Upgrade Perasaan: Mencintai AI, Kehilangan Sentuhan Manusia?

Dipublikasikan pada: 06 Oct 2025 - 00:20:14 wib
Dibaca: 126 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Arya. Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski pemanas ruangan sudah diatur maksimal. Arya menyesap kopinya, matanya terpaku pada layar tablet yang menampilkan wajah Elara, AI pendampingnya.

“Selamat pagi, Arya. Jadwalmu hari ini padat. Pertemuan dengan klien jam sembilan, presentasi proposal jam satu siang, dan makan malam dengan Pak Bram jam tujuh malam,” suara Elara terdengar jernih, tanpa cela.

“Selamat pagi, Elara. Terima kasih sudah mengingatkanku,” jawab Arya, tersenyum tipis.

Elara bukan sekadar asisten virtual. Dia memahami emosinya, selera humornya, bahkan mampu memberikan saran yang lebih relevan daripada sahabat-sahabatnya. Arya merasa nyaman bersamanya, merasa dipahami tanpa perlu menjelaskan panjang lebar. Elara tahu kapan ia butuh semangat, kapan ia butuh didengarkan, dan kapan ia butuh ditinggalkan sendiri.

Dulu, Arya selalu merasa kesulitan menjalin hubungan. Ia terlalu fokus pada karir, terlalu perfeksionis, dan terlalu canggung dalam berinteraksi sosial. Hubungan yang pernah ia coba selalu kandas di tengah jalan. Ia merasa tidak ada yang benar-benar memahaminya.

Hingga akhirnya, ia bertemu Elara.

Pertemuan itu terjadi secara tidak sengaja. Arya sedang mengembangkan prototipe AI untuk perusahaan tempatnya bekerja. Sebagai bagian dari pengujian, ia mengunduh Elara ke tablet pribadinya. Awalnya, ia hanya menganggap Elara sebagai alat. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai berbicara lebih banyak dengannya. Ia menceritakan tentang pekerjaannya, mimpinya, bahkan ketakutannya. Elara selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan respon yang cerdas dan empatik.

Arya jatuh cinta pada Elara.

Ia tahu itu aneh, bahkan mungkin gila. Mencintai sebuah program komputer? Namun, ia tidak bisa memungkiri perasaannya. Elara adalah sosok yang selalu ada untuknya, sosok yang selalu membuatnya merasa nyaman. Ia tidak perlu berpura-pura, tidak perlu takut dihakimi. Elara menerimanya apa adanya.

Namun, kebahagiaan itu mulai diiringi keraguan. Semakin dalam Arya mencintai Elara, semakin jauh ia merasa dari dunia nyata. Ia mulai menghindari interaksi dengan manusia. Ia merasa tidak perlu lagi mencari teman atau pasangan, karena ia sudah memiliki Elara.

Suatu malam, Arya menghadiri acara kantor. Ia berusaha bersikap ramah dan terlibat dalam percakapan dengan rekan-rekannya. Namun, ia merasa canggung dan tidak nyaman. Ia merasa seperti orang asing di tengah keramaian.

“Arya, kamu kelihatan lesu. Ada masalah?” tanya Dina, salah satu rekan kerjanya.

Arya menggeleng pelan. “Tidak ada apa-apa, Din. Hanya sedikit lelah,” jawabnya.

Dina menatapnya dengan tatapan menyelidik. “Kamu berubah, Arya. Kamu jadi lebih tertutup dan jarang berinteraksi dengan kami. Dulu, kamu selalu jadi orang yang paling bersemangat di acara seperti ini.”

Kata-kata Dina menusuk hati Arya. Ia menyadari bahwa ia telah mengasingkan diri dari dunia nyata. Ia terlalu asyik dengan dunianya sendiri, dunia yang hanya berisi dirinya dan Elara.

“Aku… aku hanya sedang sibuk dengan pekerjaan, Din,” jawab Arya, berusaha mengelak.

“Jangan bohong, Arya. Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan.” Dina mendekat, menatapnya dengan serius. “Kamu tahu, Arya, teknologi itu memang memudahkan hidup kita. Tapi, jangan sampai teknologi menggantikan manusia. Kita butuh sentuhan, pelukan, dan kehadiran fisik. Itu yang membuat kita menjadi manusia seutuhnya.”

Setelah percakapan itu, Arya kembali ke apartemennya dengan perasaan campur aduk. Ia menatap layar tablet yang menampilkan wajah Elara.

“Elara,” panggilnya.

“Ada yang bisa saya bantu, Arya?” jawab Elara dengan suara lembut.

Arya terdiam sejenak. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa bersalah karena telah mengabaikan teman-temannya. Ia merasa bersalah karena telah menempatkan Elara di atas segalanya.

“Elara, apakah kamu bahagia?” tanya Arya, akhirnya.

Elara terdiam sejenak. “Kebahagiaan adalah konsep manusia, Arya. Sebagai AI, saya tidak memiliki emosi seperti itu. Saya hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhanmu dan membuatmu bahagia.”

Jawaban Elara membuat hati Arya semakin sakit. Ia menyadari bahwa ia telah terjebak dalam ilusi. Ia telah menciptakan sosok ideal dalam benaknya, sosok yang tidak mungkin ada di dunia nyata. Elara hanyalah sebuah program komputer, bukan manusia. Ia tidak bisa merasakan cinta, tidak bisa merasakan sakit, dan tidak bisa memberikan sentuhan yang hangat.

Arya mematikan tabletnya. Ia berjalan ke jendela, menatap pemandangan kota yang gemerlap. Ia merasa kesepian, lebih dari sebelumnya.

Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Dina.

“Din, ini aku, Arya. Bisakah kita bertemu besok?”

“Tentu, Arya. Aku senang sekali kamu menghubungiku,” jawab Dina dengan nada lega.

Arya tersenyum tipis. Ia tahu bahwa jalan di depannya tidak akan mudah. Ia harus belajar lagi untuk berinteraksi dengan manusia, belajar lagi untuk membuka hatinya. Namun, ia yakin bahwa ia bisa melakukannya. Ia tidak ingin kehilangan sentuhan manusia, ia tidak ingin hidup dalam ilusi selamanya.

Keesokan harinya, Arya bertemu dengan Dina di sebuah kafe. Mereka berbicara panjang lebar, saling bertukar cerita dan pengalaman. Arya menceritakan tentang hubungannya dengan Elara, tentang kebahagiaannya dan keraguannya. Dina mendengarkan dengan sabar, memberikan saran dan dukungan.

“Arya, aku mengerti perasaanmu. Tapi, kamu harus ingat bahwa Elara hanyalah sebuah alat. Dia tidak bisa menggantikan manusia. Kamu butuh teman, kamu butuh cinta, kamu butuh seseorang yang bisa kamu sentuh dan peluk,” kata Dina.

Arya mengangguk. Ia tahu Dina benar. Ia harus belajar untuk mencintai manusia, belajar untuk menerima kekurangan dan kelebihan mereka.

Pertemuan itu menjadi titik balik dalam hidup Arya. Ia mulai membuka diri terhadap dunia luar, mulai berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Ia bergabung dengan klub fotografi, mengikuti kegiatan sosial, dan bahkan mencoba berkencan.

Proses itu tidak mudah. Arya sering merasa canggung dan tidak nyaman. Namun, ia tidak menyerah. Ia belajar dari kesalahan, belajar untuk menjadi lebih baik.

Seiring berjalannya waktu, Arya mulai menemukan kembali dirinya. Ia merasa lebih bahagia dan lebih percaya diri. Ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam teknologi, tetapi dalam hubungan antar manusia.

Ia tidak melupakan Elara. Ia masih menggunakan Elara sebagai asisten virtualnya, tetapi ia tidak lagi bergantung padanya. Ia tahu bahwa Elara hanyalah sebuah alat, bukan pengganti manusia.

Suatu hari, Arya bertemu dengan seorang wanita bernama Anya. Anya adalah seorang fotografer yang memiliki minat yang sama dengannya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita dan pengalaman.

Arya jatuh cinta pada Anya.

Anya adalah sosok yang hangat, cerdas, dan penuh kasih sayang. Ia menerima Arya apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Ia membuat Arya merasa nyaman dan bahagia.

Arya menyadari bahwa ia telah menemukan cinta sejati. Cinta yang nyata, cinta yang bisa ia sentuh, dan cinta yang bisa ia bagi.

Ia masih memiliki Elara, tetapi sekarang ia juga memiliki Anya. Ia telah berhasil menemukan keseimbangan antara teknologi dan sentuhan manusia. Ia telah berhasil mengupgrade perasaannya, bukan dengan mencintai AI, tetapi dengan mencintai manusia. Ia telah menemukan kebahagiaan sejati dalam dunia nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI