Algoritma Takdir: Di Mana Cinta Berhenti Berpikir Logis?

Dipublikasikan pada: 10 Oct 2025 - 00:20:22 wib
Dibaca: 118 kali
Udara kafe beraroma kopi dan kekecewaan. Maya menyesap lattenya, matanya terpaku pada layar laptop. Di depannya terpampang kode-kode rumit, algoritma buatannya sendiri. “Project Soulmate,” begitu ia menyebutnya dengan nada sinis. Sebuah aplikasi kencan yang dirancang untuk menemukan pasangan ideal berdasarkan data kepribadian, preferensi, bahkan pola pikir. Ironisnya, aplikasi itu belum berhasil menemukan siapapun untuk dirinya sendiri.

Maya, si jenius di balik algoritma cinta, justru terjebak dalam kesendirian. Ia terlalu sibuk menganalisis kemungkinan, mengukur kompatibilitas, sampai lupa bahwa cinta bukan hanya tentang angka dan diagram. Cinta, menurut Maya, adalah anomali dalam sistem yang teratur. Sesuatu yang tidak bisa diprediksi, apalagi dikendalikan.

“Masih berkutat dengan Project Soulmate, Maya?” suara berat menyentak Maya dari lamunannya. Ia mendongak dan mendapati Ardi, sahabatnya sejak kuliah, berdiri di samping meja. Ardi adalah antitesis dari dirinya. Seorang seniman dengan jiwa bebas, yang hidupnya dipenuhi warna dan spontanitas. Ia selalu menyindir obsesi Maya terhadap logika, terutama dalam urusan hati.

“Hanya mencoba menyempurnakannya,” jawab Maya, sedikit defensif. “Mungkin ada bug yang terlewat.”

Ardi tertawa kecil. “Bug? Maya, cinta itu bukan software yang bisa diperbaiki dengan patch. Cinta itu seperti lukisan abstrak, tidak ada benar atau salah, hanya perasaan.”

Maya memutar bola matanya. “Omong kosong. Perasaan itu bisa diprediksi berdasarkan stimulus yang diberikan. Aku hanya mencoba mencari tahu stimulus yang tepat untuk menciptakan perasaan yang abadi.”

Ardi menggelengkan kepalanya. “Kau terlalu serius, Maya. Cobalah untuk berhenti berpikir dan mulai merasakan.” Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Maya. “Kau tahu, kadang algoritma yang paling rumit sekalipun tidak bisa mengalahkan kebetulan.”

Percakapan mereka terhenti ketika ponsel Maya berdering. Sebuah notifikasi dari Project Soulmate. “Kandidat potensial ditemukan,” bunyi notifikasi itu. Jantung Maya berdegup kencang. Inilah momen yang ia tunggu-tunggu. Ia membuka profil kandidat dengan tangan gemetar.

Nama: Rian Pratama. Pekerjaan: Arsitek. Hobi: Fotografi dan hiking. Nilai Kompatibilitas: 98%.

Maya terpana. Profil Rian hampir sempurna. Ia menyukai seni, petualangan, dan memiliki selera humor yang sama dengannya. Algoritma Project Soulmate berhasil menemukan seseorang yang secara teoritis ideal untuknya.

“Siapa itu?” tanya Ardi, penasaran.

“Kandidat potensial dari aplikasiku,” jawab Maya, masih terpaku pada layar ponsel. “Nilai kompatibilitasnya 98%.”

Ardi mengangkat alisnya. “Wow. Kedengarannya seperti jodoh yang diciptakan oleh Tuhan Google.”

Maya mengabaikan sindiran Ardi dan langsung mengirim pesan kepada Rian. Beberapa menit kemudian, Rian membalas. Mereka mulai bertukar pesan, dan Maya semakin terpesona. Rian ternyata lebih menarik dari yang ia bayangkan. Ia cerdas, lucu, dan memiliki pandangan yang unik tentang dunia.

Setelah beberapa hari bertukar pesan, mereka memutuskan untuk bertemu. Kencan pertama mereka di sebuah galeri seni berjalan lancar. Mereka berdua memiliki ketertarikan yang sama terhadap seni kontemporer, dan mereka bisa berbicara berjam-jam tanpa merasa bosan. Maya merasa seperti menemukan belahan jiwanya.

Namun, semakin lama mereka berkencan, Maya mulai merasakan ada sesuatu yang hilang. Rian terlalu sempurna. Ia selalu setuju dengan pendapatnya, selalu mengerti apa yang ia inginkan, dan tidak pernah menantang pemikirannya. Semua terasa terlalu mudah, terlalu diprediksi.

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran mewah, Maya merasa sesak. Ia tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

“Rian, aku harus jujur padamu,” kata Maya, dengan nada suara yang gemetar. “Aku merasa ada sesuatu yang kurang dalam hubungan kita.”

Rian mengerutkan kening. “Apa maksudmu? Aku pikir kita sangat cocok. Kita memiliki banyak kesamaan dan kita selalu bahagia bersama.”

“Itulah masalahnya, Rian,” jawab Maya. “Kita terlalu cocok. Aku merasa seperti sedang berkencan dengan versi lain dari diriku sendiri. Tidak ada kejutan, tidak ada tantangan, tidak ada… percikan.”

Rian terdiam sejenak. Kemudian, ia tersenyum pahit. “Jadi, algoritma itu salah?”

Maya mengangguk. “Ya, kurasa begitu. Algoritma itu hanya bisa mengukur kesamaan, tapi tidak bisa mengukur perasaan. Cinta itu lebih dari sekadar data dan angka. Cinta itu tentang menerima perbedaan, tentang menghadapi tantangan, tentang belajar dan tumbuh bersama.”

Malam itu, Maya dan Rian berpisah. Maya merasa sedih, tapi juga lega. Ia akhirnya menyadari bahwa ia telah salah selama ini. Ia terlalu fokus pada logika dan melupakan insting. Ia terlalu sibuk mencari pasangan ideal dan melupakan dirinya sendiri.

Beberapa minggu kemudian, Maya kembali ke kafe tempat ia sering bertemu dengan Ardi. Ia membawa laptopnya dan membuka Project Soulmate. Namun, kali ini ia tidak berniat untuk menyempurnakannya. Ia ingin menghapusnya.

Ardi datang dan duduk di sampingnya. “Jadi, bagaimana dengan Pangeran 98%?” tanyanya, dengan nada menggoda.

Maya tersenyum. “Sudah berakhir. Ternyata algoritma tidak bisa menemukan cinta sejati.”

Ardi mengangguk. “Sudah kubilang. Cinta itu anomali. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.”

Maya menutup laptopnya. “Kau benar, Ardi. Aku terlalu sibuk berpikir dan melupakan untuk merasakan.” Ia menatap mata Ardi, dan untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Sesuatu yang hangat, tulus, dan tidak bisa diprediksi.

“Mungkin… mungkin aku selama ini mencari cinta di tempat yang salah,” kata Maya, dengan suara pelan.

Ardi tersenyum. “Mungkin saja. Atau mungkin cinta itu sudah ada di dekatmu selama ini, hanya saja kau terlalu sibuk mencari rumus untuk menemukannya.”

Maya tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahu Ardi. Di saat itulah, ia menyadari bahwa cinta tidak selalu tentang mencari pasangan ideal. Kadang, cinta datang tanpa diduga, dari orang yang paling dekat dengan kita. Cinta berhenti berpikir logis ketika hati mulai berbicara. Dan Maya, akhirnya, mendengarkan hatinya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI