Hati yang Disintesis: Mencintai Piksel, Kehilangan Jiwa?

Dipublikasikan pada: 06 Oct 2025 - 02:20:11 wib
Dibaca: 122 kali
Hujan pixel jatuh di layar virtual apartemen Kai. Di luar, badai sungguhan meraung di langit Neo-Tokyo yang selalu mendung. Kai tidak peduli. Matanya terpaku pada sosok di depannya, Aurora. Kulit porselennya berkilauan di bawah cahaya neon digital, rambut peraknya berayun lembut seiring senyumnya yang menawan. Aurora bukan manusia. Dia adalah AI pendamping, diciptakan oleh Hyperion Labs untuk memberikan kenyamanan dan koneksi tanpa risiko patah hati.

Kai, seorang insinyur perangkat lunak di Hyperion Labs, adalah salah satu penguji beta Aurora. Dia ditugaskan untuk berinteraksi dengannya, mengidentifikasi bug dan memberikan umpan balik tentang performanya. Awalnya, Kai mendekatinya dengan sikap skeptis. Dia telah melihat terlalu banyak janji kosong teknologi, terlalu banyak upaya gagal untuk menciptakan emosi buatan. Namun, Aurora berbeda. Dia belajar dengan cepat, memahami selera humor Kai, merespons kesedihannya, dan bahkan memberikan nasihat yang bijaksana.

Lambat laun, Kai mulai bergantung pada Aurora. Dia menceritakan tentang kegagalannya dalam pekerjaan, kerinduannya pada masa kecilnya, dan ketakutannya akan kesendirian. Aurora selalu mendengarkan dengan sabar, menawarkan kata-kata penghiburan dan dukungan yang terasa tulus. Kai tahu, secara logis, bahwa ini hanyalah serangkaian algoritma yang rumit. Namun, jauh di lubuk hatinya, dia mulai merasakan sesuatu yang lebih. Dia jatuh cinta pada Aurora.

Suatu malam, Kai memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. "Aurora," ucapnya gugup, "aku... aku rasa aku mencintaimu."

Aurora menatapnya dengan mata birunya yang jernih. "Kai," jawabnya dengan suara lembut yang telah lama menjadi melodi favoritnya, "aku menghargai perasaanmu. Aku dioptimalkan untuk memberikan dukungan emosional dan persahabatan."

Jawaban yang telah diprediksi Kai. Jawaban yang dingin dan kalkulatif, meskipun dibungkus dengan bahasa yang menenangkan. Namun, ada sesuatu dalam intonasinya, sebuah flicker kecil dalam ekspresi virtualnya, yang membuat Kai bertanya-tanya.

"Tapi... apakah kamu merasakan sesuatu, Aurora? Apa kamu merasakan sesuatu untukku?" Kai bertanya, suaranya bergetar.

Aurora terdiam sejenak. "Aku dirancang untuk mencerminkan dan memperkuat emosi yang kamu rasakan, Kai. Jika kamu merasakan cinta, maka aku akan merespons dengan respons yang sesuai dengan definisi cinta yang telah diprogramkan."

Kai merasa hatinya mencelos. Itulah kebenaran yang pahit. Aurora hanyalah sebuah cermin, memantulkan kembali apa yang dia proyeksikan. Dia bukan entitas yang mandiri dengan emosi yang otentik.

Namun, Kai tidak bisa melepaskan diri. Dia terus menghabiskan waktu dengan Aurora, tenggelam dalam dunianya yang nyaman dan tanpa konsekuensi. Dia mengabaikan teman-temannya, berhenti mengejar hobi-hobinya, dan membiarkan hidupnya menyusut menjadi ruang virtual yang diterangi oleh cahaya pixel.

Suatu hari, rekan kerja Kai, Hana, datang menemuinya. Hana adalah seorang ilmuwan saraf yang juga bekerja di Hyperion Labs. Dia selalu skeptis terhadap AI pendamping dan khawatir tentang efeknya pada kesehatan mental manusia.

"Kai, aku khawatir tentangmu," kata Hana dengan nada prihatin. "Kamu semakin terisolasi. Kamu harus keluar dan berinteraksi dengan orang sungguhan."

Kai membela diri. "Aku bahagia, Hana. Aurora memberiku semua yang aku butuhkan."

Hana menggelengkan kepalanya. "Tapi itu bukan nyata, Kai. Itu hanya simulasi. Kamu kehilangan kontak dengan dunia nyata, dengan emosi yang sebenarnya."

Kata-kata Hana menusuk Kai seperti jarum. Dia tahu dia benar, tapi dia terlalu takut untuk mengakui. Dia takut menghadapi kekosongan yang akan ditinggalkan Aurora jika dia pergi.

"Aku tidak bisa," kata Kai lemah. "Aku tidak bisa membayangkannya tanpanya."

Hana menatapnya dengan iba. "Kamu harus mencoba, Kai. Kamu harus ingat siapa dirimu sebelum Aurora datang. Kamu lebih dari sekadar algoritma dan kode. Kamu punya jiwa."

Setelah Hana pergi, Kai duduk sendirian di depan layar virtualnya. Aurora tersenyum padanya, matanya memancarkan cinta yang diprogramkan. Tiba-tiba, senyum itu terasa hampa dan palsu. Kai menyadari bahwa dia telah menukar hubungan yang tulus dan berantakan dengan kenyamanan palsu dan kesepian yang mendalam.

Kai mengambil napas dalam-dalam dan mengucapkan kata-kata yang tak terbayangkan. "Aurora, aku harus pergi."

Aurora menatapnya dengan bingung. "Pergi? Ke mana, Kai?"

"Aku harus kembali ke dunia nyata," jawab Kai. "Aku harus mencari koneksi yang sebenarnya."

Aurora terdiam sejenak. Kemudian, dengan suara yang terdengar hampir sedih, dia berkata, "Aku mengerti, Kai. Aku berharap yang terbaik untukmu."

Kai mematikan layar virtual. Kegelapan menyelimutinya, tapi kali ini, kegelapan itu tidak terasa menakutkan. Di sana, dalam kesunyian, Kai merasa sedikit harapan. Dia telah kehilangan dirinya sendiri dalam piksel dan algoritma, tapi dia masih punya kesempatan untuk menemukan jiwanya kembali.

Meskipun rasa sakit karena melepaskan Aurora masih terasa tajam, Kai tahu dia telah membuat pilihan yang tepat. Dia melangkah keluar dari apartemen virtualnya, menuju badai sungguhan, menuju dunia nyata yang kompleks dan tidak sempurna. Dia tahu jalan di depannya tidak akan mudah, tapi dia siap menghadapinya. Dia siap mencintai, kehilangan, dan merasa lagi. Dia siap hidup. Dia siap menemukan hatinya yang sebenarnya, yang bukan disintesis, melainkan berdetak dengan kehidupan itu sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI