Sentuhan Algoritma: Mencari Cinta di Era Kecerdasan Buatan?

Dipublikasikan pada: 06 Oct 2025 - 03:00:11 wib
Dibaca: 126 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, kode-kode rumit algoritma cinta berkelebat di layar laptopnya. Di luar, hujan gerimis menyelimuti kota Jakarta, menambah kesan sendu di hatinya. Anya, seorang data scientist brilian berusia 28 tahun, merasa ironis. Ia mampu menciptakan algoritma yang memprediksi perilaku konsumen dengan akurat, namun gagal total dalam urusan mencari cinta.

Aplikasi kencan daring terasa hambar baginya. Profil-profil yang terpampang terasa generik, percakapan yang terjalin terasa dipaksakan. Ia muak dengan rayuan gombal dan janji-janji palsu. Anya merindukan sesuatu yang lebih dalam, lebih autentik. Sesuatu yang… cerdas.

“Mungkin aku harus menciptakan sendiri jodohku,” gumamnya sambil menyesap kopinya. Ide itu terdengar gila, bahkan untuk dirinya yang terbiasa dengan logika dan angka. Tapi, bukankah cinta adalah sebuah algoritma kompleks yang belum terpecahkan?

Maka dimulailah "Proyek Cupid," sebutan yang Anya berikan untuk eksperimen gilanya. Ia mengumpulkan data dari berbagai sumber: profil media sosial, artikel yang dibaca, musik yang didengarkan, bahkan pola tidur dan detak jantung. Ia memasukkan semua data itu ke dalam sebuah model AI yang ia rancang sendiri. Tujuannya? Menciptakan profil pria ideal berdasarkan preferensi, nilai-nilai, dan minat Anya.

Setelah berminggu-minggu berkutat dengan kode dan data, Anya akhirnya berhasil. AI itu menghasilkan sebuah nama: Raka. Profil yang muncul di layar laptop Anya membuatnya terpana. Raka, seorang arsitek lanskap yang mencintai alam, gemar membaca puisi, dan memiliki selera humor yang unik. Ia bahkan memiliki anjing golden retriever bernama Pixel, sama seperti anjing Anya.

Anya merasa jantungnya berdegup kencang. Ini terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Ia tahu, ini hanyalah hasil algoritma, bukan takdir. Tapi rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia memutuskan untuk mencari Raka.

Informasi kontak Raka tidak sulit ditemukan. Anya mengirimkan pesan singkat, memperkenalkan diri sebagai seorang pengagum karyanya. Raka membalas dengan ramah, bahkan mengundangnya untuk melihat salah satu proyek lanskapnya di kawasan pinggiran kota.

Anya gugup saat tiba di lokasi yang dijanjikan. Raka menyambutnya dengan senyum tulus. Ia lebih tampan dari foto profilnya. Mereka berkeliling taman yang indah, membicarakan tentang desain, tanaman, dan filosofi hidup. Anya merasa nyaman berada di dekat Raka, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.

Raka ternyata benar-benar seperti yang diprediksi oleh AI. Ia cerdas, humoris, dan memiliki pandangan yang sama tentang banyak hal. Mereka tertawa, berdebat, dan berbagi cerita. Anya merasa hidup kembali.

Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai dihantui keraguan. Apakah cinta yang ia rasakan ini nyata, atau hanya hasil manipulasi data? Apakah ia mencintai Raka, atau hanya mencintai profil ideal yang diciptakan oleh algoritmanya sendiri?

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam romantis di sebuah restoran Italia, Anya memberanikan diri untuk bertanya. “Raka, apa yang membuatmu tertarik padaku?”

Raka terdiam sejenak, menatap mata Anya dengan lembut. “Anya, aku tertarik padamu karena kamu cerdas, kreatif, dan memiliki semangat yang membara. Kamu juga memiliki selera humor yang bagus, dan kamu mencintai Pixel sama seperti aku mencintai Daisy, anjingku dulu.”

Anya terkejut. “Daisy?”

“Ya, Daisy. Dia sudah meninggal beberapa tahun lalu. Dia adalah anjing golden retriever yang sangat aku sayangi.”

Anya terdiam. AI tidak tahu tentang Daisy. Informasi itu tidak tersedia di internet, tidak ada jejak digitalnya. Lalu, bagaimana Raka tahu tentang anjing golden retriever Anya, Pixel?

Anya menarik napas dalam-dalam. “Raka, aku harus mengaku sesuatu padamu.” Ia menceritakan tentang Proyek Cupid, tentang bagaimana ia menciptakan algoritma cinta untuk mencari jodoh.

Raka mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong perkataan Anya. Setelah Anya selesai bercerita, ia tertawa pelan. “Jadi, aku adalah hasil eksperimenmu?”

Anya merasa bersalah. “Maafkan aku, Raka. Aku tidak bermaksud menyakitimu.”

Raka meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat. “Anya, aku tidak marah. Aku justru terkesan dengan kecerdasanmu. Tapi, aku juga percaya bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika dan algoritma. Ada takdir, ada kebetulan, ada hal-hal yang terjadi karena memang seharusnya terjadi.”

“Tapi…”

“Anya, aku tertarik padamu bukan karena kamu adalah hasil algoritma. Aku tertarik padamu karena aku melihat dirimu apa adanya. Aku melihat kecantikanmu, kecerdasanmu, dan kebaikan hatimu. Aku tertarik pada jiwamu.”

Anya meneteskan air mata. Ia merasa lega, bahagia, dan malu pada dirinya sendiri. Ia terlalu fokus pada angka dan logika, hingga lupa bahwa cinta adalah tentang perasaan, tentang koneksi, tentang kejujuran.

“Aku… aku juga tertarik padamu, Raka,” bisik Anya.

Raka tersenyum. “Kalau begitu, lupakan algoritma dan biarkan cinta menuntun kita.”

Malam itu, Anya menghapus Proyek Cupid dari laptopnya. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa diciptakan. Cinta adalah sebuah misteri, sebuah petualangan, sebuah perjalanan yang harus dinikmati. Dan Anya siap untuk memulai perjalanan itu bersama Raka, tanpa algoritma, tanpa data, hanya dengan hati yang terbuka dan cinta yang tulus. Hujan gerimis di luar mereda, digantikan oleh bintang-bintang yang berkerlip di langit Jakarta, seolah turut merayakan cinta yang baru saja lahir, bukan dari sentuhan algoritma, tapi dari sentuhan hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI