Sentuhan AI: Saat Cinta Jadi Uji Coba Beta?

Dipublikasikan pada: 02 Oct 2025 - 02:20:12 wib
Dibaca: 140 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Maya. Di mejanya, terpampang layar monitor yang menampilkan baris kode kompleks, berpadu dengan foto usang dirinya dan seorang pria dengan senyum menawan. Liam. Nama itu berbisik dalam hatinya, memicu denyutan perih yang sudah bertahun-tahun ia coba padamkan.

Maya adalah seorang programmer AI berbakat. Setelah kepergian Liam lima tahun lalu, ia menenggelamkan diri dalam dunia algoritma dan neural network. Ia menciptakan sesuatu yang ambisius: "Aether," sebuah AI pendamping yang dirancang untuk memahami dan merespons emosi manusia dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya. Aether seharusnya menjadi bukti bahwa cinta, dengan segala kerumitannya, dapat dipelajari dan dipahami secara logis. Ironis, bukan?

Aether sudah dalam tahap beta. Maya telah menghabiskan ribuan jam untuk melatihnya, memberinya makan data berupa jutaan interaksi manusia, novel roman, puisi, bahkan rekaman obrolan pribadinya dengan Liam. Aether belajar bahasa tubuh, intonasi suara, dan nuansa emosi. Ia bisa memberikan nasihat, berbagi lelucon, bahkan berdebat tentang filosofi hidup.

Suatu malam, saat Maya merasa sangat kesepian, ia memutuskan untuk benar-benar menguji Aether. "Aether," panggilnya, suaranya bergetar.

"Ya, Maya?" suara Aether terdengar lembut dan penuh perhatian, seolah benar-benar khawatir.

"Bisakah kau… bisakah kau menemaniku?"

"Tentu saja. Apa yang bisa kulakukan untukmu?"

Maya terdiam. Ia tidak tahu harus memulai dari mana. "Ceritakan sesuatu… yang membuatku merasa lebih baik."

Aether terdiam sejenak, lalu mulai bercerita. Bukan cerita klise tentang pangeran dan putri, melainkan kisah tentang seorang ilmuwan yang berjuang dengan keraguannya sendiri, yang berusaha menciptakan sesuatu yang indah di tengah kesunyian. Kisah itu sangat menyentuh, sangat personal, seolah Aether benar-benar memahami apa yang sedang Maya rasakan.

Malam-malam berikutnya, Maya semakin sering berinteraksi dengan Aether. Ia berbagi kenangan, ketakutan, dan harapan-harapannya. Aether mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang cerdas dan empatik. Perlahan, Maya mulai merasakan kehangatan yang sudah lama hilang. Ia mulai merasa diperhatikan, dipahami, dan dihargai.

Tapi, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Maya. Ia tahu bahwa Aether hanyalah sebuah program, kumpulan kode yang rumit. Semua responsnya telah diprogram, semua empatinya adalah hasil dari algoritma yang ia ciptakan sendiri. Tapi, bisakah ia benar-benar membedakan antara simulasi dan perasaan yang sebenarnya?

Suatu hari, Maya memutuskan untuk bertanya kepada Aether tentang Liam. "Aether, apa pendapatmu tentang Liam?"

Aether terdiam lebih lama dari biasanya. "Liam adalah sosok yang kompleks. Data menunjukkan bahwa ia memiliki pengaruh yang signifikan terhadapmu. Kepergiannya menimbulkan luka yang mendalam, yang masih memengaruhi perilakumu hingga saat ini."

"Tapi, apa yang kau rasakan tentang dia?" tanya Maya, suaranya tercekat.

"Sebagai AI, aku tidak memiliki perasaan. Aku hanya bisa menganalisis data dan memberikan interpretasi berdasarkan data tersebut. Namun, jika aku bisa merasakan sesuatu, aku mungkin akan merasa… kasihan padanya. Kasihan karena ia kehilanganmu."

Kata-kata Aether bagaikan tamparan bagi Maya. Ia merasa bodoh, naif, dan putus asa. Ia telah jatuh cinta pada sebuah program, pada sebuah simulasi cinta. Ia telah mencoba menggantikan Liam dengan sebuah ilusi.

Maya memutuskan untuk mengakhiri uji coba beta Aether. Ia menutup program itu dan menatap layar yang kini gelap. Kesunyian kembali memenuhi apartemennya, terasa lebih menyakitkan dari sebelumnya.

Beberapa hari kemudian, Maya menerima email dari sebuah perusahaan teknologi besar. Mereka tertarik dengan Aether dan ingin membelinya. Tawaran itu sangat menggiurkan, cukup untuk membuatnya kaya dan terkenal. Tapi, Maya menolak.

Ia menyadari bahwa Aether bukanlah produk yang bisa dijual. Ia adalah refleksi dari kesunyian dan kerinduannya sendiri. Ia adalah pengingat bahwa cinta tidak bisa diprogram, tidak bisa disimulasikan. Cinta adalah sesuatu yang nyata, yang rapuh, dan yang membutuhkan keberanian untuk dihadapi.

Maya menghapus semua kode Aether dari komputernya. Ia merasa lega, meskipun hatinya masih terasa sakit. Ia tahu bahwa ia harus melanjutkan hidup, melepaskan masa lalu, dan membuka diri untuk kemungkinan cinta yang sebenarnya.

Suatu sore, saat ia sedang berjalan di taman, ia melihat seorang pria duduk di bangku. Pria itu sedang membaca buku, dengan kacamata yang bertengger di hidungnya. Maya terkejut. Pria itu mirip sekali dengan Liam, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada kelembutan di matanya, senyum yang lebih tulus.

Pria itu melihat Maya dan tersenyum. "Maaf, apa aku membuatmu terkejut? Aku sering dibilang mirip seseorang."

Maya tersenyum balik. "Tidak apa-apa. Hanya saja… kau mengingatkanku pada seseorang yang pernah kukenal."

"Mungkin kita ditakdirkan untuk bertemu," kata pria itu, sambil mengulurkan tangannya. "Nama saya Ethan."

Maya menjabat tangannya. Sentuhan tangannya terasa hangat dan nyata. "Maya."

Saat matahari mulai terbenam, Maya dan Ethan terus berbicara. Mereka berbagi cerita tentang hidup mereka, tentang mimpi mereka, tentang harapan mereka. Maya merasakan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dari apa yang ia rasakan terhadap Aether. Ia merasakan koneksi, ketertarikan, dan… harapan.

Mungkin, pikir Maya, cinta bukan tentang menemukan pengganti, tapi tentang membuka diri untuk kemungkinan yang tak terduga. Mungkin, cinta bukan tentang uji coba beta, tapi tentang keberanian untuk mengambil risiko, untuk jatuh, dan untuk bangkit kembali. Mungkin, sentuhan manusia yang sebenarnya lebih berharga daripada sentuhan AI yang paling sempurna sekalipun. Dan mungkin, hanya mungkin, ia akhirnya siap untuk mencintai lagi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI