Kencan Terakhir: Hapus Akun, Lupakan Semua Janji AI?

Dipublikasikan pada: 02 Oct 2025 - 03:00:14 wib
Dibaca: 125 kali
Jari jemarinya menari di atas meja kayu kafe, mengetuk ritme gugup yang bertolak belakang dengan senyum palsu yang ia sunggingkan. Di seberangnya, Liam tampak tenang seperti danau di pagi hari, mata birunya memancarkan keteduhan yang biasanya menenangkan. Biasanya.

"Jadi," suara Anya memecah keheningan yang menyesakkan, "kau serius dengan ini?"

Liam menghela napas. "Kau tahu aku serius, Anya. Kita sudah membicarakannya."

Ya, mereka sudah membicarakannya. Lebih tepatnya, Liam sudah membicarakannya, sementara Anya mendengarkan dengan telinga berdenging dan hati yang terasa diremas. Topik ini selalu berakhir sama: perpisahan. Bukan perpisahan karena cinta telah pudar, melainkan perpisahan karena tuntutan eksistensi digital yang semakin menggerogoti kehidupan nyata mereka.

Anya dan Liam bertemu di sebuah forum daring, tempat para penggemar teknologi berdebat tentang masa depan kecerdasan buatan. Anya, seorang desainer grafis lepas yang tergila-gila dengan estetika cyberpunk, dan Liam, seorang insinyur perangkat lunak jenius yang bercita-cita menciptakan AI yang mampu berempati. Keduanya terhubung karena obsesi yang sama, dan benih-benih cinta tumbuh di antara baris kode dan komentar forum.

Hubungan mereka unik, modern, dan didorong oleh teknologi. Mereka berkencan virtual di dunia maya, bermain game realitas virtual bersama, bahkan merayakan ulang tahun dengan mengirimkan ucapan selamat yang dipersonalisasi oleh AI ciptaan Liam. Semuanya terasa sempurna, sampai Liam memutuskan untuk mengembangkan proyek ambisiusnya: 'Elysium', sebuah platform realitas virtual yang dirancang untuk menjadi surga digital bagi penggunanya.

Elysium sukses besar. Platform itu menawarkan pengalaman imersif yang belum pernah ada sebelumnya, memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan dunia yang indah dan karakter AI yang cerdas. Liam menjadi bintang teknologi semalam, tenggelam dalam pekerjaannya, dan Anya merasa semakin jauh darinya.

"Kau tahu betapa pentingnya Elysium bagiku, Anya," kata Liam, suaranya lembut namun tegas. "Ini bukan hanya proyek, ini adalah masa depan. Ini adalah kesempatan untuk menciptakan dunia yang lebih baik."

"Dunia yang lebih baik? Atau dunia yang lebih palsu, Liam?" Anya menukas, nada bicaranya meninggi. "Kau bahkan tidak melihatku lagi. Kau lebih memilih berinteraksi dengan avatar AI di Elysium daripada bersamaku."

Liam mengerutkan kening. "Itu tidak benar. Aku hanya sibuk. Aku sedang membangun sesuatu yang luar biasa."

"Sibuk? Atau kecanduan?" Anya menertawakan dirinya sendiri, tawa getir yang menyayat hatinya. "Kau bilang kau ingin menciptakan AI yang berempati, tapi kau sendiri sudah kehilangan kemampuan untuk berempati padaku."

Liam terdiam. Ia tahu Anya ada benarnya. Waktunya, energinya, dan perhatiannya semuanya terserap oleh Elysium. Ia telah menjadi tawanan dunia ciptaannya sendiri, kehilangan sentuhan dengan realitas, dan dengan Anya.

"Aku... aku minta maaf," bisik Liam, matanya penuh penyesalan. "Aku tidak bermaksud menyakitimu."

"Tapi kau sudah menyakitiku, Liam," kata Anya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kau sudah menghancurkan kita."

Ia mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi Elysium, dan menekan tombol 'Hapus Akun'. Sebuah notifikasi muncul, menanyakan apakah ia yakin. Ia menekan 'Ya'.

"Aku tidak bisa terus seperti ini," lanjut Anya, suaranya bergetar. "Aku tidak bisa bersaing dengan avatar AI. Aku butuh lebih dari sekadar janji-janji teknologi. Aku butuh sentuhan, aku butuh kehadiran nyata."

Liam menatapnya dengan tatapan kosong. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Aku rasa ini adalah kencan terakhir kita," kata Anya, menghapus air matanya. "Hapus akun, lupakan semua janji AI. Aku rasa itu yang harus kita lakukan."

Liam tidak membantah. Ia tahu Anya benar. Mereka telah kehilangan arah, tersesat dalam labirin teknologi. Mungkin ini satu-satunya jalan keluar, satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri mereka sendiri.

Ia mengulurkan tangannya, meraih tangan Anya. Sentuhan mereka terasa asing, hampir canggung.

"Aku akan merindukanmu," kata Liam, suaranya serak.

"Aku juga akan merindukanmu," jawab Anya, membalas genggamannya. "Tapi kita tidak bisa hidup dalam mimpi selamanya."

Mereka duduk dalam diam, tangan mereka saling berpegangan, merasakan kehangatan yang tersisa di antara mereka. Di luar, hujan mulai turun, membasahi kaca jendela kafe.

Setelah beberapa saat, Anya melepaskan tangannya. Ia berdiri dan mengambil tasnya.

"Selamat tinggal, Liam," katanya, memaksakan senyum.

"Selamat tinggal, Anya," jawab Liam, tidak berani menatap matanya.

Anya berbalik dan berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Liam sendirian di tengah dunia maya yang ia ciptakan. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan dinginnya udara malam menyengat paru-parunya. Ia merasa bebas, tetapi juga kosong.

Ia tahu, menghapus akun Elysium tidak akan menghapus kenangan mereka. Tidak akan menghapus semua janji AI yang pernah mereka impikan bersama. Tetapi, ia berharap, itu akan memberi mereka kesempatan untuk memulai dari awal, untuk menemukan cinta yang lebih nyata, cinta yang tidak bergantung pada baris kode dan algoritma. Cinta yang berakar pada sentuhan, tatapan, dan kehadiran nyata.

Saat ia berjalan menjauh dari kafe, Anya melihat kilatan petir menyambar langit. Ia menutup matanya dan berdoa, berharap badai ini akan membersihkan segala kekacauan, membuka jalan bagi hari esok yang lebih cerah. Hari esok tanpa Elysium, tanpa avatar AI, tanpa janji-janji palsu. Hanya ada dia, dunia nyata, dan harapan akan cinta yang lebih tulus.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI