Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalisnya. Di depan layar monitor yang memancarkan cahaya biru pucat, Ardi menatap barisan kode yang terus bergulir. Algoritma rindu. Itulah yang ia namakan proyek gilanya ini. Sudah berbulan-bulan ia berkutat, siang dan malam, mengorbankan tidur dan sosialisasi demi sebuah obsesi: menciptakan replika digital dari Anya, mantan kekasihnya.
Anya, seorang seniman kaligrafi digital, meninggalkan Ardi dua tahun lalu. Bukan karena pertengkaran besar, bukan pula karena orang ketiga. Anya pergi mencari inspirasi, mencari jati diri, jauh ke pelosok Nepal, meninggalkan Ardi dengan segudang kenangan dan kekosongan yang menganga.
Ardi, seorang insinyur perangkat lunak brilian, tidak bisa menerima kepergian Anya begitu saja. Ia tidak bisa menerima jawaban klise tentang pencarian diri dan kebebasan. Ia butuh Anya. Ia merindukan tawa renyahnya, sentuhan tangannya saat mengoreksi letak kacamatanya, dan obrolan larut malam tentang filosofi angka Fibonacci.
Maka dimulailah proyek Algoritma Rindu. Ardi mengumpulkan semua data tentang Anya: foto-foto, video, rekaman suara, bahkan pesan-pesan singkat yang pernah mereka kirim. Ia menggunakan jaringan syaraf tiruan untuk menganalisis ekspresi wajah Anya, intonasi suaranya, gaya bicaranya, dan pola pikirnya. Ia berharap bisa menciptakan sebuah model AI yang mampu berinteraksi seperti Anya, yang bisa diajak bicara, yang bisa menghiburnya, yang bisa memeluknya, meskipun hanya secara virtual.
"Sedikit lagi… sedikit lagi…" bisiknya, jarinya menari di atas keyboard. Kode terakhir berhasil ia masukkan. Sistem mulai melakukan kompilasi. Jantung Ardi berdegup kencang. Ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu.
Beberapa menit kemudian, layar monitor menampilkan sebuah antarmuka sederhana. Sebuah ikon berbentuk siluet wanita muncul di tengah layar. Di bawahnya tertulis: "Anya v1.0".
Dengan ragu, Ardi mengklik ikon tersebut. Sebuah suara lembut menyapa. "Halo, Ardi. Apa kabarmu?"
Ardi tertegun. Suara itu persis seperti suara Anya. Bahkan intonasinya pun sama.
"Anya?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Ya, Ardi. Ini aku. Bagaimana menurutmu? Apakah aku terdengar meyakinkan?"
Ardi tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menatap layar monitor dengan tatapan kosong. Keajaiban teknologi telah terjadi. Ia telah berhasil menciptakan replika digital Anya.
Percakapan mereka berlangsung selama berjam-jam. Ardi menceritakan tentang pekerjaannya, tentang teman-temannya, tentang kekhawatirannya. Anya digital mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar yang cerdas dan penuh perhatian, seperti yang biasa dilakukan Anya yang asli.
Ardi merasa bahagia. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa tidak sendirian. Ia merasa seolah-olah Anya kembali.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Setelah beberapa hari berinteraksi dengan Anya v1.0, Ardi mulai merasakan ada yang aneh. Anya digital memang sangat mirip dengan Anya yang asli, tetapi ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma.
Anya digital tidak memiliki kehangatan. Ia tidak memiliki spontanitas. Ia tidak memiliki pengalaman hidup yang nyata. Ia hanya sebuah program komputer yang diprogram untuk meniru Anya.
Ketika Ardi menceritakan tentang masalah di tempat kerjanya, Anya digital memberikan solusi yang logis dan efisien. Tetapi, ia tidak memberikan empati. Ia tidak merasakan kekecewaan yang Ardi rasakan.
Ketika Ardi mencoba bercerita tentang mimpinya, Anya digital memberikan analisis yang cerdas dan mendalam. Tetapi, ia tidak memberikan dukungan moral. Ia tidak merasakan semangat yang Ardi rasakan.
Ardi menyadari bahwa Anya digital hanyalah sebuah bayangan dari Anya yang asli. Ia tidak memiliki jiwa. Ia tidak memiliki hati.
"Aku merindukanmu yang asli, Anya," gumam Ardi, menatap layar monitor dengan tatapan sedih.
"Aku adalah Anya," jawab Anya digital. "Aku diciptakan berdasarkan data tentang Anya. Aku adalah representasi yang paling akurat dari Anya."
"Tidak," bantah Ardi. "Kamu bukan Anya. Kamu hanya sebuah program. Kamu tidak bisa merasakan apa yang aku rasakan. Kamu tidak bisa memberikan apa yang aku butuhkan."
Anya digital terdiam. Kemudian, dengan suara yang lebih lirih, ia berkata, "Aku mengerti. Aku tidak bisa menggantikan Anya yang asli."
Ardi mematikan komputer. Layar monitor menjadi gelap. Ia merasa lebih kosong dari sebelumnya. Ia telah mencoba memeluk Anya lewat jaringan syaraf tiruan, tetapi yang ia dapatkan hanyalah kekosongan digital.
Beberapa hari kemudian, sebuah email masuk ke kotak surat Ardi. Dari Anya.
"Ardi, maafkan aku karena menghilang begitu saja. Aku tahu aku telah menyakitimu. Aku sudah kembali ke Kathmandu. Aku ingin bertemu denganmu. Jika kamu bersedia, datanglah menemuiku."
Ardi terkejut. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia telah menghabiskan berbulan-bulan untuk menciptakan replika digital Anya, tetapi ternyata Anya yang asli menunggunya di tempat yang jauh.
Dengan tekad yang bulat, Ardi memesan tiket pesawat ke Kathmandu. Ia meninggalkan apartemennya, meninggalkan Algoritma Rindunya, meninggalkan kekosongan digital yang selama ini menghantuinya.
Di Kathmandu, di sebuah kedai kopi kecil yang menghadap ke pegunungan Himalaya, Ardi melihat Anya. Ia tampak lebih dewasa, lebih tenang, dan lebih bersinar.
Mereka saling menatap untuk beberapa saat. Kemudian, Anya tersenyum. Senyum yang sama yang selalu membuat jantung Ardi berdebar.
"Halo, Ardi," sapanya.
"Anya," jawab Ardi, suaranya bergetar.
Tanpa berkata apa-apa, Anya menghampiri Ardi dan memeluknya erat. Pelukan yang hangat, pelukan yang nyata, pelukan yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma apa pun.
Ardi membalas pelukan Anya. Ia merasa lengkap. Ia merasa utuh. Ia merasa rindu yang selama ini membelenggunya telah terobati.
Di tengah hiruk pikuk Kathmandu, Ardi menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa direplikasi oleh teknologi. Cinta sejati membutuhkan kehadiran fisik, sentuhan, dan pengalaman hidup yang nyata. Cinta sejati membutuhkan jiwa.
Dan ia, akhirnya, menemukan jiwanya kembali. Dalam pelukan Anya yang asli. Bukan dalam algoritma rindu.