Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Arya. Di depan layar laptopnya, kode-kode Python menari-nari, membentuk sebuah algoritma yang rumit namun elegan. Arya, seorang pengembang aplikasi kencan, sedang menyempurnakan fitur terbarunya: "Soulmate AI". Idenya sederhana namun ambisius: menggunakan data perilaku pengguna untuk menemukan pasangan yang benar-benar cocok, bukan hanya berdasarkan preferensi dangkal.
Arya selalu skeptis terhadap cinta. Baginya, cinta hanyalah reaksi kimiawi dan pola perilaku yang bisa diprediksi. Namun, di lubuk hatinya, ia merindukan sesuatu yang lebih. Mungkin karena itulah, ia menciptakan Soulmate AI, sebuah paradoks dari keyakinan dan kerinduannya sendiri.
Berbulan-bulan ia menghabiskan waktu untuk menyempurnakan algoritma itu. Ia memberi makan data dari jutaan profil, menganalisis pola komunikasi, kesamaan minat, bahkan ritme detak jantung saat berinteraksi dengan orang lain. Tujuannya adalah menciptakan sebuah mesin yang bisa memahami manusia lebih baik daripada manusia itu sendiri.
Suatu malam, saat ia hampir menyerah karena frustasi, Soulmate AI memberikan hasil yang mengejutkan. Sebuah nama muncul di layar, disertai dengan tingkat kecocokan 99,99%: Luna.
Arya mengerutkan kening. Luna? Ia belum pernah mendengar nama itu sebelumnya. Dengan ragu, ia membuka profil Luna. Foto profilnya menampilkan seorang wanita dengan senyum teduh dan mata yang seolah menyimpan seluruh alam semesta. Deskripsinya singkat namun bermakna: "Mencari koneksi yang tulus, bukan sekadar validasi."
Entah kenapa, Arya terpaku. Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Ia mencoba menepis perasaan aneh itu. Ini hanya algoritma, pikirnya. Ini hanya angka.
Namun, rasa penasaran mengalahkannya. Ia memutuskan untuk mengirim pesan kepada Luna.
"Hai Luna, saya Arya. Saya pengembang Soulmate AI. Algoritma kami menunjukkan bahwa kita memiliki tingkat kecocokan yang sangat tinggi. Mungkin kamu tertarik untuk mengobrol?"
Beberapa menit kemudian, Luna membalas.
"Hai Arya, saya penasaran bagaimana algoritma bisa begitu yakin. Ayo mengobrol."
Obrolan mereka berlangsung hingga larut malam. Mereka berbicara tentang buku favorit, film yang menginspirasi, mimpi-mimpi yang belum terwujud. Arya terkejut betapa nyamannya ia berbicara dengan Luna, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.
Hari-hari berikutnya, mereka terus berkomunikasi. Mereka berbagi cerita, tertawa bersama, dan bahkan saling memberikan dukungan saat sedang terpuruk. Arya mulai menyadari bahwa Luna bukan sekadar data dan algoritma. Ia adalah manusia, dengan kompleksitas dan keindahan yang membuatnya terpukau.
Akhirnya, Arya memberanikan diri untuk mengajak Luna bertemu. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat taman kota.
Saat Luna tiba, Arya merasa jantungnya hampir melompat keluar dari dadanya. Ia lebih cantik dari fotonya. Senyumnya lebih hangat, matanya lebih bercahaya.
"Hai Arya," sapa Luna dengan suara lembut.
"Hai Luna," balas Arya, gugup.
Mereka menghabiskan sore itu untuk berbicara, tertawa, dan saling mengenal lebih dalam. Arya merasa seperti sedang bermimpi. Ia tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya.
Saat malam tiba, Arya mengantar Luna pulang. Di depan pintu apartemen Luna, Arya berhenti. Ia menatap mata Luna, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantuinya selama ini.
"Luna," kata Arya ragu, "Apakah menurutmu ini takdir? Apakah algoritma bisa benar-benar menemukan cinta sejati?"
Luna tersenyum. "Aku tidak tahu, Arya. Mungkin algoritma hanya membantu kita menemukan satu sama lain. Tapi, apa yang terjadi selanjutnya, itu tergantung pada kita. Takdir adalah pilihan yang kita buat setiap hari."
Arya terdiam. Kata-kata Luna menyentuh hatinya. Ia menyadari bahwa algoritma hanyalah alat. Ia tidak bisa menentukan cinta. Cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, dipelihara, dan dirasakan dengan sepenuh hati.
Dengan keberanian yang baru, Arya meraih tangan Luna. "Aku ingin memperjuangkan ini, Luna. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Aku ingin melihat apakah takdir memang ada di antara kita."
Luna menggenggam tangan Arya erat. "Aku juga, Arya. Aku juga ingin tahu."
Malam itu, di bawah bintang-bintang yang bertaburan di langit, Arya dan Luna memulai perjalanan cinta mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi mereka tahu bahwa mereka akan menghadapinya bersama.
Arya akhirnya mengerti. Cinta bukanlah reaksi kimiawi atau pola perilaku yang bisa diprediksi. Cinta adalah misteri, keajaiban, dan pilihan untuk saling membuka hati.
Dan mungkin, hanya mungkin, algoritma bisa menjadi jembatan untuk menemukan keajaiban itu. Namun, takdir, adalah cerita yang harus mereka tulis sendiri. Soulmate AI mungkin telah mempertemukan mereka, tapi mereka sendirilah yang akan menentukan akhir ceritanya. Apakah itu akan menjadi kisah cinta abadi, atau hanya sekadar ilusi yang diciptakan oleh algoritma, hanya waktu yang bisa menjawabnya. Yang jelas, Arya tidak akan menyesal telah memberikan kesempatan pada algoritma untuk membisikkan cinta, karena bisikan itu telah membawanya kepada Luna, wanita yang mungkin saja, adalah takdirnya.