Algoritma Jatuh Cinta: Apakah Cinta Bisa Diprediksi?

Dipublikasikan pada: 06 Oct 2025 - 01:40:11 wib
Dibaca: 116 kali
Debu neon berpendar di layar monitor, memantulkan cahaya biru pada wajah Anya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, mengetik kode-kode rumit yang membentuk algoritma cinta. Anya, seorang programmer jenius dengan rambut dicat ungu dan kacamata tebal yang selalu melorot di hidungnya, percaya bahwa cinta, sama seperti data, bisa dianalisis dan diprediksi.

“Bohong besar,” celetuk Riko, sahabat sekaligus rekan kerjanya, dari balik tumpukan kardus berisi motherboard bekas. “Cinta itu buta, Anya. Tidak bisa diukur, apalagi diprediksi.”

Anya mendengus. “Buta karena tidak ada yang mencoba melihatnya dengan jelas, Riko. Aku akan membuktikan bahwa pola ketertarikan, preferensi, bahkan respons emosional, semuanya bisa dikodekan. Aku akan membuat aplikasi kencan yang sempurna, yang menjamin kecocokan 100%.”

Riko tertawa. “Baiklah, Doktor Cinta. Aku tunggu hasilnya. Tapi ingat, cinta itu bukan soal angka dan algoritma. Ini soal hati.”

Anya mengabaikan komentar Riko. Ia terlalu fokus pada proyeknya. Algoritma yang ia rancang menganalisis data dari media sosial, riwayat pencarian, bahkan pola tidur pengguna. Semuanya dimasukkan ke dalam model kompleks yang menghasilkan skor kecocokan. Ia yakin, aplikasi ini akan merevolusi dunia percintaan.

Bulan-bulan berlalu, Anya menghabiskan waktunya di depan komputer, mengutak-atik kode, memperbaiki bug, dan menyempurnakan algoritmanya. Ia nyaris lupa pada kehidupan sosialnya sendiri. Riko, dengan sabar, terus mengingatkannya untuk makan, tidur, dan sesekali keluar rumah.

Akhirnya, aplikasi itu selesai. Anya memberinya nama “Cupid’s Code.” Dengan bangga, ia meluncurkannya ke publik. Awalnya, banyak yang skeptis. Namun, karena rasa penasaran, banyak juga yang mendaftar. Testimoni mulai bermunculan. Pasangan yang bertemu melalui Cupid’s Code mengaku menemukan kecocokan yang luar biasa. Aplikasi itu viral. Anya menjadi selebritas dadakan di dunia teknologi.

Namun, di tengah euforia kesuksesan, Anya merasa hampa. Ia telah menciptakan mesin pencari cinta yang sempurna, tetapi ia sendiri masih kesepian. Ia melihat teman-temannya yang berpasangan, tertawa dan bergandengan tangan, dan ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya.

Suatu malam, Riko datang ke apartemen Anya, membawa pizza dan sebotol soda. Mereka duduk di lantai, dikelilingi oleh sisa-sisa kode dan kardus-kardus bekas.

“Hebat, Anya,” kata Riko, setelah mengunyah sepotong pizza. “Kau berhasil membuktikan bahwa cinta bisa diprediksi.”

Anya menghela napas. “Tapi aku gagal merasakan cinta, Riko. Aku terlalu sibuk mencari pola, sehingga aku lupa merasakan getarannya.”

Riko tersenyum lembut. “Mungkin karena kau terlalu fokus mencari ‘yang sempurna’ di luar sana, sampai lupa melihat apa yang ada di dekatmu.”

Anya mengerutkan kening. Ia menatap Riko, yang balik menatapnya dengan tatapan hangat dan penuh perhatian. Ia baru menyadari, selama ini Riko selalu ada di sisinya, mendukungnya, menemaninya, tanpa pernah mengharapkan imbalan apa pun.

“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” gumam Anya.

Riko meraih tangannya. “Tidak perlu berkata apa-apa. Cukup rasakan.”

Sentuhan Riko mengirimkan aliran listrik ke seluruh tubuh Anya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena kode, tapi karena perasaan yang tiba-tiba muncul, perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan angka dan algoritma.

Anya membalas genggaman Riko. Ia melihat mata Riko, dan ia melihat kejujuran, kebaikan, dan cinta yang tulus. Ia baru sadar, selama ini ia terlalu sibuk mencari cinta di tempat yang salah.

“Riko,” bisik Anya. “Aku… aku rasa aku jatuh cinta padamu.”

Riko tersenyum lebar. “Aku juga, Anya. Sudah lama.”

Mereka berpelukan. Di tengah kekacauan apartemen yang penuh dengan teknologi, mereka menemukan cinta yang sederhana, cinta yang tidak terprogram, cinta yang murni.

Anya masih terus mengembangkan Cupid’s Code, tetapi kini dengan perspektif yang berbeda. Ia menyadari bahwa algoritma hanya alat bantu, bukan penentu. Cinta sejati tidak bisa diprediksi, tetapi bisa ditemukan, jika kita membuka hati dan mata kita untuk melihat orang-orang di sekitar kita.

Beberapa bulan kemudian, Anya dan Riko berjalan-jalan di taman kota. Anya menggenggam tangan Riko erat-erat.

“Kau tahu,” kata Anya, sambil tersenyum. “Algoritma Cupid’s Code tidak akan pernah bisa memprediksi bahwa aku akan jatuh cinta padamu.”

Riko tertawa. “Karena cinta itu lebih dari sekadar data dan angka, Anya. Cinta itu misteri yang indah.”

Anya mengangguk setuju. Ia menatap langit biru, merasakan kehangatan matahari, dan cinta yang bersemi di hatinya. Ia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya. Cinta memang tidak bisa diprediksi, tetapi cinta bisa dirasakan, dijalani, dan dinikmati. Dan itu, jauh lebih berharga daripada algoritma apa pun. Aplikasi kencan yang ia buat mungkin berhasil mencocokkan banyak orang, tapi ia sendiri, menemukan cintanya bukan dari kode program, melainkan dari kebaikan hati dan perhatian seorang sahabat. Kadang, cinta memang sedekat itu. Hanya perlu membuka mata hati untuk melihatnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI