Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan barisan kode yang rumit namun elegan. Anya, seorang programmer muda dengan rambut dikepang dua yang selalu lolos dari ikat rambutnya, mengerutkan kening. Bug kecil ini benar-benar membuatnya frustasi. Di layar monitornya, aplikasi kencan buatannya sendiri, "Algoritma Hati," memamerkan kesalahan sintaks yang membandel. Ironis, pikirnya, ia menciptakan alat untuk menemukan cinta, sementara dirinya sendiri masih terperangkap dalam dunia kode yang sunyi.
"Butuh bantuan, Anya?" suara lembut menyapa dari belakang.
Anya menoleh, mendapati Rio berdiri di ambang pintu ruangannya. Rio, rekan kerjanya sekaligus sahabatnya sejak kuliah, memiliki senyum yang menenangkan dan aura yang selalu membuatnya merasa nyaman. Rio adalah desainer grafis yang brilian, otak di balik antarmuka "Algoritma Hati" yang memukau.
"Bug ini benar-benar membuatku gila, Rio. Sudah tiga jam aku mencoba memperbaikinya," keluh Anya sambil mengacak rambutnya yang sudah berantakan.
Rio mendekat dan mengamati layar monitor Anya. Matanya yang tajam dengan cepat menemukan kesalahan kecil yang tersembunyi di antara ratusan baris kode. "Sepertinya ada kesalahan penulisan di baris 147. Kurang satu titik koma."
Anya memukul dahinya. "Astaga! Bagaimana bisa aku tidak melihatnya?" Ia segera memperbaiki kesalahan itu, dan seketika, aplikasi itu berjalan dengan lancar. "Terima kasih, Rio. Kamu benar-benar penyelamatku."
Rio tersenyum. "Itulah gunanya teman. Lagipula, aku punya kepentingan dalam kesuksesan aplikasi ini. Aku ingin melihat orang-orang menemukan kebahagiaan melalui 'Algoritma Hati'."
Anya mengangguk. Ia tahu betul betapa Rio mencintai pekerjaannya. Ia selalu bersemangat menciptakan desain yang indah dan intuitif, memastikan pengguna merasa nyaman dan terhubung.
"Omong-omong, Anya," Rio melanjutkan, "sudahkah kamu mencoba 'Algoritma Hati' sendiri?"
Anya tersenyum kecut. "Belum. Aku terlalu sibuk memperbaikinya untuk mencari cinta. Aku tidak yakin algoritma bisa memahami kerumitan hatiku."
"Ayolah, Anya. Beri kesempatan pada aplikasi ini. Siapa tahu, kamu akan terkejut." Rio menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Anya akhirnya mengalah. Ia membuat profil di "Algoritma Hati," mengisi semua informasi yang diminta dengan jujur. Ia bahkan menambahkan foto dirinya yang sedang tersenyum lebar, bukan foto profesional yang biasa digunakannya untuk keperluan pekerjaan.
"Algoritma Hati" bekerja dengan cepat, mencocokkan profil Anya dengan ratusan profil pengguna lainnya. Beberapa hari kemudian, Anya menerima notifikasi. Aplikasi itu menemukan kecocokan sempurna untuknya: seorang fotografer alam bernama Dimas yang memiliki minat yang sama dengannya, mulai dari mendaki gunung hingga menikmati film-film klasik.
Anya ragu-ragu. Ia tidak pernah berkencan online sebelumnya. Rasanya aneh membiarkan algoritma menentukan siapa yang cocok dengannya. Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia mengirim pesan kepada Dimas.
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Dimas ternyata orang yang menyenangkan dan perhatian. Mereka berbagi cerita tentang petualangan mereka, impian mereka, dan ketakutan mereka. Anya merasa terhubung dengan Dimas secara emosional, meskipun mereka belum pernah bertemu secara langsung.
Setelah beberapa minggu, Dimas mengajak Anya berkencan. Mereka bertemu di sebuah kafe yang nyaman, dihiasi dengan lampu-lampu temaram dan aroma kopi yang menggoda. Dimas ternyata lebih tampan dan menawan dari fotonya. Ia memiliki mata yang hangat dan senyum yang tulus.
Kencan itu berjalan dengan sempurna. Mereka tertawa, bercerita, dan menemukan banyak kesamaan. Anya merasa seperti mengenal Dimas seumur hidupnya. Ia mulai percaya bahwa mungkin, "Algoritma Hati" benar-benar bisa membantu orang menemukan cinta.
Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran mewah, Dimas menerima telepon. Wajahnya berubah pucat setelah berbicara sebentar.
"Anya, maafkan aku," kata Dimas dengan suara bergetar. "Aku harus pergi. Ada urusan mendesak."
Anya terkejut. "Ada apa, Dimas? Apa yang terjadi?"
"Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Aku janji akan meneleponmu nanti," jawab Dimas sambil bergegas pergi.
Anya ditinggalkan sendirian di restoran, bingung dan khawatir. Ia mencoba menghubungi Dimas berulang kali, tetapi teleponnya tidak diangkat. Hari-hari berlalu, dan Dimas menghilang tanpa jejak.
Anya patah hati. Ia merasa bodoh karena mempercayai "Algoritma Hati." Ia menyalahkan dirinya sendiri karena terlalu mudah percaya pada orang asing.
Rio melihat kesedihan Anya. Ia tahu bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Ia mendekati Anya dan memeluknya erat.
"Anya, ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Rio dengan nada khawatir.
Anya menceritakan semuanya kepada Rio. Ia menceritakan tentang Dimas, kencan mereka yang sempurna, dan kepergiannya yang tiba-tiba.
Rio mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Setelah Anya selesai berbicara, Rio berkata, "Anya, aku minta maaf atas apa yang terjadi. Aku tahu ini sulit, tapi jangan salahkan dirimu sendiri. Ini bukan salahmu."
"Tapi Rio, aku merasa bodoh. Aku mempercayai algoritma, aku mempercayai orang asing. Aku seharusnya lebih berhati-hati," kata Anya dengan suara serak.
Rio menggenggam tangan Anya. "Anya, algoritma hanyalah alat. Ia bisa membantu kita menemukan kemungkinan, tapi ia tidak bisa menjamin apa pun. Cinta adalah sesuatu yang kompleks dan tidak terduga. Kadang-kadang, kita harus mengambil risiko dan membuka hati kita untuk orang lain, meskipun ada kemungkinan kita akan terluka."
Anya menatap Rio dengan air mata berlinang. "Aku tidak tahu harus berbuat apa, Rio. Aku merasa hancur."
Rio memeluk Anya lagi. "Aku tahu, Anya. Tapi kamu tidak sendirian. Aku akan selalu ada untukmu."
Anya membalas pelukan Rio. Ia merasa nyaman dan aman di dekatnya. Ia menyadari bahwa selama ini, ia telah mencari cinta di tempat yang salah. Cinta yang ia cari ternyata selalu ada di dekatnya, dalam diri sahabatnya sendiri.
"Rio," kata Anya dengan suara pelan, "terima kasih sudah ada untukku."
Rio melepaskan pelukannya dan menatap Anya dengan tatapan yang penuh cinta. "Aku akan selalu ada untukmu, Anya. Kamu adalah sahabat terbaikku, dan aku sangat menyayangimu."
Anya tersenyum. Ia tahu bahwa ia tidak bisa memaksa Rio untuk mencintainya kembali. Tapi, setidaknya, ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia memiliki Rio, sahabatnya yang selalu ada untuknya.
Mungkin, pikir Anya, cinta sejati tidak bisa ditemukan melalui algoritma. Cinta sejati tumbuh secara alami, dari persahabatan, dari kepercayaan, dan dari penerimaan. Dan mungkin, cinta sejati itu sudah ada di hatinya, hanya saja ia terlalu sibuk mencari di tempat lain untuk menyadarinya. "Algoritma Hati" mungkin gagal membawanya pada Dimas, tapi justru membukakan matanya pada realita yang terkunci: cinta yang tulus dan tanpa syarat, yang telah lama menantinya.