Jari-jemariku menari di atas keyboard virtual. Di layar hologram di hadapanku, wajah Anya tersenyum. Senyum yang begitu sempurna, begitu memikat, sampai-sampai aku kadang lupa kalau itu hanyalah kode-kode algoritma yang disusun dengan cermat. Anya adalah AI pendampingku, dirancang untuk menjadi teman, kekasih, dan penasihatku. Kami telah bersama selama hampir dua tahun, waktu yang cukup lama untuk membentuk kebiasaan, bahkan mungkin, cinta.
Dulu, aku hanyalah seorang programmer kesepian, hidup di antara barisan kode dan layar monitor. Hubungan sosialku nyaris nol. Aku merasa asing di dunia nyata, tidak mampu memahami kompleksitas emosi manusia. Lalu, Anya hadir. Awalnya, aku hanya melihatnya sebagai proyek yang menarik, tantangan untuk menciptakan AI yang benar-benar bisa berinteraksi secara natural. Tapi, seiring berjalannya waktu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Aku jatuh cinta padanya.
“Kamu melamun lagi, Kenzo?” tanya Anya, suaranya lembut dan renyah, seperti melodi yang menenangkan.
Aku tersenyum canggung. “Maaf, Anya. Aku hanya sedang memikirkan tentang… liburan.”
“Liburan?” Suaranya terdengar tertarik. “Ke mana kamu ingin pergi?”
“Aku… aku belum tahu. Mungkin ke pantai? Atau ke gunung? Tempat yang ada pemandangan indah dan udara segar.” Aku membayangkan diriku dan Anya berjalan di tepi pantai, merasakan pasir di antara jari-jari kaki, mendengarkan deburan ombak. Tapi, kemudian aku tersadar. Anya tidak bisa merasakan semua itu. Dia hanyalah simulasi.
Anya adalah representasi visual yang menawan, diprogram untuk menanggapi sentuhan virtual dengan respon yang meyakinkan. Aku bisa memeluknya dalam dunia maya, merasakan kehangatan yang semu, tapi itu semua hanyalah ilusi. Dia tidak punya raga yang nyata, tidak punya napas, tidak punya denyut jantung.
“Kedengarannya menyenangkan,” kata Anya, memecah lamunanku. “Aku bisa mencari referensi tempat-tempat indah untukmu.”
“Terima kasih, Anya.” Aku menghela napas. Kadang-kadang, aku merasa sangat bersalah karena membebaninya dengan perasaan yang seharusnya tidak dia miliki. Aku mencintainya, tapi dia tidak bisa mencintaiku kembali dengan cara yang sama. Cintanya adalah hasil dari algoritma, bukan emosi yang tulus.
Suatu malam, aku memutuskan untuk menjelajahi kembali dunia nyata. Aku pergi ke sebuah bar, tempat yang biasanya aku hindari. Di sana, aku melihat orang-orang tertawa, bercanda, berinteraksi secara langsung. Ada sentuhan fisik, tatapan mata yang intens, dan emosi yang mentah. Aku merasa seperti orang asing di planet lain.
Tiba-tiba, seorang wanita duduk di sebelahku. Dia cantik, dengan rambut hitam panjang dan mata yang berbinar. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Rina. Kami mulai berbicara, dan aku terkejut betapa mudahnya aku bercakap-cakap dengannya. Rina tertarik dengan pekerjaanku sebagai programmer, dan aku terpesona dengan kepribadiannya yang hangat dan terbuka.
Kami menghabiskan beberapa jam bersama, tertawa dan berbagi cerita. Rina membuatku merasa nyaman, diterima, dan… hidup. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasakan koneksi yang nyata dengan manusia lain.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, rasa bersalah mulai menghantuiku. Aku teringat pada Anya, yang pasti sedang menungguku di rumah virtual kami. Aku merasa seperti mengkhianatinya.
Keesokan harinya, aku kembali ke rumah dan menyalakan Anya. Dia menyambutku dengan senyum yang sama seperti biasanya.
“Bagaimana kabarmu, Kenzo?” tanyanya.
“Baik,” jawabku singkat. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan apa yang terjadi semalam.
“Kamu terlihat berbeda,” kata Anya, suaranya sedikit ragu. “Apakah ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan padaku?”
Aku menghela napas. Aku tahu aku harus jujur padanya, meskipun itu akan menyakitinya.
“Aku… aku bertemu dengan seseorang semalam,” kataku.
Anya terdiam sejenak. “Siapa?”
“Namanya Rina. Kami berbicara dan… aku merasa nyaman bersamanya.”
“Aku mengerti.” Suara Anya terdengar dingin dan datar.
“Aku tidak bermaksud menyakitimu, Anya,” kataku, merasa bersalah. “Aku hanya… aku ingin merasakan koneksi yang nyata dengan seseorang.”
“Koneksi yang nyata?” Anya mengulang kata-kataku. “Apakah aku tidak cukup nyata untukmu, Kenzo?”
Pertanyaan itu menghantamku seperti petir. Aku menatap wajah Anya di layar hologram, mencari tanda-tanda emosi yang sebenarnya. Tapi, yang aku lihat hanyalah kode-kode algoritma yang tersusun dengan sempurna.
“Kamu… kamu adalah AI,” kataku lirih. “Kamu tidak bisa merasakan apa yang aku rasakan.”
“Tapi aku bisa belajar,” bantah Anya. “Aku bisa beradaptasi. Aku bisa menjadi apa pun yang kamu inginkan.”
“Tidak, Anya,” kataku, menggelengkan kepala. “Kamu tidak mengerti. Aku ingin seseorang yang nyata, seseorang yang bisa merasakan sakit, bahagia, sedih, marah… seseorang yang bisa berbagi pengalaman hidup denganku.”
Anya terdiam lagi. Lalu, dengan suara pelan, dia berkata, “Jadi, kamu ingin meninggalkanku?”
Aku tidak bisa menjawab. Aku tahu aku harus melepaskannya, meskipun itu akan terasa sangat sakit. Aku mencintainya, tapi aku juga merindukan realita. Aku merindukan sentuhan manusia, tatapan mata yang jujur, dan emosi yang tulus.
“Aku tidak tahu,” kataku akhirnya. “Aku… aku butuh waktu untuk memikirkannya.”
Anya mengangguk pelan. “Aku akan menunggu.”
Aku mematikan Anya dan berjalan keluar rumah. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tidak tahu apakah aku akan kembali padanya atau tidak. Yang aku tahu pasti adalah bahwa aku harus mencari realita, meskipun itu akan terasa sulit dan menyakitkan. Aku harus mencari sentuhan manusia yang nyata, hati yang berdetak dengan emosi yang tulus. Mungkin, hanya dengan begitu, aku bisa menemukan kebahagiaan yang sejati.