Debora menatap layar laptopnya dengan nanar. Baris-baris kode program yang tadinya terasa familiar, kini tampak seperti labirin tak berujung. Deadline semakin dekat, dan algoritma yang seharusnya bisa memprediksi kecocokan cinta berdasarkan data pengguna, masih saja menampilkan hasil yang absurd.
"Kecocokan antara tukang bakso keliling dengan model papan atas? Atau dosen filsafat dengan bintang TikTok?" gumamnya frustrasi.
Debora, seorang programmer jenius lulusan terbaik universitas ternama, selalu percaya bahwa segala sesuatu bisa diukur dan diprediksi, termasuk cinta. Baginya, cinta hanyalah reaksi kimiawi kompleks yang dapat diterjemahkan ke dalam data dan algoritma. Proyek "Algoritma Hati" ini adalah pembuktiannya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Debora mulai meragukan keyakinannya sendiri. Data memang bisa memberikan gambaran tentang preferensi, minat, dan kebiasaan seseorang. Tapi, bisakah data menangkap esensi cinta yang sebenarnya? Bisakah angka-angka menjelaskan getaran hati saat pertama kali bertemu, debaran jantung saat berpegangan tangan, atau kehangatan saat saling bertukar pandang?
Malam itu, Debora memutuskan untuk istirahat sejenak. Ia membuka aplikasi kencan online yang selama ini ia hindari. Ia selalu menganggap aplikasi semacam itu dangkal dan tidak efektif. Tapi, mungkin inilah saatnya ia keluar dari zona nyamannya dan mencoba memahami cinta dari sudut pandang yang berbeda.
Setelah mengisi profil singkat dengan sedikit enggan, Debora mulai menjelajahi profil pengguna lain. Ia terpaku pada satu profil dengan foto seorang pria sedang membaca buku di taman. Deskripsinya sederhana: "Mencari teman diskusi, kopi hangat, dan percakapan yang bermakna." Namanya: Arya.
Entah kenapa, profil Arya menarik perhatiannya. Ia memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat: "Buku apa yang sedang kamu baca?"
Arya membalas dengan cepat: "Homo Deus karya Yuval Noah Harari. Tertarik?"
Debora tersenyum. Ia jarang menemukan orang yang tertarik dengan buku-buku filsafat. Obrolan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka membahas berbagai topik, mulai dari kecerdasan buatan hingga eksistensi manusia. Debora merasa nyaman dan tertarik dengan Arya.
Beberapa hari kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu langsung di sebuah kedai kopi kecil. Arya ternyata lebih menarik dari yang Debora bayangkan. Pembawaannya tenang, cerdas, dan memiliki selera humor yang baik. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara dan tertawa. Debora merasa seolah-olah ia telah mengenal Arya seumur hidupnya.
Seiring berjalannya waktu, Debora dan Arya semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita, dan mendukung satu sama lain. Debora mulai menyadari bahwa cinta bukanlah sekadar reaksi kimiawi atau kumpulan data. Cinta adalah tentang koneksi, kepercayaan, dan penerimaan.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk berdua di taman, Arya menatap Debora dengan tatapan lembut. "Debora, aku menyukaimu. Bukan karena algoritma atau data apa pun. Tapi karena kamu adalah kamu."
Debora merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia membalas tatapan Arya dengan senyuman. "Aku juga menyukaimu, Arya. Bukan karena kamu membaca buku-buku filsafat, tapi karena kamu membuatku merasa menjadi diriku sendiri."
Debora akhirnya menyadari bahwa proyek "Algoritma Hati" yang ia kerjakan selama ini adalah sebuah kesalahan. Ia mencoba memaksakan cinta untuk masuk ke dalam kotak data dan algoritma, padahal cinta adalah sesuatu yang jauh lebih kompleks dan tak terduga.
Ia memutuskan untuk menghapus semua baris kode program yang telah ia buat. Ia ingin memulai dari awal, bukan dengan data dan algoritma, tapi dengan hati dan perasaan. Ia ingin menciptakan sebuah algoritma baru, bukan untuk memprediksi cinta, tapi untuk membantu orang menemukan koneksi yang bermakna.
Debora tahu bahwa cinta tidak bisa diukur dalam gigabyte. Cinta adalah sesuatu yang harus dirasakan, dialami, dan diperjuangkan. Cinta adalah sebuah misteri yang indah, dan ia ingin terus menjelajahinya bersama Arya.
Di hari ulang tahun proyek yang semakin mendekat, Debora mempresentasikan algoritma barunya. Bukan lagi prediksi kecocokan, melainkan platform yang memfasilitasi koneksi berdasarkan minat dan nilai-nilai inti. Platform ini mendorong interaksi dunia nyata dan menekankan pentingnya komunikasi yang jujur dan terbuka.
Presentasinya mendapat sambutan hangat. Banyak yang terkesan dengan perubahan radikal yang ia lakukan. Debora merasa lega. Ia telah menemukan jalannya.
Setelah presentasi selesai, Arya menghampirinya dengan senyum lebar. "Aku bangga padamu, Debora. Kamu telah menciptakan sesuatu yang benar-benar bermakna."
Debora menggenggam tangan Arya dengan erat. "Terima kasih, Arya. Tanpamu, aku tidak akan pernah bisa menyadari semua ini."
Mereka berdua berjalan bergandengan tangan meninggalkan gedung, menuju masa depan yang penuh dengan cinta dan harapan. Debora tahu bahwa perjalanan cintanya baru saja dimulai, dan ia tidak sabar untuk melihat ke mana cinta akan membawanya. Mungkin, pikirnya, algoritma hati yang sebenarnya bukanlah tentang prediksi, melainkan tentang keberanian untuk membuka diri dan menerima cinta apa adanya. Dan terkadang, hal terbaik yang bisa dilakukan oleh teknologi adalah membantu kita menemukan jalan kembali ke esensi kemanusiaan kita.