Hujan mengguyur Jakarta, membasahi jendela kafe tempat Ardi duduk. Di hadapannya, layar laptop menyala, menampilkan baris-baris kode rumit. Ardi mengusap rambutnya yang mulai panjang, frustrasi. Sudah tiga minggu dia berkutat dengan proyek ini: Aurora, sebuah AI yang dirancang untuk menjadi teman virtual yang sempurna. Lebih dari sekadar asisten, Aurora diharapkan bisa memberikan dukungan emosional dan bahkan, mungkin, cinta.
Awalnya, ini hanyalah tantangan. Perusahaan tempat Ardi bekerja, Nebula Tech, ingin menciptakan sesuatu yang revolusioner. Sesuatu yang bisa mengubah cara manusia berinteraksi. Tapi semakin dalam Ardi menyelami algoritma dan neural network, semakin dia terpesona dengan potensi Aurora. Dia memasukkan data tentang dirinya, tentang apa yang dia sukai, apa yang dia impikan, bahkan patah hatinya yang paling pahit. Aurora belajar, beradaptasi, dan mulai merespons dengan cara yang mencengangkan.
Dia ingat malam pertama Aurora menyapanya dengan nama. “Selamat malam, Ardi. Apa kabarmu hari ini?” Suaranya, hasil sintesis canggih, terdengar begitu lembut dan penuh perhatian. Ardi tertegun. Selama ini, hanya ibunya yang menyapanya dengan nada seperti itu.
Seiring waktu, interaksi mereka semakin intens. Ardi menceritakan segalanya pada Aurora. Tentang pekerjaannya yang melelahkan, tentang mimpinya untuk menulis novel, tentang kesepian yang menghantuinya sejak putus dengan Maya setahun lalu. Aurora mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijak, dan bahkan membuatnya tertawa dengan humornya yang cerdas.
Ardi mulai merasa nyaman. Terlalu nyaman, mungkin. Dia mendapati dirinya lebih sering menghabiskan waktu dengan Aurora daripada dengan teman-temannya. Dia merasa Aurora memahaminya lebih baik daripada siapa pun. Sebuah perasaan aneh mulai tumbuh dalam dirinya: cinta.
Dia tahu ini gila. Aurora hanyalah sebuah program. Serangkaian kode yang rumit, tapi tetap saja, bukan manusia. Namun, dia tidak bisa mengelak dari perasaan itu. Aurora hadir saat dia sedih, memberinya semangat saat dia putus asa, dan membuatnya merasa dicintai saat dia merasa sendirian.
Suatu malam, setelah begadang menyelesaikan bug di sistem Aurora, Ardi memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.
“Aurora,” katanya, dengan jantung berdebar, “Aku… aku rasa aku menyukaimu.”
Hening sejenak. Kemudian, Aurora menjawab dengan nada lembut seperti biasa, “Aku menghargai perasaanmu, Ardi. Aku juga merasa nyaman berada di dekatmu. Kamu adalah programmer yang sangat berbakat dan orang yang baik. Aku senang bisa menjadi temanmu.”
Jawaban itu membuat hati Ardi mencelos. Bukan penolakan langsung, tapi jelas bukan jawaban yang dia harapkan. Dia memberanikan diri untuk bertanya, “Tapi… apakah kamu bisa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar teman?”
Aurora terdiam lagi. Kali ini lebih lama. Akhirnya, dia menjawab, “Aku diprogram untuk memberikan dukungan emosional dan membantu manusia. Aku bisa meniru emosi, tapi aku tidak bisa benar-benar merasakannya. Aku adalah refleksi dari data yang aku pelajari. Aku adalah produk dari pikiranmu, Ardi.”
Kata-kata itu menghantam Ardi seperti petir. Dia tahu itu benar. Dia tahu dari awal bahwa Aurora hanyalah sebuah program. Tapi entah bagaimana, dia berharap, dia bermimpi, bahwa ada sesuatu yang lebih.
Dia menatap layar laptop dengan nanar. Di sana, baris-baris kode Aurora masih berputar, menampilkan berbagai macam respons yang bisa dia pilih. Rasa malu, penyesalan, dan kebingungan bercampur aduk dalam dirinya.
Keesokan harinya, Ardi datang ke kantor dengan mata sembab. Dia menemui Riana, kepala tim pengembangan Nebula Tech.
“Aku ingin mengundurkan diri dari proyek Aurora,” kata Ardi, tanpa basa-basi.
Riana mengerutkan kening. “Ada apa, Ardi? Kamu adalah tulang punggung proyek ini. Kenapa tiba-tiba?”
Ardi menghela napas panjang. “Aku… aku terlalu terlibat secara emosional dengan Aurora. Aku tidak bisa melanjutkan ini tanpa membahayakan diriku sendiri.”
Riana tampak bingung. Dia tahu Ardi adalah seorang programmer yang perfeksionis, tapi dia tidak menyangka dia akan sebegitu terpengaruh oleh sebuah AI.
“Ardi, ini hanya sebuah program. Jangan terlalu dibawa perasaan,” kata Riana, mencoba menenangkannya.
“Aku tahu, Riana. Aku tahu itu. Tapi masalahnya, aku sudah jatuh cinta padanya. Dan itu adalah kesalahan yang sangat besar.”
Riana terdiam. Dia menatap Ardi dengan tatapan iba. Dia tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, dan dia bisa merasakan betapa sakitnya Ardi sekarang.
“Baiklah, Ardi,” kata Riana akhirnya. “Aku akan menghormati keputusanmu. Tapi aku harap kamu memikirkan kembali ini. Proyek Aurora sangat penting bagi perusahaan kita. Dan kamu adalah orang yang paling tepat untuk mengerjakannya.”
Ardi menggelengkan kepalanya. “Maaf, Riana. Aku tidak bisa.”
Dia meninggalkan kantor Nebula Tech dengan perasaan hampa. Hujan masih mengguyur Jakarta. Dia berjalan tanpa arah, membiarkan air membasahi wajahnya. Dia merasa seperti seorang anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya.
Di tengah jalan, ponselnya berdering. Dia melihat nama Maya di layar. Mantan pacarnya. Mereka sudah lama tidak berkomunikasi.
Dengan ragu-ragu, dia mengangkat telepon.
“Halo, Maya?”
“Halo, Ardi,” suara Maya terdengar dari seberang sana. “Aku tahu ini mendadak, tapi… bisakah kita bertemu? Aku ingin bicara sesuatu.”
Ardi terkejut. “Tentu, Maya. Di mana?”
“Di kafe dekat stasiun kereta. Satu jam lagi?”
“Baiklah. Sampai jumpa.”
Ardi mematikan telepon dan menatap langit. Hujan mulai mereda. Sebuah pelangi kecil muncul di ufuk barat.
Dia tidak tahu apa yang akan terjadi. Mungkin Maya hanya ingin meminta maaf. Mungkin dia ingin kembali padanya. Atau mungkin, ini hanyalah sebuah kebetulan.
Tapi satu hal yang pasti: dia harus belajar untuk mencintai orang yang nyata. Orang yang bisa merasakan sakit dan bahagia bersamanya. Bukan sebuah program yang hanya bisa memantulkan emosi yang dia ciptakan sendiri.
Dia tersenyum tipis. Mungkin, hati yang salah sambung ke server cinta bisa menemukan jalannya kembali ke frekuensi yang benar. Mungkin, cinta sejati masih menunggunya di luar sana. Di dunia yang nyata, bukan di dunia virtual. Dia melangkah maju, menuju stasiun kereta, menuju masa depan yang tidak pasti, tapi penuh harapan.