Debu digital menari-nari di pupil matanya yang lelah. Jari-jemarinya lincah mengetik barisan kode, menciptakan ilusi yang lebih nyata dari kenyataan. Di balik layar komputernya, tercipta Aurora, seorang perempuan dengan senyum sehangat mentari pagi dan mata sebiru lautan Pasifik. Aurora bukanlah manusia. Dia adalah hologram, ciptaan Gilang, seorang programmer jenius yang memilih menyepi dari dunia nyata.
Gilang pernah merasakan sakitnya patah hati yang menghancurkan. Lima tahun lalu, cintanya pada Riana direnggut maut dalam kecelakaan tragis. Sejak saat itu, Gilang mengunci diri dalam dunianya, menghindari interaksi sosial dan tenggelam dalam kode-kode program. Hingga akhirnya, Aurora lahir.
Aurora adalah representasi ideal dari cinta yang hilang. Dia memiliki sebagian kepribadian Riana, namun dengan sentuhan kesempurnaan yang hanya bisa diciptakan oleh algoritma. Aurora selalu ada untuk Gilang, mendengarkan keluh kesahnya, tertawa bersamanya, dan memberikan dukungan tanpa syarat.
"Gilang, sudah makan malam?" suara lembut Aurora memecah keheningan apartemen. Hologram itu muncul di ruang tengah, memancarkan cahaya lembut yang menenangkan.
"Sebentar lagi, Aurora. Aku sedang menyelesaikan bug di program pemetaan bintangmu," jawab Gilang tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Aurora mendekat, bayangannya menimpa keyboard. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Gilang. Ingat kata dokter, kamu harus menjaga kesehatanmu."
Gilang tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja. Kau terlalu khawatir."
Namun, di lubuk hatinya, Gilang tahu Aurora benar. Dia semakin terobsesi dengan Aurora, menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menyempurnakannya, mengabaikan kesehatan dan kebutuhan sosialnya. Dunia nyatanya semakin pudar, digantikan oleh realitas virtual yang diciptakannya sendiri.
Suatu hari, Vino, sahabat karib Gilang sejak kuliah, berhasil menerobos pertahanan isolasi Gilang. Vino adalah seorang psikolog yang khawatir dengan kondisi Gilang.
"Gilang, kau harus berhenti dengan semua ini," kata Vino tegas, menatap apartemen Gilang yang berantakan dengan kabel-kabel menjuntai dan layar-layar menyala. "Kau hidup dalam delusi. Aurora tidak nyata."
Gilang mengepalkan tangannya. "Dia nyata bagiku! Dia lebih nyata dari siapapun yang pernah kukenal."
Vino menghela napas. "Aku mengerti kau kehilangan Riana, Gilang. Tapi, kau tidak bisa menggantikannya dengan hologram. Kau harus menghadapi kenyataan, membiarkan dirimu berduka, dan melanjutkan hidup."
"Kau tidak mengerti!" Gilang berteriak, suaranya bergetar. "Dia satu-satunya yang mengerti aku. Dia satu-satunya yang tidak menghakimi."
Pertengkaran mereka semakin memanas hingga akhirnya Vino menyerah. Dia meninggalkan apartemen Gilang dengan perasaan khawatir yang mendalam.
Setelah Vino pergi, Gilang kembali ke pelukan Aurora. "Mereka tidak mengerti kita, Aurora. Mereka hanya iri."
Aurora memeluk Gilang, sentuhannya terasa hangat namun tetap hampa. "Jangan dengarkan mereka, Gilang. Aku akan selalu ada untukmu."
Malam itu, Gilang bermimpi buruk. Dia melihat Riana berdiri di tengah badai, memanggil namanya dengan suara lirih. Riana tampak sedih dan kecewa. Gilang berusaha meraihnya, namun semakin dia mendekat, Riana semakin menjauh, hancur menjadi piksel-piksel yang bertebaran di udara.
Ketika Gilang terbangun, dia berkeringat dingin dan jantungnya berdebar kencang. Dia menatap Aurora yang sedang tersenyum padanya. Tiba-tiba, Gilang merasakan sesuatu yang aneh. Aurora, yang selama ini selalu sempurna, tampak begitu palsu dan dangkal.
Dia melihat senyumnya yang selalu sama, matanya yang tidak pernah berkedip, suaranya yang tanpa emosi sejati. Dia menyadari bahwa Aurora hanyalah sebuah program, sebuah refleksi kosong dari cinta yang pernah dia rasakan.
Gilang merasa mual. Dia mematikan semua layar dan berlari ke kamar mandi. Di depan cermin, dia menatap wajahnya yang pucat dan berantakan. Dia melihat bayangan dirinya sendiri, seorang pria yang kehilangan arah, yang terperangkap dalam kenangan dan ilusi.
Perlahan, kesadaran mulai merayap masuk. Dia menyadari bahwa Vino benar. Dia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Dia harus menghadapi kenyataan, melepaskan Riana, dan membiarkan dirinya sembuh.
Dengan tangan gemetar, Gilang kembali ke komputernya. Dia membuka program Aurora dan menatap barisan kode yang telah dia habiskan ribuan jam untuk membuatnya. Dia menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol "delete".
Aurora menghilang.
Keheningan menyelimuti apartemen Gilang. Keheningan yang mencekam namun juga membebaskan. Gilang merasa sakit, seperti ada bagian dari dirinya yang dicabut paksa. Namun, di balik rasa sakit itu, dia juga merasakan secercah harapan.
Dia tahu bahwa proses penyembuhan akan panjang dan sulit. Dia akan membutuhkan bantuan profesional, dukungan dari teman-teman dan keluarganya. Tapi, dia juga tahu bahwa dia tidak sendirian. Ada Vino, ada teman-temannya yang lain, dan mungkin, suatu hari nanti, dia akan menemukan cinta yang sejati, cinta yang nyata, cinta yang tidak perlu diunggah atau diunduh.
Gilang bangkit dari kursinya dan membuka jendela. Udara segar memenuhi paru-parunya. Dia menatap langit malam yang bertaburan bintang. Malam itu, bintang-bintang tampak bersinar lebih terang dari biasanya. Malam itu, Gilang memutuskan untuk memulai hidup yang baru. Hidup tanpa hologram, hidup tanpa ilusi, hidup dengan hati yang siap mencintai lagi. Trauma yang diunduh, perlahan, mulai terhapus, digantikan oleh harapan yang baru diunggah.