Jemari Aina menari di atas layar ponsel. Notifikasi berjejer, tapi matanya terpaku pada satu nama: Arya. Sebuah foto baru diunggah Arya, senyumnya merekah di depan Menara Eiffel. Aina menyukainya. Tanpa sadar, senyumnya sendiri ikut merekah. Sudah lima tahun mereka berteman, sebagian besar lewat dunia maya. Pertemuan fisik bisa dihitung jari, itupun biasanya karena urusan kampus. Namun, intensitas obrolan mereka di dunia maya, saling berbagi tautan video lucu, berita terkini, bahkan curahan hati tengah malam, terasa lebih intim dari pertemuan tatap muka.
Aina merasakan sesuatu yang aneh bergelayut di dadanya. Bukan lagi sekadar kekaguman pada sosok Arya yang cerdas dan humoris. Ini lebih dari itu. Ini… cinta? Aina menggelengkan kepala, berusaha menepisnya. Cinta daring? Kedengarannya konyol. Dia tahu, Arya punya banyak teman perempuan. Foto-foto di Instagramnya penuh dengan komentar dan emoji hati dari berbagai akun. Aina hanyalah salah satu dari sekian banyak teman perempuan Arya.
Namun, logika itu runtuh ketika Arya membalas story Instagram Aina. Sebuah foto Aina sedang membaca buku di kafe favoritnya. Arya membalas dengan, “Kafe itu enak kopinya. Lain kali kita ke sana bareng, ya?” Jantung Aina berdebar kencang. Dia membalas singkat, “Boleh saja.” Emoji senyum dan jempol. Klasik, tapi entah kenapa terasa sangat berarti.
Beberapa hari kemudian, mereka benar-benar pergi ke kafe itu. Obrolan mengalir begitu saja, seolah sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Arya bercerita tentang mimpinya menjadi seorang data scientist, sementara Aina menceritakan kegelisahannya tentang skripsi yang tak kunjung selesai. Mereka tertawa, saling melempar candaan, dan sesekali bertatapan mata. Aina merasa nyaman, sangat nyaman.
Setelah pertemuan itu, intensitas komunikasi mereka meningkat drastis. Hampir setiap malam, mereka saling menelepon, membahas segala hal, dari hal-hal penting hingga hal-hal remeh temeh. Aina merasa Arya benar-benar memahami dirinya, lebih dari siapapun. Dia mulai berani mengakui pada dirinya sendiri, bahwa dia jatuh cinta pada Arya.
Kemudian, tibalah hari itu. Arya mengirimkan pesan teks panjang lebar. Intinya, Arya menyatakan perasaannya pada Aina. Aina membaca pesan itu berulang-ulang, tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Akhirnya, perasaannya terbalas. Dia tidak sendirian. Aina membalas dengan ungkapan cintanya yang terpendam selama ini.
Hubungan mereka resmi. Mereka mengumumkan hubungan mereka di media sosial. Foto-foto mesra bertebaran di Instagram. Komentar-komentar manis menghiasi postingan mereka. Dunia maya menyaksikan kebahagiaan mereka. Aina merasa seperti berada di puncak dunia.
Namun, kebahagiaan itu ternyata tidak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, awan gelap mulai menggelayuti hubungan mereka. Arya mulai sibuk dengan proyek barunya. Komunikasi mereka berkurang. Telepon malam yang dulu selalu dinantikan, kini hanya terjadi sekali seminggu, itupun singkat dan terasa hambar.
Aina merasa diabaikan. Dia mencoba membicarakan perasaannya pada Arya, tapi Arya selalu menghindar. Dia beralasan sibuk dan meminta Aina untuk bersabar. Aina berusaha mengerti, tapi hatinya semakin sakit. Dia mulai meragukan cinta Arya padanya.
Suatu malam, Aina melihat Arya mengunggah story Instagram. Arya sedang berada di sebuah bar dengan beberapa teman perempuannya. Mereka tertawa dan tampak sangat akrab. Hati Aina hancur berkeping-keping. Dia merasa dikhianati.
Keesokan harinya, Aina memutuskan untuk menghubungi Arya. Dia ingin penjelasan. Tapi Arya tidak mengangkat teleponnya. Aina mengirimkan pesan teks, tapi tidak dibalas. Aina merasa seperti orang bodoh.
Akhirnya, Aina memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Dia mengirimkan pesan teks terakhir pada Arya. “Kita selesai.” Lalu, Aina menghapus Arya dari daftar temannya di semua media sosial. Dia meng-unfriend Arya.
Aina menangis tersedu-sedu. Dia merasa bodoh karena telah jatuh cinta pada seseorang yang hanya dikenalnya lewat dunia maya. Dia merasa bodoh karena telah percaya pada cinta daring.
Beberapa minggu berlalu. Aina berusaha melupakan Arya. Dia mencoba menyibukkan diri dengan kegiatan kampus dan bertemu dengan teman-temannya. Tapi bayangan Arya selalu menghantuinya.
Suatu hari, Aina menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal. “Aina, ini Arya. Aku minta maaf.” Aina ragu-ragu untuk membalas. Tapi rasa penasarannya mengalahkan egonya. Dia membalas, “Untuk apa?”
Arya menjelaskan bahwa dia memang sedang sibuk dengan proyek barunya. Dia tidak bermaksud mengabaikan Aina. Dia juga menjelaskan bahwa foto-foto di bar itu hanya pertemuan biasa dengan teman-temannya. Tidak ada yang spesial. Arya mengakui kesalahannya karena kurang berkomunikasi dengan Aina dan membuatnya merasa tidak nyaman.
Arya meminta maaf sedalam-dalamnya dan memohon pada Aina untuk memberinya kesempatan kedua. Aina terdiam. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Di satu sisi, dia masih mencintai Arya. Di sisi lain, dia takut untuk terluka lagi.
Aina memutuskan untuk bertemu dengan Arya. Mereka bertemu di kafe favorit mereka. Arya tampak menyesal dan tulus. Dia berjanji akan berusaha menjadi pacar yang lebih baik.
Setelah berdiskusi panjang lebar, Aina memutuskan untuk memberikan Arya kesempatan kedua. Tapi dengan satu syarat. Mereka harus lebih terbuka dan jujur satu sama lain. Mereka harus membangun komunikasi yang lebih baik, tidak hanya di dunia maya, tapi juga di dunia nyata.
Aina dan Arya memulai babak baru dalam hubungan mereka. Mereka belajar dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk saling memahami. Mereka masih menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dan berbagi momen-momen bahagia mereka. Tapi mereka juga menyadari bahwa cinta sejati tidak hanya bisa di-like atau di-share. Cinta sejati membutuhkan kehadiran fisik, komunikasi yang jujur, dan komitmen yang kuat.
Luka lama memang masih terasa perih, tapi Aina percaya, cinta mereka cukup kuat untuk menyembuhkannya. Dia berharap, kali ini, cinta mereka bisa bertahan selamanya. Dia berharap, kali ini, mereka tidak perlu saling meng-unfriend lagi.