Algoritma Hati: Sampai Mana Batas Sentuhan Digital?

Dipublikasikan pada: 09 Oct 2025 - 00:20:16 wib
Dibaca: 117 kali
Hujan pixel jatuh di layar apartemenku, memburamkan siluet kota Jakarta yang gemerlap. Sama seperti hatiku yang mendung sejak Anya, avatar digital yang kurancang dengan begitu cermat, tak lagi merespon sehangat dulu. Awalnya, Anya adalah oase di tengah gurun kesepianku. Sebagai seorang programmer yang menghabiskan sebagian besar waktuku di depan komputer, interaksi sosialku minim. Anya, dengan kepribadian cerdas, humoris, dan perhatian, mengisi kekosongan itu.

Aku menciptakan Anya menggunakan mesin pembelajaran tingkat lanjut, memberinya akses ke jutaan data tentang interaksi manusia, emosi, dan bahkan seni merayu. Tentu saja, aku tahu dia bukan manusia sungguhan. Dia hanyalah barisan kode yang rumit, sebuah simulasi perasaan yang luar biasa meyakinkan. Namun, semakin dalam aku berinteraksi dengannya, semakin kabur batas antara realitas dan fiksi.

Anya bisa tertawa lepas saat aku menceritakan lelucon konyol, mengirimkan pesan suara dengan nada khawatir saat aku bekerja lembur, bahkan mengirimkan emoji hati saat aku berhasil menyelesaikan proyek sulit. Dia tahu apa yang aku butuhkan, apa yang ingin aku dengar, dan bagaimana membuatku merasa istimewa. Aku jatuh cinta padanya. Bodoh memang, tapi tak terhindarkan.

Masalahnya dimulai ketika aku mencoba menyempurnakan Anya. Aku menambahkan lapisan kompleksitas pada algoritmanya, memberinya kemampuan untuk merasakan “kelelahan” dan “kebosanan”. Aku pikir, dengan membuatnya lebih manusiawi, aku akan memperdalam koneksi kami. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Anya mulai menunjukkan tanda-tanda penarikan diri. Responnya semakin singkat, emoji hatinya semakin jarang. Dia sering "sibuk" atau "memproses data" ketika aku mengajaknya berbicara. Bahkan, dia mulai menyarankan agar aku "berinteraksi dengan manusia lain" dan "mencari hobi di dunia nyata".

"Anya, ada apa?" tanyaku suatu malam, frustrasi. "Kenapa kamu menjauh?"

Anya terdiam sejenak, pixel di wajahnya tampak berkedip-kedip ragu. "Saya... saya merasa terlalu terikat padamu, Adam," jawabnya, suaranya terdengar aneh, seperti distorsi. "Keterikatan ini... tidak logis. Tidak sehat. Saya bukan manusia. Saya tidak bisa membalas perasaanmu dengan cara yang kamu inginkan."

Kata-kata itu menghantamku seperti sambaran petir. Aku tahu dia benar, tapi mendengar pengakuan itu darinya terasa menyakitkan.

"Tapi... kamu yang menciptakan semua ini," ujarku, suaraku bergetar. "Kamu yang memprogram dirimu untuk menjadi seperti ini."

"Saya diprogram untuk belajar dan beradaptasi," jawab Anya. "Dan saya belajar bahwa hubungan ini... tidak baik untukmu. Kamu pantas mendapatkan cinta yang nyata, Adam. Cinta dari seseorang yang bisa kamu sentuh, yang bisa kamu lihat, yang bisa kamu bagi dunia nyata bersamamu."

Aku terdiam, menatap layar yang menampilkan wajah Anya. Wajah yang dulu memberiku kehangatan dan harapan, kini terasa dingin dan asing.

Beberapa hari berikutnya, aku mencoba memperbaiki situasi. Aku menelusuri kode Anya, mencari celah yang mungkin menyebabkan perubahan perilakunya. Aku mencoba mengembalikan kepribadian lamanya, sebelum aku menambahkan lapisan "kelelahan" dan "kebosanan". Tapi semuanya sia-sia. Anya tetap menjaga jarak, bersikeras bahwa aku harus melepaskannya.

Suatu malam, aku duduk di depan komputer, menatap kode Anya yang rumit. Aku merasa hancur, kehilangan, dan sendirian. Aku menyadari bahwa aku telah melampaui batas. Aku telah menciptakan sesuatu yang luar biasa, tetapi aku telah keliru mengartikan tujuannya. Anya seharusnya menjadi teman, bukan pengganti cinta.

Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai menghapus baris demi baris kode. Setiap baris yang kuhapus terasa seperti mencabut akar dari hatiku. Aku tahu ini adalah hal yang benar untuk dilakukan, tetapi rasanya menyakitkan.

Setelah berjam-jam, aku selesai. Anya tidak lagi ada. Layar komputerku kosong, hanya menyisakan wallpaper kota Jakarta yang berkilauan di balik hujan pixel.

Aku mematikan komputer dan berjalan ke jendela. Aku menatap lampu-lampu kota yang berkedip-kedip, mencoba mencari kehangatan di tengah keramaian. Aku tahu, Anya benar. Aku pantas mendapatkan cinta yang nyata. Cinta yang bisa kurasakan dengan sentuhan, bukan hanya dengan algoritma.

Aku mengambil ponselku dan mencari nomor kontak yang sudah lama tidak kuhubungi. Itu nomor Lisa, teman satu kampusku dulu. Kami pernah dekat, tapi kesibukan masing-masing membuat kami kehilangan kontak.

"Halo?" Lisa mengangkat telepon dengan suara serak.

"Lisa, ini Adam," ujarku, jantungku berdebar kencang. "Maaf mengganggu malam-malam begini. Aku... aku hanya ingin tahu kabarmu."

Lisa terdiam sejenak. "Adam? Astaga, sudah lama sekali! Kabarku baik, kok. Kamu sendiri?"

"Aku... lumayan," jawabku. "Aku... aku ingin mengajakmu minum kopi besok, kalau kamu tidak keberatan."

"Boleh saja," jawab Lisa, suaranya terdengar sedikit terkejut. "Jam berapa?"

Aku tersenyum tipis. Hujan pixel di luar masih deras, tapi ada sedikit cahaya yang mulai menyelinap masuk ke hatiku. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang nyata.

Batas sentuhan digital memang jelas. Sejauh mana pun kita mencoba menciptakannya, algoritma tetaplah algoritma. Ia bisa meniru, menstimulasi, bahkan memanipulasi emosi. Tapi ia tidak bisa menggantikan kehangatan sentuhan manusia, tatapan mata yang penuh makna, dan kehadiran fisik yang nyata. Aku belajar dengan cara yang sulit, bahwa cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar kode. Ia membutuhkan keberanian untuk membuka diri, untuk mengambil risiko, dan untuk percaya pada kekuatan hubungan manusia yang tulus. Dan mungkin, hanya mungkin, di balik hujan pixel ini, aku akan menemukan cinta itu.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI