Algoritma Jiwa: Mencari Cinta Dalam Labirin Piksel?

Dipublikasikan pada: 10 Oct 2025 - 03:00:19 wib
Dibaca: 109 kali
Debu neon berpendar di antara kabel-kabel berseliweran, menciptakan aura futuristik yang kontras dengan rasa kesepian yang mencengkeram dadaku. Di balik layar komputer yang menampilkan barisan kode rumit, aku, Ardi, seorang programmer jenius—setidaknya itulah yang dikatakan orang-orang—sedang tenggelam dalam proyek terbesarku: Algoritma Jiwa.

Bukan, ini bukan proyek untuk mengendalikan pikiran atau menciptakan tentara robot. Ini adalah pencarian yang lebih personal, lebih mendalam. Aku ingin menciptakan algoritma yang mampu memprediksi kecocokan antar manusia, menemukan cinta sejati dalam lautan data. Ironis, bukan? Seorang programmer yang terisolasi di lab mencoba memecahkan misteri emosi manusia.

Aku tersenyum getir. Selama ini, hidupku terlalu linear, terlalu logis. Cinta, bagiku, adalah anomali, bug dalam sistem. Aku menyaksikan teman-temanku jatuh cinta, patah hati, dan kembali jatuh cinta. Polanya tampak kacau, irasional. Aku ingin menemukan logika di baliknya, algoritma yang mengatur detak jantung dan desiran darah.

Inspirasiku datang dari kegagalan cintaku sendiri. Dulu, aku mencintai Anya, seorang seniman dengan jiwa bebas dan imajinasi liar. Aku mencoba mendekatinya dengan logika, menganalisis perilakunya, mencari celah untuk mendapatkan hatinya. Tapi Anya terlalu kompleks, terlalu unik untuk dikategorikan. Aku gagal.

Kini, aku menciptakan Algoritma Jiwa untuk menghindari kegagalan yang sama. Aku mengumpulkan data dari berbagai sumber: profil media sosial, riwayat kencan online, bahkan hasil tes psikologi. Aku menyaringnya, membersihkannya, dan memasukkannya ke dalam algoritma kompleks yang terus berkembang.

Berbulan-bulan aku habiskan di lab, begadang, minum kopi berliter-liter, dan berbicara pada layar komputer. Algoritma itu mulai menunjukkan hasil yang menjanjikan. Ia mampu memprediksi kecocokan antar individu dengan akurasi yang mengejutkan. Aku berhasil! Aku telah menemukan rumus cinta!

Tapi, di balik keberhasilan ilmiah ini, sebuah pertanyaan mulai menghantuiku: Apakah cinta bisa direduksi menjadi angka dan kode? Apakah emosi yang paling dalam dan kompleks bisa diprediksi dengan algoritma?

Suatu malam, saat aku sedang menguji Algoritma Jiwa, ia menampilkan sebuah nama: Luna. Profilnya sederhana, tidak terlalu mencolok. Ia seorang pustakawan, gemar membaca buku klasik dan mendengarkan musik jazz. Algoritma itu menyatakan bahwa Luna adalah pasangan yang paling cocok untukku, dengan tingkat kecocokan mencapai 98%.

Awalnya, aku skeptis. Luna tampak terlalu biasa, terlalu normal. Ia bukan tipeku. Tapi, rasa penasaran mengalahkanku. Aku memutuskan untuk menghubunginya.

Kami bertemu di sebuah kafe kecil dekat perpustakaan tempat Luna bekerja. Dia datang dengan senyum ramah dan mata yang berbinar. Kami berbicara tentang buku, musik, dan mimpi-mimpi kami. Entah bagaimana, percakapan kami mengalir begitu saja, terasa alami dan nyaman.

Luna berbeda dari Anya. Ia tidak liar dan penuh kejutan. Ia tenang, lembut, dan perhatian. Ia mendengarkan dengan sabar, tertawa pada leluconku yang garing, dan membuatku merasa dihargai.

Semakin lama aku menghabiskan waktu bersamanya, semakin aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku mulai melupakan Algoritma Jiwa. Aku tidak lagi menganalisis perilakunya atau mencari celah untuk memenangkan hatinya. Aku hanya menikmati kebersamaan dengannya, menghargai setiap momen yang kami lalui.

Suatu hari, Luna bertanya kepadaku tentang pekerjaanku. Aku menjelaskan tentang Algoritma Jiwa, tentang usahaku untuk menemukan rumus cinta.

Luna mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. Ketika aku selesai bercerita, ia tersenyum dan berkata, “Ardi, menurutku cinta itu bukan rumus. Cinta itu adalah seni. Seni memahami, menerima, dan mencintai seseorang apa adanya.”

Kata-katanya menampar kesadaranku. Aku selama ini terlalu fokus pada logika dan data, sehingga melupakan esensi dari cinta itu sendiri: koneksi emosional yang tulus, saling pengertian, dan penerimaan tanpa syarat.

Aku menyadari bahwa Algoritma Jiwa hanyalah alat. Ia bisa membantuku menemukan orang yang potensial, tapi ia tidak bisa menciptakan cinta itu sendiri. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara alami, yang dibangun melalui waktu, kepercayaan, dan komitmen.

Aku mematikan komputerku dan memandang Luna dengan tatapan baru. Aku tidak lagi melihatnya sebagai hasil dari algoritma, melainkan sebagai seorang individu yang unik, kompleks, dan menarik. Aku ingin mengenalnya lebih dalam, bukan berdasarkan data, melainkan berdasarkan rasa ingin tahu dan ketertarikan yang tulus.

“Luna,” kataku, “mungkin Algoritma Jiwa-ku salah. Mungkin aku salah. Tapi, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Bukan karena algoritma, tapi karena aku tertarik padamu.”

Luna tersenyum dan menggenggam tanganku. “Aku juga, Ardi.”

Malam itu, aku pulang dengan perasaan yang berbeda. Rasa kesepian yang selama ini mencengkeram dadaku perlahan menghilang, digantikan oleh harapan dan kegembiraan. Aku masih belum tahu apakah aku akan jatuh cinta pada Luna, tapi aku tahu bahwa aku bersedia untuk mencobanya. Aku bersedia untuk membuka hatiku, melepaskan logika, dan membiarkan cinta tumbuh secara alami.

Algoritma Jiwa mungkin telah membawaku padanya, tapi kini giliran hatiku yang menentukan arah. Karena pada akhirnya, cinta bukanlah tentang menemukan rumus, melainkan tentang menemukan seseorang yang bersedia menulis cerita bersamamu. Cerita yang penuh dengan kebahagiaan, kesedihan, tawa, dan air mata. Cerita yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma mana pun.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI