Aplikasi Kencan AI: Cinta yang Diukur, Luka yang Dibagikan?

Dipublikasikan pada: 10 Oct 2025 - 01:40:12 wib
Dibaca: 119 kali
Jemari Riana menari di atas layar ponsel, mengutak-atik profilnya di "SoulMate AI", sebuah aplikasi kencan yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kompleks dan analisis data mendalam. Foto-foto terbaik sudah terpilih, deskripsi diri dipoles sedemikian rupa, dan preferensi pasangan ideal diatur dengan teliti. Riana, seorang programmer berusia 28 tahun, selama ini lebih nyaman berkutat dengan barisan kode daripada berinteraksi dengan manusia. Ia percaya, mungkin terlalu naif, bahwa cinta juga bisa dikalkulasi, diukur, dan dioptimalkan.

Malam itu, notifikasi berdering. "Kecocokan Potensial: Ben, 98%." Riana tertegun. 98%! Angka itu terasa seperti validasi atas semua usahanya. Ben, seorang arsitek lanskap yang hobi mendaki gunung dan membaca puisi, setidaknya begitulah profilnya. Fotonya menampilkan senyum hangat dan mata yang seolah bercerita.

Percakapan dimulai dengan canggung, namun dengan cepat mengalir lancar. Mereka bertukar cerita tentang mimpi, ketakutan, dan hal-hal kecil yang membuat hidup berarti. SoulMate AI secara berkala memberikan rekomendasi topik percakapan berdasarkan analisis pesan mereka, memastikan percakapan tetap menarik dan relevan. Riana merasa anehnya nyaman, seolah algoritma itu tahu apa yang perlu ia dengar.

Setelah seminggu berkirim pesan, mereka memutuskan untuk bertemu. Riana, yang biasanya gugup bertemu orang baru, merasa tenang. Seolah ia sudah mengenal Ben selama bertahun-tahun. Kencan pertama mereka di sebuah kedai kopi berlangsung sempurna. Ben memang seperti yang ia bayangkan: humoris, cerdas, dan penuh perhatian. Mereka tertawa, bercerita, dan menemukan banyak kesamaan. Malam itu, Riana pulang dengan senyum lebar dan harapan yang membuncah.

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kencan, percakapan larut malam, dan perasaan berbunga-bunga. Riana mulai melupakan kesendirian yang selama ini menghantuinya. Ben seperti puzzle yang hilang dalam hidupnya, melengkapi kepingan-kepingan yang selama ini kosong. SoulMate AI terus memantau interaksi mereka, memberikan analisis mingguan tentang perkembangan hubungan mereka. Grafiknya terus menanjak, menunjukkan tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang tinggi.

Namun, di balik kebahagiaan yang diukur dan dianalisis itu, Riana mulai merasakan ada yang aneh. Percakapan mereka terasa sedikit dipaksakan, seolah mereka hanya mengikuti arahan dari algoritma. Ben selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana harus bersikap, untuk membuatnya bahagia. Ia merasa seperti sedang menjalani sebuah skenario yang telah ditentukan.

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di restoran favorit mereka, Riana memberanikan diri bertanya, "Ben, apa kamu merasa semua ini terlalu...sempurna?"

Ben terdiam sejenak, lalu menjawab dengan senyum yang sedikit dipaksakan, "Apa maksudmu? Bukankah kita berdua bahagia? Bukankah SoulMate AI sudah membuktikan bahwa kita cocok?"

"Justru itu masalahnya," kata Riana dengan suara pelan. "Kita terlalu bergantung pada algoritma. Kita tidak benar-benar mengenal satu sama lain. Kita hanya mengenal versi yang diproyeksikan oleh aplikasi."

Ben tampak bingung. "Aku tidak mengerti. Aku menyukaimu, Riana. Apa itu tidak cukup?"

Riana menghela napas. "Cukupkah jika perasaan itu berdasarkan data dan analisis? Bagaimana dengan ketidaksempurnaan, kesalahan, pertengkaran yang membuat hubungan menjadi nyata?"

Malam itu berakhir dengan canggung. Riana pulang dengan perasaan hampa. Ia mulai meragukan segalanya. Apakah ia benar-benar mencintai Ben, atau ia hanya mencintai gagasan tentang cinta yang diukur dan dioptimalkan?

Keesokan harinya, Riana membuka aplikasi SoulMate AI. Ia mencari opsi untuk menghapus profilnya. Saat ia menekan tombol "Hapus", sebuah pesan peringatan muncul: "Apakah Anda yakin ingin menghapus profil Anda? Tindakan ini akan memengaruhi tingkat kecocokan Anda dengan pasangan potensial lainnya."

Riana terdiam sejenak. Lalu, dengan tekad yang bulat, ia menekan tombol "Ya". Ia ingin mencari cinta tanpa bantuan algoritma, tanpa jaminan kecocokan, tanpa kepastian kebahagiaan. Ia ingin merasakan cinta yang nyata, dengan segala keindahan dan lukanya.

Beberapa minggu kemudian, Riana bertemu dengan seorang pria di sebuah acara komunitas. Namanya David, seorang seniman yang berantakan, ceroboh, dan seringkali tidak terduga. Mereka tidak memiliki kesamaan yang jelas, tidak ada algoritma yang memprediksi kecocokan mereka. Namun, saat mereka berbicara, Riana merasakan sesuatu yang berbeda. Ia merasakan ketertarikan yang alami, tanpa paksaan, tanpa skenario.

Hubungan mereka tidak sempurna. Mereka sering bertengkar, memiliki perbedaan pendapat, dan melakukan kesalahan. Namun, di balik semua itu, ada kejujuran, kepercayaan, dan rasa saling menghargai yang mendalam. Riana belajar bahwa cinta bukan tentang kecocokan yang sempurna, tetapi tentang menerima ketidaksempurnaan satu sama lain. Luka yang dibagikan, ternyata, jauh lebih berarti daripada kebahagiaan yang diukur. Ia akhirnya mengerti bahwa cinta sejati tidak bisa diukur dengan angka, tetapi dirasakan dengan hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI