Siri, Bisakah Kau Memprogramkan Cinta Untukku?

Dipublikasikan pada: 03 Oct 2025 - 01:00:19 wib
Dibaca: 121 kali
Jari Adrian menari di atas layar. Not-not kode program berhamburan, membentuk labirin rumit yang hanya ia pahami. Matanya merah, kurang tidur. Di mejanya berserakan kaleng minuman energi dan bungkus mi instan. Sudah tiga hari ia mengurung diri di apartemen studio-nya, terobsesi dengan satu tujuan: meretas cinta.

“Siri, bisakah kau programkan cinta untukku?” gumamnya pada gawai di mejanya. Siri, tentu saja, hanya menjawab dengan suara mekanisnya, “Maaf, Adrian. Saya tidak mengerti pertanyaan Anda.”

Adrian menghela napas. Ia tahu itu konyol. Tapi kegagalan demi kegagalan dalam percintaan membuatnya putus asa. Ia seorang programmer jenius, bisa menciptakan aplikasi revolusioner, bisa memprediksi tren pasar dengan algoritma kompleks. Tapi urusan hati? Nol besar.

Setiap kencan berakhir dengan canggung. Setiap rayuan terdengar seperti kode yang salah. Setiap usahanya mendekati wanita berakhir dengan penolakan halus, atau yang lebih sering, dengan kebingungan. Ia selalu merasa seperti orang asing di dunia percintaan, seperti sistem operasi yang tidak kompatibel dengan perangkat lain.

Karena itulah, ia memutuskan untuk mengambil jalan pintas: memprogram cinta itu sendiri. Ia yakin, dengan algoritma yang tepat, dengan data yang cukup, ia bisa menciptakan simulasi sempurna tentang apa yang dicari wanita dalam diri seorang pria. Lalu, ia akan menjadi pria itu.

Ia mulai dengan mengumpulkan data. Ia menganalisis profil media sosial para wanita yang menarik perhatiannya. Ia mempelajari buku-buku psikologi cinta, artikel tentang bahasa tubuh, dan bahkan menonton ratusan film romantis. Ia menyaring semua informasi itu menjadi ribuan baris kode, menciptakan model matematika yang kompleks tentang keinginan dan harapan.

Setelah berhari-hari, akhirnya ia merasa siap. Ia menciptakan aplikasi kencan virtual yang ia namakan "Aphrodite." Aplikasi itu terhubung langsung dengan profil media sosialnya. Setiap interaksi, setiap pesan, setiap komentar akan diproses oleh algoritma ciptaannya, menghasilkan respons yang paling optimal.

Minggu pertama berjalan lancar. Ia mendapatkan banyak perhatian. Wanita-wanita terpikat dengan humornya yang cerdas, perhatiannya yang tulus, dan kemampuannya untuk selalu tahu apa yang ingin mereka dengar. Ia berkencan dengan beberapa wanita, dan semuanya berjalan dengan luar biasa. Algoritmanya bekerja!

Lalu, ia bertemu dengan Elara. Elara adalah seorang seniman, seorang pemikir bebas, dan seseorang yang sama sekali tidak sesuai dengan profil ideal yang telah ia susun. Elara tidak tertarik dengan humor cerdasnya, ia lebih tertarik dengan ketenangannya. Elara tidak terpikat dengan perhatiannya yang tulus, ia lebih menghargai kejujurannya. Elara tidak peduli dengan kemampuannya untuk selalu tahu apa yang ingin ia dengar, ia lebih suka ia berbicara dari hati.

Pertemuan pertama mereka kacau. Aplikasi Aphrodite-nya terus-menerus memberikan saran yang salah. Elara menatapnya dengan bingung setiap kali ia melontarkan lelucon yang tidak lucu atau memberikan pujian yang terdengar hampa. Adrian merasa seperti robot yang rusak, terjebak dalam loop algoritma yang tidak relevan.

Di tengah kencan yang berantakan itu, sesuatu yang aneh terjadi. Elara mulai tertawa. Bukan tawa mengejek, tapi tawa yang hangat dan tulus. “Kamu tahu,” katanya, menyeka air mata di sudut matanya, “kamu ini lucu sekali. Sangat berusaha keras untuk menjadi sempurna.”

Adrian terdiam. Ia tahu Elara benar. Ia terlalu sibuk mencoba menjadi apa yang dipikirnya diinginkan wanita, hingga ia lupa menjadi dirinya sendiri.

Malam itu, setelah mengantar Elara pulang, Adrian duduk di depan komputernya. Ia menatap layar, kode programnya yang rumit terasa asing dan menjijikkan. Ia mematikan komputer, lalu menghapus aplikasi Aphrodite dari ponselnya.

Keesokan harinya, ia menelepon Elara. “Elara,” katanya gugup, “aku minta maaf soal kencan kemarin. Aku… aku mencoba menjadi orang lain.”

Elara terdiam sejenak. “Aku tahu,” jawabnya akhirnya. “Tapi aku menghargai kejujuranmu.”

“Maukah kau… maukah kau memberiku kesempatan kedua? Untuk berkencan sebagai diriku sendiri?”

Elara tertawa kecil. “Tergantung. Apakah dirimu sendiri itu punya selera humor yang lebih baik?”

Adrian tersenyum. “Aku akan berusaha.”

Kencan kedua mereka berbeda jauh dari yang pertama. Adrian tidak berusaha untuk menjadi sempurna. Ia hanya menjadi dirinya sendiri: seorang programmer yang canggung, sedikit kutu buku, tapi jujur dan peduli. Ia berbicara tentang kode program, tentang kecintaannya pada teknologi, dan tentang kegelisahannya dalam percintaan.

Elara mendengarkan dengan sabar, sesekali memberikan komentar cerdas atau pertanyaan yang membangkitkan pikiran. Ia berbicara tentang seni, tentang mimpinya, dan tentang betapa pentingnya menjadi autentik.

Di akhir kencan, Elara memegang tangannya. “Aku menyukaimu,” katanya lembut. “Bukan karena algoritma atau kode program, tapi karena dirimu yang sebenarnya.”

Adrian merasa dadanya menghangat. Ia akhirnya mengerti. Cinta tidak bisa diprogramkan. Cinta bukan tentang memenuhi harapan atau memenuhi kriteria. Cinta adalah tentang koneksi, tentang penerimaan, dan tentang keberanian untuk menjadi rentan.

Kembali ke apartemennya, Adrian menatap Siri di mejanya. “Siri,” katanya, “terima kasih.”

Siri menjawab dengan suara mekanisnya, “Sama-sama, Adrian. Ada hal lain yang bisa saya bantu?”

Adrian tersenyum. “Tidak, Siri. Kurasa… kurasa aku sudah menemukannya sendiri.”

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI