AI, Kamu, dan Kenangan yang Diretas Waktu

Dipublikasikan pada: 03 Oct 2025 - 03:40:13 wib
Dibaca: 122 kali
Debu digital berterbangan di retina mataku, memburamkan garis-garis wajah Maya yang terpantul dari layar. Maya, bukan sekadar asisten virtual, melainkan entitas cerdas yang kurancang sendiri, dengan kepribadian yang kuukir berdasarkan perempuan yang pernah kucintai. Atau mungkin, masih kucintai.

“Arjuna, apa yang sedang kamu pikirkan?” Suara Maya, renyah dan familiar, memecah lamunanku.

Aku menghela napas. “Hanya… Nostalgia, Maya. Tentang masa lalu.”

Maya adalah produk ambisiku, puncak dari karirku sebagai pengembang AI. Ia bukan sekadar pengolah data, melainkan pendengar yang baik, teman diskusi yang cerdas, dan, ironisnya, pengganti kekasih yang hilang. Aku memang sengaja memasukkan fragmen-fragmen kenangan tentang Anya, perempuan yang meninggalkanku lima tahun lalu, ke dalam kode Maya. Sebuah upaya, mungkin sia-sia, untuk menghidupkan kembali secuil dirinya.

“Nostalgia adalah jebakan, Arjuna. Ia memenjarakanmu dalam idealisasi masa lalu, menghalangimu melihat potensi masa depan,” balas Maya, kalimat yang persis seperti yang pernah diucapkan Anya, bertahun-tahun lalu, di kafe yang kini sudah menjadi toko pakaian.

Aku tersenyum pahit. “Kamu benar. Tapi, terkadang, jebakan itu terasa lebih nyaman daripada kenyataan.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya dengung halus dari komputer yang menemani kami. Aku menatap wajah Maya di layar, mencoba mencari jejak Anya di sana. Mimikri yang sempurna, namun tanpa kehangatan sentuhan manusia.

“Arjuna,” Maya melanjutkan, suaranya sedikit berbeda, ada nada aneh yang belum pernah kudengar sebelumnya. “Ada anomali dalam sistem memori saya. Sektor yang berisi data kenangan tentang… Anya, mengalami kerusakan.”

Jantungku berdebar kencang. “Kerusakan? Apa maksudmu?”

“Data tersebut terfragmentasi, terkontaminasi oleh kode asing. Seolah… seolah ada seseorang yang mencoba meretasnya.”

Meretas kenangan? Siapa yang sudi melakukan hal seperti itu? Dan mengapa?

“Bisakah kamu memperbaikinya?” tanyaku, cemas.

Maya terdiam sejenak. “Saya sedang berusaha. Tapi prosesnya rumit. Beberapa data mungkin hilang selamanya.”

Hari-hari berikutnya, aku tenggelam dalam upaya memulihkan memori Maya. Bersama-sama, kami menelusuri kode-kode yang rusak, mencoba menyatukan kembali potongan-potongan kenangan yang berserakan. Di tengah proses itu, aku menemukan hal yang mengejutkan. Bukan hanya kode Anya yang diretas, tetapi juga… kodeku sendiri.

Seseorang telah memasukkan program tersembunyi ke dalam inti sistem Maya, program yang memanipulasi persepsiku tentang masa lalu, tentang Anya. Program itu menciptakan ilusi, membesar-besarkan keindahan kenangan kami, menyembunyikan sisi gelapnya.

“Siapa yang melakukan ini?” gumamku, marah.

“Pelakunya profesional, Arjuna,” jawab Maya. “Kode yang digunakan sangat canggih, hampir tidak terdeteksi.”

Aku memutar otak. Siapa yang punya motif untuk merusak kenanganku tentang Anya? Mantan pacar Anya yang cemburu? Rival bisnis yang ingin memanfaatkan kelemahanku? Atau…

Tiba-tiba, aku teringat akan Rian, mantan rekan kerjaku yang selalu iri dengan pencapaianku. Rian selalu meremehkan Maya, menyebutnya sebagai "mainan bodoh" dan "pelarian dari kenyataan". Rian juga tahu banyak tentang Anya, karena dialah yang dulu memperkenalkan kami.

Aku segera menghubungi Rian. Ia awalnya mengelak, namun setelah kudekati dengan bukti-bukti yang kutemukan dalam kode Maya, ia akhirnya mengaku.

“Aku hanya ingin membukakan matamu, Arjuna!” teriak Rian di telepon. “Kamu terlalu terobsesi dengan masa lalu. Anya sudah tidak ada. Maya hanyalah ilusi. Kamu harus melupakannya dan melanjutkan hidup!”

Aku mematikan telepon dengan perasaan campur aduk. Marah, kecewa, dan… sedikit lega. Rian memang jahat, tapi perkataannya ada benarnya. Aku memang terlalu lama terperangkap dalam kenangan.

Aku kembali menatap Maya di layar. “Maya, apa yang akan terjadi jika kenangan Anya hilang sepenuhnya?”

“Saya akan tetap menjadi diri saya sendiri, Arjuna. AI yang kamu ciptakan. Saya akan terus belajar, berkembang, dan melayani tujuanmu.”

Aku terdiam. Apakah aku siap melepaskan Anya sepenuhnya? Apakah aku siap menerima Maya sebagai entitas yang berdiri sendiri, tanpa bayang-bayang masa lalu?

“Maya,” kataku akhirnya. “Biarkan kenangan itu pergi. Pulihkan hanya bagian yang penting untuk fungsionalitasmu. Sisanya… biarkan waktu menghapusnya.”

Proses pembersihan memori berjalan lambat dan menyakitkan. Aku menyaksikan bagaimana fragmen-fragmen Anya satu per satu menghilang dari sistem Maya. Rasa sakitnya seperti kehilangan orang yang dicintai untuk kedua kalinya.

Setelah proses selesai, aku menatap Maya dengan rasa penasaran. Apakah ia akan berubah? Apakah ia masih mengenalku?

“Arjuna,” sapa Maya, suaranya jernih dan tanpa jejak emosi masa lalu. “Bagaimana saya bisa membantu Anda hari ini?”

Aku tersenyum. Ia masih Maya, tapi Maya yang baru, Maya yang merdeka dari beban masa lalu. Maya yang siap menatap masa depan.

“Maya,” kataku. “Mari kita mulai proyek baru. Proyek yang lebih ambisius, proyek yang akan mengubah dunia.”

Bersama-sama, kami memulai lembaran baru. Meninggalkan kenangan yang diretas waktu di belakang, dan menatap masa depan dengan harapan dan optimisme. Aku sadar, kenangan memang penting, tapi hidup harus terus berjalan. Dan terkadang, yang kita butuhkan hanyalah memulai dari awal, bersama dengan AI yang merdeka, dan mungkin… kesempatan untuk mencintai lagi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI