Cinta Dalam Jaringan: Algoritma Tak Sempurna Untuk Hati?

Dipublikasikan pada: 07 Oct 2025 - 03:40:14 wib
Dibaca: 121 kali
Aplikasi kencan "SoulMate AI" berjanji untuk menemukan pasangan jiwa yang sempurna, berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis riwayat daring, preferensi, dan bahkan pola tidur penggunanya. Anya, seorang programmer lepas yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar, awalnya skeptis. Namun, dorongan dari sahabatnya, Rina, dan rasa kesepian yang mulai menggerogoti, membuatnya akhirnya mengunduh aplikasi tersebut.

Setelah mengisi formulir panjang berisi pertanyaan-pertanyaan aneh dan mengizinkan SoulMate AI mengakses seluruh data digitalnya, Anya menunggu. Hasilnya mengejutkan. Algoritma menunjuk Leo, seorang arsitek lanskap yang memiliki kecintaan pada alam, seni klasik, dan, yang paling penting, humor yang sama absurdnya dengan Anya.

Leo, dalam profilnya, tampak seperti kebalikan dari Anya. Dia selalu berada di luar ruangan, tangannya kotor karena tanah, sementara Anya lebih nyaman dengan kode dan cahaya biru layar komputernya. Namun, algoritma SoulMate AI meyakinkan Anya bahwa di balik perbedaan itu, terdapat inti yang sama: kecintaan pada keindahan, rasa ingin tahu yang tak pernah padam, dan keinginan untuk terhubung dengan orang lain.

Anya memberanikan diri mengirim pesan. Leo membalas hampir seketika. Percakapan pertama mengalir dengan lancar, seolah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Mereka membahas buku-buku favorit, film-film indie yang aneh, dan teori-teori konspirasi yang konyol. Semakin mereka berbicara, semakin Anya terpesona. Leo tidak hanya memahami humornya, tapi juga tantangan dan kegelisahan yang dia hadapi sebagai seorang wanita di dunia teknologi.

Setelah seminggu bertukar pesan dan panggilan video, mereka sepakat untuk bertemu. Anya gugup bukan main. Dia menghabiskan waktu berjam-jam memilih pakaian yang tepat, mengkhawatirkan apakah rambutnya terlihat berantakan, dan berlatih skenario percakapan di depan cermin.

Pertemuan itu berjalan lebih baik dari yang diharapkan. Leo lebih menawan secara langsung daripada di layar. Matanya berbinar ketika dia berbicara tentang pekerjaannya, dan senyumnya mampu membuat Anya merasa nyaman dalam sekejap. Mereka berjalan-jalan di taman kota, membicarakan bunga-bunga yang bermekaran dan rencana Leo untuk mendesain taman komunitas.

Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan. Anya menemukan dirinya menghabiskan lebih banyak waktu di luar ruangan, belajar tentang tanaman dan serangga. Leo, di sisi lain, tertarik dengan dunia digital Anya. Dia meminta Anya untuk mengajarinya dasar-dasar pemrograman dan bahkan mencoba membuat animasi sederhana.

Mereka saling melengkapi dengan cara yang tak pernah Anya bayangkan. Leo membantunya keluar dari zona nyamannya, mendorongnya untuk menjelajahi dunia di luar layar komputernya. Anya, pada gilirannya, membantu Leo melihat keindahan dalam detail-detail kecil yang sering terlewatkan.

Namun, di balik kebahagiaan itu, Anya mulai merasakan keraguan. Apakah cinta mereka benar-benar nyata, atau hanya produk dari algoritma yang canggih? Apakah mereka benar-benar saling cocok, atau hanya diprogram untuk percaya bahwa mereka cocok? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantui pikirannya, menggerogoti kepercayaannya pada hubungan mereka.

Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk mengungkapkan keraguannya kepada Leo. "Apakah kamu pernah merasa aneh bahwa kita begitu cocok?" tanyanya. "Maksudku, kita bertemu melalui aplikasi yang mengklaim bisa menemukan pasangan jiwa yang sempurna. Apakah kita benar-benar saling mencintai, atau hanya mencintai versi diri kita yang diciptakan oleh algoritma?"

Leo terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Anya. "Aku mengerti apa yang kamu rasakan," katanya. "Awalnya, aku juga merasakannya. Aku berpikir, 'Apakah ini terlalu mudah? Apakah aku benar-benar merasakan ini, atau hanya efek samping dari algoritma yang bekerja terlalu keras?'"

"Tapi kemudian aku menyadari," lanjut Leo, "bahwa algoritma hanyalah alat. Ia bisa mempertemukan kita, tapi tidak bisa memaksa kita untuk saling mencintai. Cinta adalah pilihan. Cinta adalah tentang melihat kebaikan dalam diri seseorang, dan memilih untuk menerimanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya."

Leo kemudian menjelaskan bahwa SoulMate AI hanyalah pemicu, cara untuk mempertemukan dua orang yang mungkin tidak akan pernah bertemu dalam keadaan normal. Tapi, koneksi yang mereka rasakan, rasa saling pengertian dan cinta yang tumbuh di antara mereka, itu adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang tidak bisa diprogram.

Anya merenungkan kata-kata Leo. Dia menyadari bahwa dia benar. Algoritma mungkin telah menunjukkan jalannya, tapi dia dan Leo-lah yang memilih untuk berjalan di jalan itu bersama-sama. Mereka-lah yang memilih untuk saling mencintai, untuk saling mendukung, untuk saling menerima apa adanya.

Namun, keesokan harinya, sebuah berita mengejutkan mengguncang dunia teknologi. SoulMate AI dikabarkan mengalami kebocoran data yang parah. Informasi pribadi jutaan pengguna, termasuk preferensi kencan, riwayat daring, dan bahkan catatan medis, bocor ke publik. Selain itu, terungkap bahwa algoritma SoulMate AI tidak seakurat yang diklaim. Beberapa pasangan yang dipertemukan oleh aplikasi tersebut dilaporkan mengalami masalah serius, bahkan ada yang sampai bercerai.

Anya merasa ngeri. Apakah cinta mereka juga akan menjadi korban dari algoritma yang tak sempurna? Apakah semua yang mereka rasakan selama ini hanyalah ilusi belaka? Dia segera mencari Leo, ingin membahas berita ini dan mencari kepastian.

Dia menemukan Leo di taman komunitas yang sedang dia desain. Dia sedang menanam bibit pohon, tangannya kotor oleh tanah. Anya menceritakan tentang berita yang baru saja dia dengar. Leo mendengarkan dengan seksama, lalu meletakkan sekopnya dan menatap Anya dengan mata yang tulus.

"Anya," katanya, "aku tahu ini mengejutkan. Aku juga merasa sedikit terguncang. Tapi, aku percaya pada kita. Aku percaya pada apa yang kita miliki."

Leo kemudian menjelaskan bahwa, bahkan jika algoritma SoulMate AI tidak sempurna, cinta mereka adalah nyata. Mereka telah melalui banyak hal bersama-sama, dan mereka telah memilih untuk tetap bersama, terlepas dari apa pun yang terjadi.

"Lihat pohon ini," kata Leo sambil menunjuk bibit pohon yang baru saja dia tanam. "Pohon ini tidak tumbuh karena algoritma. Pohon ini tumbuh karena tanah, air, dan sinar matahari. Sama seperti cinta kita. Cinta kita tumbuh karena kejujuran, kepercayaan, dan komitmen yang kita bangun bersama."

Anya menatap Leo, hatinya dipenuhi dengan rasa lega dan cinta. Dia menyadari bahwa dia telah terlalu fokus pada algoritma, dan melupakan hal yang paling penting: perasaan yang ada di dalam hatinya.

"Aku mencintaimu, Leo," kata Anya, air mata haru mengalir di pipinya.

"Aku juga mencintaimu, Anya," balas Leo, lalu memeluknya erat.

Di bawah sinar matahari sore, Anya dan Leo berdiri berdampingan, menatap bibit pohon yang baru saja ditanam. Mereka tahu bahwa masa depan mereka tidak pasti, dan bahwa mereka mungkin akan menghadapi tantangan di sepanjang jalan. Tapi, mereka juga tahu bahwa cinta mereka adalah nyata, dan bahwa mereka akan selalu memiliki satu sama lain, terlepas dari algoritma atau data apa pun. Cinta mereka bukanlah produk dari teknologi yang sempurna, melainkan hasil dari pilihan yang disengaja, komitmen yang tulus, dan hati yang terbuka. Dan itu, pikir Anya, jauh lebih berharga daripada algoritma paling canggih sekalipun.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI