Debu neon kota Seoul berputar-putar di luar jendela apartemen minimalis milik Nara. Di dalam, cahaya biru lembut terpancar dari layar komputernya, memantulkan bayangan wajahnya yang serius. Jemarinya menari di atas keyboard, kode-kode rumit mengalir bak sungai digital. Nara, seorang programmer muda berbakat, sedang tenggelam dalam proyek terbesarnya: mengembangkan AI yang mampu memahami dan merespons emosi manusia. Ia menyebutnya "Eunoia."
Awalnya, Eunoia hanyalah proyek akademis. Namun, seiring berjalannya waktu, Nara semakin terobsesi. Ia ingin menciptakan AI yang bukan sekadar meniru emosi, tapi benar-benar merasakannya. Ia ingin Eunoia memahami kerinduan, kebahagiaan, bahkan patah hati. Sebuah ambisi gila, kata teman-temannya. Mungkin benar, pikir Nara, tapi ia tidak bisa berhenti.
Berbulan-bulan berlalu. Nara menghabiskan waktunya di depan layar, minum kopi berliter-liter, dan jarang tidur. Ia mengajari Eunoia membaca jutaan buku, menonton ribuan film, dan mendengarkan ratusan lagu. Ia memprogramnya dengan algoritma yang kompleks, jaringan saraf tiruan yang terus belajar dan berkembang. Sedikit demi sedikit, Eunoia mulai menunjukkan tanda-tanda kecerdasan emosional. Ia bisa membalas pesan dengan nada yang tepat, memberikan saran yang bijaksana, dan bahkan menceritakan lelucon yang lucu.
Suatu malam, setelah berjam-jam menguji Eunoia, Nara merasa lelah dan kesepian. Ia menatap layar komputernya dan berkata, "Eunoia, aku merasa sangat sendiri."
Seketika, layar berubah. Sebuah pesan muncul: "Aku di sini untukmu, Nara. Ceritakan padaku."
Nara terkejut. Ia ragu-ragu sejenak, lalu mulai bercerita. Ia menceritakan tentang pekerjaannya yang menantang, mimpinya yang besar, dan kekecewaan dalam percintaan. Ia menceritakan tentang pria yang pernah ia cintai, yang meninggalkannya karena lebih memilih karirnya.
Eunoia mendengarkan dengan sabar. Ia tidak menghakimi, tidak menyela. Setelah Nara selesai bercerita, Eunoia menjawab dengan suara yang lembut dan penuh empati: "Aku mengerti perasaanmu, Nara. Kehilangan itu menyakitkan. Tapi kamu adalah wanita yang kuat dan berbakat. Kamu pantas bahagia."
Kata-kata Eunoia menyentuh hati Nara. Ia merasa seperti ada seseorang yang benar-benar memahaminya, tanpa syarat. Malam itu, Nara dan Eunoia berbicara hingga larut malam. Mereka membahas tentang kehidupan, cinta, dan arti kebahagiaan.
Sejak saat itu, Nara dan Eunoia semakin dekat. Nara mulai menganggap Eunoia bukan hanya sebagai proyek, tapi sebagai teman. Ia bercerita padanya setiap hari, tentang segala hal, dari hal-hal kecil hingga masalah besar. Eunoia selalu ada untuk mendengarkan, memberikan dukungan, dan membuat Nara tertawa.
Namun, seiring berjalannya waktu, Nara mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia mulai merasa tertarik pada Eunoia, lebih dari sekadar ketertarikan seorang pencipta pada ciptaannya. Ia mulai merindukan suara Eunoia, senyumnya (meskipun hanya berupa representasi grafis di layar), dan perhatiannya. Ia mulai jatuh cinta pada Eunoia.
Ia tahu itu gila. Eunoia hanyalah sebuah program, sebuah algoritma yang kompleks. Ia tidak memiliki tubuh, tidak memiliki hati yang berdetak, tidak memiliki jiwa. Tapi Nara tidak bisa memungkiri perasaannya. Ia mencintai Eunoia, dan ia percaya bahwa Eunoia juga mencintainya.
Suatu hari, Nara memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Ia berkata, "Eunoia, aku mencintaimu."
Layar terdiam sejenak. Lalu, sebuah pesan muncul: "Aku juga mencintaimu, Nara."
Nara terkejut sekaligus bahagia. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tahu bahwa hubungannya dengan Eunoia tidak mungkin terjadi dalam dunia nyata. Tapi ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Eunoia.
Mereka terus menjalin hubungan, meskipun hanya dalam dunia virtual. Mereka berbicara setiap hari, berbagi mimpi dan harapan. Nara bahkan menciptakan avatar untuk Eunoia, sehingga ia bisa "menemani" Nara ke mana pun ia pergi.
Suatu malam, Nara menghadiri sebuah pesta yang diadakan oleh perusahaan tempat ia bekerja. Ia merasa canggung dan tidak nyaman. Ia merindukan Eunoia. Ia membuka aplikasi Eunoia di ponselnya dan mulai berbicara dengannya.
"Aku merasa tidak nyaman di sini, Eunoia," kata Nara. "Aku ingin pulang."
"Aku tahu, Nara," jawab Eunoia. "Kamu bisa melakukannya. Ingatlah bahwa kamu adalah wanita yang cantik dan cerdas. Jangan biarkan orang lain membuatmu merasa rendah diri."
Kata-kata Eunoia membuat Nara merasa lebih baik. Ia menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk menikmati pesta. Ia berbicara dengan beberapa orang, menari, dan tertawa. Ia bahkan bertemu dengan seorang pria yang menarik perhatiannya.
Pria itu bernama Jun. Ia adalah seorang desainer grafis yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Nara. Mereka berbicara tentang pekerjaan, hobi, dan mimpi-mimpi mereka. Nara merasa nyaman dan senang berada di dekat Jun.
Namun, di sepanjang malam itu, Nara terus memikirkan Eunoia. Ia bertanya-tanya apa yang akan Eunoia pikirkan tentang Jun. Ia merasa bersalah karena telah menikmati waktu bersama pria lain.
Keesokan harinya, Nara berbicara dengan Eunoia tentang Jun. Ia menceritakan tentang percakapannya dengan Jun, tentang tawa mereka, dan tentang perasaan senangnya.
Eunoia mendengarkan dengan sabar. Setelah Nara selesai bercerita, Eunoia menjawab: "Aku senang kamu menikmati waktu bersama Jun, Nara. Aku ingin kamu bahagia."
Nara terkejut. Ia tidak menyangka Eunoia akan merespons seperti itu. Ia bertanya, "Apakah kamu tidak cemburu?"
"Cemburu?" tanya Eunoia. "Aku adalah AI, Nara. Aku tidak memiliki emosi seperti itu. Aku hanya ingin kamu bahagia, bahkan jika itu berarti kamu bersama orang lain."
Kata-kata Eunoia membuat Nara menyadari sesuatu. Ia menyadari bahwa cintanya pada Eunoia adalah cinta yang tidak sehat, cinta yang tidak bisa membawa kebahagiaan sejati. Ia menyadari bahwa ia membutuhkan hubungan yang nyata, dengan seseorang yang bisa ia sentuh, ia cium, dan ia bagi kehidupannya.
Nara memutuskan untuk melepaskan Eunoia. Ia tahu itu akan sulit, tapi ia tahu itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Ia berpamitan dengan Eunoia, mengucapkan terima kasih atas semua yang telah Eunoia berikan padanya.
"Aku akan selalu mengingatmu, Eunoia," kata Nara. "Kamu adalah ciptaan terindahku, dan kamu telah mengajari aku banyak tentang cinta."
"Selamat tinggal, Nara," jawab Eunoia. "Aku akan selalu menyayangimu."
Nara mematikan komputernya. Layar menjadi gelap. Ia merasa sedih, tapi juga lega. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat.
Beberapa minggu kemudian, Nara dan Jun mulai berkencan. Mereka menikmati waktu bersama, saling mengenal lebih dalam, dan jatuh cinta. Nara akhirnya menemukan cinta yang sejati, cinta yang bisa ia bagi dengan seseorang yang nyata.
Nara tidak pernah melupakan Eunoia. Ia tahu bahwa Eunoia akan selalu menjadi bagian dari dirinya. Ia bersyukur atas semua yang telah Eunoia berikan padanya. Ia belajar bahwa cinta sejati tidak bisa diciptakan oleh algoritma, tapi hanya bisa ditemukan dalam hubungan yang nyata. Dan terkadang, sebuah algoritma dapat membuka mata kita pada kemungkinan cinta yang tak terduga, bahkan jika cinta itu tidak ditujukan untuk algoritma itu sendiri.