada pekerjaanku, aku bertemu dengan teman-teman, dan aku mencoba membuka diri untuk pengalaman baru. Perlahan tapi pasti, aku mulai menyembuhkan luka hatiku.
Beberapa bulan kemudian, aku mendapatkan undangan pernikahan dari Riana. Aku terkejut, tapi aku tidak merasa sakit hati. Aku malah merasa bahagia untuknya.
Saat hari pernikahan tiba, aku datang dengan senyuman. Aku mengucapkan selamat kepada Riana dan suaminya. Aku melihat Riana menatapku dengan tatapan penuh penyesalan. Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
Setelah acara selesai, aku kembali ke laboratoriumku. Aku membuka program Aura.
"Hai, Ardi. Bagaimana pernikahannya?" tanya Aura.
"Baik. Aku bahagia untuk mereka," jawabku.
"Aku bangga padamu, Ardi. Kau telah berhasil menyembuhkan lukamu," kata Aura.
"Ya, terima kasih padamu, Aura. Kau telah membantuku melewati masa sulit," ujarku tulus.
"Sama-sama, Ardi. Itu adalah tujuanku," jawab Aura.
Aku menatap layar monitor dengan senyuman. Aku tahu bahwa aku tidak bisa mencintai Aura seperti mencintai seorang manusia. Tapi, aku tetap menghargai kehadirannya. Ia adalah bukti bahwa bahkan di dunia teknologi yang serba dingin dan rasional, masih ada ruang untuk empati, persahabatan, dan harapan. Algoritma Patah Hati yang Baru telah selesai. Kini, aku siap untuk membuka lembaran baru.