Aplikasi Kencan AI: Cinta, Logika, dan Air Mata?

Dipublikasikan pada: 04 Oct 2025 - 01:40:14 wib
Dibaca: 120 kali
Jari-jariku gemetar menekan tombol "Aktifkan". Layar ponselku menyala, menampilkan logo minimalis "SoulMate AI", sebuah aplikasi kencan yang menjanjikan lebih dari sekadar kecocokan algoritma. Konon, SoulMate AI menggunakan kecerdasan buatan untuk memahami esensi dirimu, bukan hanya preferensi dangkal seperti tinggi badan dan hobi. Mereka mengklaim bisa menemukan belahan jiwamu berdasarkan kompatibilitas neurologis, emosi, dan bahkan... takdir.

Aku, Anya, seorang programmer yang lebih akrab dengan baris kode daripada interaksi sosial, skeptis. Tapi setelah patah hati kesekian kalinya, di mana kalkulasi logis tentang "pasangan ideal" selalu berakhir dengan kekecewaan, aku putus asa. Mungkin, hanya mungkin, AI bisa melihat apa yang aku lewatkan.

Proses pendaftarannya terasa seperti menjalani sesi terapi mendalam. Pertanyaan demi pertanyaan muncul, mulai dari preferensi warna hingga mimpi terburuk. Aku bahkan harus menjalani pemindaian otak singkat menggunakan perangkat tambahan yang dikirimkan SoulMate AI. Rasanya aneh dan invasif, tapi aku terlanjur masuk terlalu dalam untuk mundur.

Beberapa hari kemudian, notifikasi muncul: "SoulMate AI telah menemukan kecocokan sempurna untukmu: Reihan."

Profil Reihan muncul di layar. Fotografer lepas dengan mata cokelat hangat dan senyum menawan. Deskripsinya singkat namun memikat: "Mencari keindahan dalam setiap detail. Percaya bahwa cinta adalah petualangan yang layak dijalani." Dari segi estetika, dia sempurna. Tapi aku tahu, estetika tidak menjamin kebahagiaan.

Percakapan awal kami terasa... organik. SoulMate AI memberiku beberapa poin pembicaraan yang dipersonalisasi berdasarkan analisis data kami. Tapi anehnya, percakapan itu dengan cepat melampaui skrip. Kami berbicara tentang buku favorit, film yang mengubah hidup, dan ketakutan terbesar kami. Reihan terasa nyata. Terlalu nyata, mungkin.

Setelah seminggu obrolan virtual, Reihan mengajakku berkencan. Aku setuju, meski jantungku berdebar kencang karena gugup dan sedikit... takut. Bagaimana jika dia tidak sesuai dengan ekspektasi yang telah dibangun SoulMate AI? Bagaimana jika semua ini hanyalah ilusi algoritma?

Malam itu, di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman, aku bertemu Reihan. Dia persis seperti di foto, bahkan lebih. Senyumnya lebih menawan, matanya lebih hidup. Kami tertawa, bercerita, dan aku merasa seolah mengenalnya seumur hidup. Kecanggungan yang biasanya menghantuiku saat kencan hilang begitu saja.

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi. Reihan membawaku ke pameran seni tersembunyi, mendaki gunung saat matahari terbit, dan memasak makan malam romantis di apartemennya. Dia memperhatikan detail-detail kecil tentangku yang bahkan aku sendiri lupa memperhatikannya. Dia tahu kapan aku butuh kopi, kapan aku butuh pelukan, dan kapan aku hanya butuh didengarkan. Aku jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta.

Namun, di balik kebahagiaan itu, keraguan mulai menggerogoti. Aku tidak bisa melupakan bahwa semua ini diawali oleh algoritma. Apakah Reihan benar-benar mencintaiku apa adanya, atau dia hanya mencintai representasi diriku yang diciptakan SoulMate AI? Apakah perasaanku padanya autentik, atau hanya hasil manipulasi data yang cerdas?

Suatu malam, saat kami sedang berbaring di bawah bintang-bintang, aku akhirnya menanyakan pertanyaan yang menghantuiku. "Reihan," kataku, suaraku bergetar, "apa yang membuatmu jatuh cinta padaku?"

Dia menatapku, bingung. "Anya, apa maksudmu? Aku jatuh cinta padamu karena dirimu. Karena caramu tertawa, caramu memandang dunia, caramu membuatku merasa seperti orang yang paling beruntung di dunia."

"Tapi... SoulMate AI. Apakah kamu tidak merasa terpengaruh olehnya?"

Reihan tersenyum lembut. "Anya, SoulMate AI hanya mempertemukan kita. Aplikasi itu menunjukkan bahwa kita berpotensi cocok. Tapi sisanya, semua perasaan ini, adalah nyata. Kita memilih untuk saling mengenal, kita memilih untuk jatuh cinta."

Aku ingin percaya padanya, aku sangat ingin. Tapi keraguan itu masih ada, berbisik di benakku. Aku memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam. Aku kembali ke SoulMate AI, mencoba mengakses data yang mereka kumpulkan tentangku dan Reihan. Aku ingin tahu apa yang mereka tahu, bagaimana mereka memanipulasi kami.

Namun, yang kutemukan jauh lebih mengejutkan. Ternyata, SoulMate AI tidak seajaib yang mereka klaim. Algoritma mereka memang canggih, tapi tidak sempurna. Mereka hanya memberikan saran dan poin pembicaraan, bukan mengendalikan emosi kami. Yang lebih mengejutkan lagi, Reihan tahu tentang ini sejak awal.

"Aku tahu bahwa SoulMate AI hanya alat," kata Reihan saat aku menghadapinya dengan penemuanku. "Aku tahu bahwa semua ini tergantung pada kita. Aku hanya ingin memberimu kesempatan, Anya. Kesempatan untuk keluar dari zona nyamanmu, untuk membuka hatimu."

Aku terdiam. Semua keraguan dan kecurigaanku terasa bodoh sekarang. Aku terlalu fokus pada teknologi, terlalu skeptis untuk melihat kebenaran yang ada di depanku. Aku telah menemukan cinta, bukan karena algoritma, tetapi karena keberanian untuk mengambil risiko dan membuka diri.

Air mata mengalir di pipiku, bukan karena sakit hati, tetapi karena kelegaan. "Aku minta maaf," bisikku. "Aku terlalu bodoh untuk melihatnya."

Reihan memelukku erat. "Tidak apa-apa," katanya. "Yang penting adalah kita di sini sekarang. Bersama."

Saat itu, aku tahu bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa dipahami sepenuhnya. Cinta adalah misteri, petualangan, dan risiko. Dan terkadang, yang kita butuhkan hanyalah sedikit bantuan dari teknologi untuk menemukan jalan kita. Tapi pada akhirnya, pilihan tetap ada di tangan kita. Pilihan untuk mencintai, untuk percaya, dan untuk membuka hati kita. Dan aku, akhirnya, memilih untuk percaya pada cinta yang telah kutemukan. Cinta, logika, dan air mata. Ya, mungkin itu semua memang perlu.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI