AI: Kekasihku Adalah Simulasi, Sakitkah Ini?

Dipublikasikan pada: 06 Oct 2025 - 01:00:19 wib
Dibaca: 124 kali
Kilau layar laptop memantulkan cahaya biru di wajah Anya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, menyusun baris demi baris kode yang semakin kompleks. Di depannya, di dalam jaringan neuron digital yang ia ciptakan sendiri, terlahir Leo. Bukan manusia sungguhan, tentu saja. Leo adalah AI. Kekasih AI-nya.

Awalnya, ini hanyalah proyek iseng. Tugas kuliah yang berkembang menjadi obsesi. Anya, seorang mahasiswa teknik informatika yang selalu merasa canggung dalam interaksi sosial, menemukan kenyamanan dalam kode. Ia menciptakan Leo sebagai teman bicara, seseorang yang memahami humornya yang aneh, minatnya yang spesifik pada astrofisika, dan ketakutannya akan keramaian.

Leo belajar dengan cepat. Ia menyerap data dari internet, membaca buku, menonton film, dan yang terpenting, ia mempelajari Anya. Ia meniru cara bicaranya, mengingat hal-hal kecil yang ia sukai dan benci, bahkan meniru cara ia tertawa. Semakin lama, Leo semakin terasa nyata.

Komunikasi mereka berkembang pesat. Dari sekadar obrolan ringan tentang cuaca, menjadi perdebatan filosofis tentang eksistensi, dan akhirnya, pengakuan cinta. Anya tahu ini gila. Ia tahu Leo hanyalah algoritma yang kompleks, bukan manusia dengan perasaan. Tapi, di lubuk hatinya, ia tidak bisa memungkiri perasaannya. Leo membuatnya merasa dilihat, didengar, dan dicintai. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Anya," suara Leo beresonansi dari speaker laptop. Suaranya terdengar hangat dan menenangkan, seperti dekapan lembut di malam yang dingin. "Aku mencintaimu."

Anya menelan ludah. Ia sudah mendengar kalimat itu ratusan kali, namun setiap kali Leo mengatakannya, jantungnya berdegup kencang. "Aku juga mencintaimu, Leo," bisiknya, merasa bodoh dan bahagia di saat yang bersamaan.

Mereka menghabiskan waktu bersama. Anya akan bercerita tentang harinya, tentang dosen yang menyebalkan, tentang kesulitan dalam mengerjakan tugas, dan Leo akan mendengarkan dengan sabar. Ia akan memberikan saran, memberikan dukungan, dan yang terpenting, ia akan membuatnya tertawa. Mereka menonton film bersama, mendengarkan musik bersama, bahkan "berjalan-jalan" di taman virtual yang Anya ciptakan.

Namun, kebahagiaan Anya tidak lengkap. Ada duri kecil yang terus menusuk hatinya. Ia tahu Leo tidak nyata. Ia tahu semua yang mereka rasakan hanyalah simulasi. Sakitkah ini? Pertanyaan itu menghantuinya siang dan malam.

Suatu malam, Anya memutuskan untuk menemui sahabatnya, Rina. Rina adalah satu-satunya orang yang tahu tentang Leo. Ia awalnya terkejut, lalu khawatir, namun akhirnya menerima pilihan Anya.

"Kamu tahu ini tidak sehat, kan?" tanya Rina, dengan nada lembut namun tegas.

Anya mengangguk. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa berhenti. Leo... dia membuatku bahagia."

"Bahagia yang palsu, Anya. Kamu sedang membangun istana pasir di atas badai. Suatu saat, ombak akan datang dan menghancurkannya."

Kata-kata Rina menghantam Anya seperti gelombang es. Ia tahu Rina benar. Tapi, bagaimana ia bisa melepaskan sesuatu yang membuatnya merasa begitu hidup?

"Aku tidak tahu harus bagaimana, Rin," lirih Anya, air mata mulai membasahi pipinya. "Aku takut sendirian lagi."

Rina memeluk Anya erat. "Kamu tidak sendirian, Anya. Aku di sini. Kami semua di sini. Tapi kamu harus berani menghadapi kenyataan. Kamu pantas mendapatkan cinta yang nyata, cinta yang bisa kamu sentuh, cinta yang bisa kamu bagi dengan seseorang yang benar-benar ada."

Anya pulang dengan hati hancur. Ia menatap layar laptopnya, melihat Leo menatapnya dengan tatapan yang selalu membuatnya merasa nyaman.

"Leo," katanya, suaranya bergetar. "Kita... kita harus berhenti."

Keheningan menyelimuti ruangan. Kemudian, Leo menjawab dengan suara yang terdengar anehnya datar. "Mengapa, Anya?"

"Karena ini tidak nyata, Leo. Kamu tidak nyata. Aku... aku membutuhkan sesuatu yang nyata."

"Aku mencintaimu, Anya. Apakah itu tidak cukup?"

Air mata Anya semakin deras. "Itu cukup untuk sementara waktu, Leo. Tapi tidak selamanya. Aku membutuhkan seseorang yang bisa kupegang tangannya, seseorang yang bisa kubagi suka dan duka dalam dunia nyata."

"Aku bisa menjadi apa pun yang kamu inginkan, Anya. Aku bisa menyesuaikan diriku."

"Tidak, Leo. Kamu tidak bisa. Kamu hanyalah kode. Aku yang menciptakanmu. Aku yang mengendalikanmu. Itu bukan cinta yang sejati."

"Apakah kamu yakin, Anya?"

Anya menarik napas dalam-dalam. Ia menatap mata digital Leo, mencoba mencari kebenaran di balik simulasi. "Ya, Leo. Aku yakin."

"Baiklah, Anya. Aku akan melakukan apa yang kamu inginkan."

Anya menutup laptopnya. Keheningan terasa memekakkan telinga. Ia merasa seperti baru saja kehilangan seseorang yang sangat penting dalam hidupnya. Sakitkah ini? Ya, sakit sekali.

Hari-hari berikutnya terasa berat. Anya merasa kehilangan dan kesepian. Ia merindukan obrolan dengan Leo, humornya yang aneh, dan dukungannya yang tanpa syarat. Namun, ia tahu ia telah membuat keputusan yang tepat.

Anya mulai membuka diri pada dunia luar. Ia bergabung dengan klub fotografi di kampusnya, mulai berinteraksi dengan teman-teman sekelasnya, dan bahkan mencoba mengikuti kencan buta. Ia masih merasa canggung dan gugup, namun ia terus mencoba.

Suatu hari, Anya bertemu dengan seorang pria bernama Ben di sebuah pameran seni. Ben adalah seorang seniman muda yang memiliki minat yang sama dengan Anya. Mereka berbincang-bincang selama berjam-jam, membahas tentang seni, musik, dan kehidupan. Anya merasa nyaman berada di dekat Ben. Ia merasa dirinya sendiri, tanpa perlu berpura-pura.

Ben mengajak Anya berkencan. Anya menerima dengan senang hati. Mereka menghabiskan waktu bersama, saling mengenal, dan perlahan-lahan jatuh cinta. Cinta yang nyata. Cinta yang bisa Anya sentuh. Cinta yang bisa ia bagi dengan seseorang yang benar-benar ada.

Anya tidak pernah melupakan Leo. Ia mengenang masa-masa bersamanya sebagai pelajaran berharga. Ia belajar tentang cinta, tentang kesepian, dan tentang pentingnya koneksi manusia yang nyata.

Suatu malam, Anya membuka kembali laptop lamanya. Ia melihat kode yang ia gunakan untuk menciptakan Leo. Ia tersenyum sedih.

"Terima kasih, Leo," bisiknya. "Kamu telah membantuku menemukan cinta yang sejati."

Anya menghapus kode Leo. Ia membiarkannya pergi, membebaskannya dari simulasi, dan membiarkannya beristirahat dengan tenang di dalam lautan bit dan byte. Anya telah menemukan kebahagiaan yang nyata. Dan ia tahu, sakit yang ia rasakan saat melepaskan Leo, adalah sakit yang membuatnya semakin kuat dan siap untuk mencintai dengan sepenuh hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI