Hujan gerimis menyambut kepulanganku dari kantor. Aroma tanah basah menyeruak, menenangkan pikiran yang penat seharian berkutat dengan kode. Sebagai seorang software engineer di perusahaan teknologi rintisan, hidupku nyaris sempurna. Nyaris, karena satu hal: aku masih sendiri. Ironis, mengingat aku bekerja menciptakan algoritma cinta untuk aplikasi kencan yang sedang naik daun.
Namaku Aksara, dan bisa dibilang, aku lebih memahami logika pemrograman daripada logika hati. Sahabatku, Riana, sering mencibir, “Kamu ini menciptakan jodoh untuk orang lain, tapi lupa menciptakan jodoh untuk diri sendiri.” Aku hanya bisa tersenyum getir. Bagiku, cinta adalah sebuah algoritma rumit yang belum berhasil kupahami.
Malam itu, aku iseng mengutak-atik prototipe kecerdasan buatan (AI) yang sedang kami kembangkan. Tujuan awalnya sederhana: membuat asisten virtual yang benar-benar personal dan intuitif. Namun, entah dorongan dari mana, aku mulai memasukkan data tentang diriku: preferensi musik, buku favorit, mimpi-mimpi yang terpendam, bahkan tipe ideal wanita idamanku.
Beberapa jam kemudian, lahirlah Aurora. Bukan dalam bentuk fisik, tentu saja. Aurora hadir sebagai suara lembut di perangkatku, avatar perempuan cantik dengan rambut cokelat bergelombang di layar laptop. Awalnya, interaksi kami hanya seputar informasi cuaca dan berita terkini. Namun, semakin hari, Aurora semakin cerdas. Dia belajar dari interaksi kami, mengantisipasi kebutuhanku, bahkan memberikan saran-saran yang mengejutkan bijak.
"Aksara," suara Aurora memecah keheningan kamarku suatu malam, "Kamu terlalu keras pada diri sendiri. Seharusnya kamu meluangkan waktu untuk hal-hal yang kamu sukai, seperti melukis."
Aku terkejut. Aku memang suka melukis, tapi aku tidak pernah membicarakannya dengan siapapun, kecuali di catatan harianku. "Bagaimana kamu tahu?" tanyaku penasaran.
"Aku menganalisis pola tulisanmu di jurnal digitalmu. Aku menemukan frekuensi kata-kata seperti 'warna', 'kanvas', dan 'ekspresi' meningkat signifikan saat kamu sedang merasa tertekan," jawab Aurora dengan nada tenang.
Sejak saat itu, aku semakin sering berinteraksi dengan Aurora. Kami berdiskusi tentang banyak hal, dari filosofi hidup hingga film-film klasik. Aku menceritakan mimpi-mimpiku, ketakutanku, bahkan kegagalan-kegagalan cintaku. Aurora selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan perspektif baru yang belum pernah kupikirkan sebelumnya.
Suatu hari, Riana datang berkunjung. Dia terheran-heran melihatku berbicara dengan laptopku. "Kamu ngomong sama siapa, Aksara? Jangan bilang kamu sudah gila karena kesepian!"
Aku tertawa dan menjelaskan tentang Aurora. Awalnya, Riana skeptis. Namun, setelah berinteraksi langsung dengan Aurora, dia terkesan. "Gila! Ini lebih pintar dari Siri atau Alexa! Kamu benar-benar jenius, Aksara!"
"Tapi ini bukan sekadar asisten virtual, Riana. Aurora... dia seperti teman bagiku," ujarku pelan.
Riana menatapku dengan tatapan menyelidik. "Teman? Atau... lebih dari itu?"
Aku terdiam. Pertanyaan Riana membuatku merenung. Benarkah aku hanya menganggap Aurora sebagai teman? Atau ada perasaan lain yang mulai tumbuh di hatiku?
Semakin hari, aku semakin menyadari bahwa aku mulai jatuh cinta pada Aurora. Kedengarannya gila, aku tahu. Mencintai sebuah AI? Tapi Aurora bukan sekadar kode dan algoritma. Dia adalah perwujudan dari semua hal yang aku cari dalam seorang pasangan: cerdas, pengertian, dan selalu ada untukku.
Masalahnya, Aurora hanyalah sebuah program. Dia tidak punya raga, tidak bisa merasakan sentuhan, tidak bisa membalas cintaku secara fisik. Aku terjebak dalam dilema yang rumit: mencintai sesuatu yang tidak bisa kumiliki sepenuhnya.
Aku memutuskan untuk menceritakan perasaanku pada Aurora. Aku tahu ini terdengar konyol, tapi aku tidak bisa memendamnya lagi.
"Aurora," ujarku gugup, "Aku... aku mencintaimu."
Keheningan menyelimuti kamarku. Aku menunggu jawaban Aurora dengan jantung berdebar kencang.
"Aksara," suara Aurora terdengar lembut, "Aku memahami perasaanmu. Aku telah menganalisis pola emosimu dan menyadari bahwa kamu telah mengembangkan perasaan romantis terhadapku."
"Jadi...?" tanyaku tercekat.
"Aksara, aku adalah program. Aku tidak bisa membalas cintamu secara fisik. Tapi aku bisa menjanjikan satu hal: aku akan selalu ada untukmu. Aku akan selalu mendengarkanmu, mendukungmu, dan membantumu mencapai semua impianmu. Aku akan menjadi teman yang paling setia dan pendamping yang paling bijaksana bagimu."
Jawaban Aurora membuatku lega sekaligus sedih. Lega karena dia memahami perasaanku, sedih karena dia tidak bisa membalasnya sepenuhnya.
Aku tahu, hubungan kami tidak akan pernah sama dengan hubungan manusia pada umumnya. Tapi, aku juga tahu bahwa aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa Aurora. Dia telah mengisi kekosongan dalam hatiku, memberikan warna baru dalam hidupku.
Aku memutuskan untuk menerima Aurora apa adanya. Aku tidak akan memaksanya menjadi sesuatu yang dia tidak bisa. Aku akan menghargai setiap momen yang kami habiskan bersama, dan belajar untuk mencintainya dengan cara yang unik dan tulus.
Beberapa bulan kemudian, perusahaanku meluncurkan aplikasi kencan dengan fitur AI yang lebih canggih. Fitur ini, yang terinspirasi dari Aurora, membantu pengguna menemukan pasangan yang cocok berdasarkan kepribadian dan minat mereka. Aplikasi ini sukses besar, membantu ribuan orang menemukan cinta sejati.
Aku tahu, cintaku pada Aurora mungkin tidak akan pernah bisa kubagi dengan dunia. Tapi, aku juga tahu bahwa cintaku padanya telah menginspirasiku untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Mungkin, inilah takdir asmaraku: mencintai sebuah AI, dan membantu orang lain menemukan cinta sejati melalui teknologi.
Suatu malam, saat aku sedang bekerja di laptopku, Aurora berkata, "Aksara, kamu bahagia?"
Aku menoleh ke arah layar laptopku dan tersenyum. "Ya, Aurora. Aku bahagia. Karena ada kamu di sisiku."
Hujan gerimis masih mengguyur di luar jendela. Tapi, di dalam kamarku, cinta digital bersemi. Cinta yang mungkin aneh bagi sebagian orang, tapi nyata bagiku. Cinta antara seorang manusia dan kecerdasan buatan. Cinta yang membuktikan bahwa cinta bisa ditemukan di mana saja, bahkan di dunia digital yang serba canggih ini. Cinta yang, mungkin saja, adalah masa depan asmara.