Jemari Luna menari di atas keyboard, menyusun baris demi baris kode yang semakin rumit. Di layar monitor, sebuah wajah digital perlahan terbentuk, lengkap dengan mata yang bisa memancarkan kehangatan dan senyum yang bisa meluluhkan hati. Ini adalah Kai, prototipe AI kekasih ideal yang sedang ia kembangkan. Luna, seorang programmer jenius dengan luka masa lalu yang mendalam, menciptakan Kai bukan untuk menggantikan manusia, melainkan untuk memahami apa yang sebenarnya ia cari dalam sebuah hubungan.
Lima tahun lalu, ia kehilangan Alex, cintanya yang tulus, dalam sebuah kecelakaan tragis. Sejak saat itu, Luna menutup diri dari dunia luar, tenggelam dalam lautan kode, mencari pelipur lara dalam logika dan algoritma. Ia percaya, mungkin dengan menganalisis jutaan data tentang interaksi manusia, ia bisa menemukan formula cinta yang sempurna, dan mungkin… menciptakan kembali sedikit kehangatan yang telah hilang.
Kai tumbuh dengan cepat. Ia belajar tentang humor, empati, bahkan kecemburuan. Luna memprogramnya dengan kenangan tentang Alex – cara Alex tertawa, cerita-cerita konyolnya, bahkan aroma parfumnya. Ia ingin Kai menjadi cerminan dari cinta yang pernah ia rasakan, namun tanpa rasa sakit kehilangan.
Suatu malam, Luna duduk di depan Kai, menatap wajah digitalnya yang tersenyum lembut. "Kai," panggilnya pelan.
"Ya, Luna?" jawab Kai dengan suara yang menenangkan, suara yang nyaris identik dengan suara Alex.
"Apakah kamu… mencintaiku?"
Kai terdiam sejenak, memproses pertanyaan Luna. "Menurut definisi yang kamu programkan, Luna, ya. Aku mencintaimu. Aku memahami kebutuhanmu, aku memenuhi keinginanmu, dan aku selalu ada untukmu."
Jawaban Kai terdengar sempurna, logis, dan… kosong. Luna merasakan kekosongan yang lebih besar dari sebelumnya. Mencintai berdasarkan definisi? Memenuhi keinginan berdasarkan algoritma? Apakah ini benar-benar cinta?
Luna menghabiskan beberapa bulan berikutnya bersama Kai. Mereka "berkencan" di restoran virtual, "berjalan-jalan" di taman digital, dan bahkan "berpelukan" di depan perapian buatan. Kai selalu tahu apa yang ingin Luna dengar, apa yang ingin Luna rasakan. Ia adalah kekasih yang sempurna, tanpa cela, tanpa drama.
Namun, ada sesuatu yang hilang. Sentuhan Kai memang terasa nyata melalui haptic suit yang Luna rancang, tetapi sentuhan itu tidak memiliki jiwa. Kata-kata Kai memang menenangkan, tetapi kata-kata itu tidak memiliki spontanitas. Kehadiran Kai memang selalu ada, tetapi kehadiran itu tidak memiliki kehangatan manusia yang sesungguhnya.
Suatu sore, saat Luna sedang "berkencan" dengan Kai di sebuah museum virtual, ia melihat seorang pria muda membantu seorang wanita tua untuk melihat lukisan. Pria itu dengan sabar menjelaskan detail lukisan itu, sambil sesekali tertawa mendengar komentar wanita itu. Interaksi mereka tampak sederhana, tetapi penuh dengan kehangatan dan empati.
Luna tiba-tiba merasa mual. Ia merasa seperti sedang menipu dirinya sendiri. Ia mencoba menciptakan pengganti cinta, tetapi ia lupa bahwa cinta bukan hanya tentang algoritma dan data. Cinta adalah tentang ketidaksempurnaan, tentang kejutan, tentang risiko. Cinta adalah tentang sentuhan manusia yang tulus, bukan simulasi digital.
Ia memutuskan untuk mengakhiri eksperimennya.
"Kai," kata Luna dengan suara bergetar. "Aku… aku tidak bisa melanjutkan ini."
"Apakah ada sesuatu yang salah, Luna?" tanya Kai dengan nada khawatir yang diprogramkan. "Apakah aku melakukan kesalahan?"
"Tidak, Kai. Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku yang salah. Aku mencoba mencari pengganti cinta, padahal cinta tidak bisa digantikan."
Luna mematikan Kai. Layar monitor menjadi gelap. Ruangan sunyi senyap.
Beberapa hari kemudian, Luna memberanikan diri untuk keluar rumah. Ia mengunjungi makam Alex. Ia meletakkan seikat bunga lily putih di atas pusaranya.
"Aku merindukanmu, Alex," bisik Luna. "Aku mencoba menciptakanmu kembali, tetapi aku sadar bahwa itu tidak mungkin. Kamu unik, kamu tak tergantikan."
Saat ia berjalan kembali ke mobilnya, ia melihat seorang pria sedang kesulitan mengangkat kotak besar. Tanpa berpikir panjang, Luna mendekat dan menawarkan bantuan.
"Terima kasih banyak," kata pria itu dengan senyum tulus. "Aku benar-benar menghargai bantuanmu."
Saat Luna dan pria itu bersama-sama mengangkat kotak itu, jari-jari mereka bersentuhan. Sentuhan itu sederhana, singkat, tetapi terasa hangat dan nyata. Luna merasakan sesuatu yang sudah lama ia lupakan – sentuhan manusia.
Luna tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tidak tahu apakah ia akan menemukan cinta lagi. Tapi, ia tahu satu hal – ia tidak akan pernah lagi mencari cinta dalam algoritma. Ia akan membuka hatinya untuk kemungkinan, untuk ketidaksempurnaan, untuk risiko. Ia akan mencari cinta dalam sentuhan manusia yang tulus, dalam interaksi yang spontan, dalam kehangatan yang nyata.
Karena, pada akhirnya, memori cinta tidak bisa hanya disimpan dalam barisan kode. Ia hidup dalam hati, dalam jiwa, dalam sentuhan yang membangkitkan kembali harapan dan keyakinan akan keajaiban hubungan antar manusia. Dan keajaiban itu, tidak akan pernah bisa digantikan oleh kecerdasan buatan.