Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Ia menyesapnya perlahan, matanya terpaku pada layar laptop. Baris kode hijau dan putih menari-nari di hadapannya, sebuah tarian rumit yang coba ia pahami. Bukan kode program biasa, ini adalah inti dari "AmorBot", proyek ambisiusnya: sebuah bot asmara yang dirancang untuk memahami dan merespon kebutuhan emosional penggunanya.
Anya, seorang programmer jenius tapi kikuk dalam urusan cinta, merasa ironi menyelimutinya. Ia menciptakan sebuah algoritma untuk menavigasi labirin rumit perasaan, sementara dirinya sendiri tersesat di dalamnya. Hubungannya dengan Reno, kekasihnya selama dua tahun, terasa hambar, layaknya kopi basi yang terlupakan. Reno lebih sibuk dengan pekerjaannya sebagai arsitek, tenggelam dalam dunia garis dan ruang, daripada memerhatikan Anya.
"Mungkin AmorBot bisa memberikan saran," gumam Anya, tersenyum getir. Ia mulai memasukkan data interaksi terbarunya dengan Reno ke dalam program. Tanggal, waktu, topik pembicaraan, nada suara, bahkan ekspresi wajah yang terekam kamera laptop. AmorBot menyerap semuanya, menganalisisnya dengan kecepatan kilat, dan dalam hitungan detik, sebuah laporan muncul di layar.
"Analisis menunjukkan penurunan signifikan dalam komunikasi afirmatif dari pihak Reno. Tingkat kebahagiaan Anya menurun 37% dalam sebulan terakhir. Rekomendasi: Komunikasikan kebutuhan emosional secara langsung. Sarankan kegiatan bersama yang meningkatkan kualitas waktu, seperti makan malam romantis atau kunjungan ke museum seni."
Anya tertegun. AmorBot merangkum semua perasaannya, semua kekecewaannya, dalam bahasa statistik yang dingin dan lugas. Namun, anehnya, terasa melegakan. Seolah ada pihak ketiga yang objektif mengonfirmasi bahwa ia tidak mengada-ada.
Ia memutuskan untuk mengikuti saran AmorBot. Malam itu, Anya menyiapkan makan malam sederhana namun romantis. Lilin aromaterapi menyala, lagu jazz lembut mengalun dari speaker. Reno datang terlambat, rambutnya berantakan, wajahnya tampak lelah.
"Maaf ya, Sayang. Banyak deadline," ucapnya sambil mencium pipi Anya sekilas.
Anya menarik napas dalam-dalam. "Reno, aku ingin bicara."
Reno duduk di meja makan, matanya menunjukkan kelelahan. Anya mencoba menjelaskan perasaannya, betapa ia merasa diabaikan, betapa ia merindukan percakapan yang bermakna. Kata-kata itu keluar dengan susah payah, seolah ada simpul di tenggorokannya.
Reno mendengarkan dengan sabar, tapi Anya bisa melihat bahwa pikirannya berada di tempat lain. Ia mengangguk-angguk tanpa benar-benar mencerna apa yang Anya katakan.
"Iya, aku mengerti. Nanti aku usahakan lebih baik," jawab Reno singkat. Ia kemudian mengambil ponselnya dan mulai membalas pesan.
Anya merasakan hatinya mencelos. Ia menatap Reno dengan nanar, lalu berbalik dan pergi ke kamar. Air matanya mulai menetes tanpa bisa ia tahan.
Di dalam kamar, Anya kembali membuka laptopnya. Ia memasukkan data percakapan tadi ke dalam AmorBot. Hasilnya mengejutkan.
"Analisis menunjukkan ketidaksesuaian antara ekspresi verbal dan non-verbal dari pihak Reno. Tingkat empati rendah. Kemungkinan besar, Reno sedang mengalami stres dan kesulitan memproses informasi emosional. Rekomendasi: Berikan ruang dan waktu kepada Reno untuk memproses perasaannya. Lakukan pendekatan kembali setelah periode waktu yang ditentukan, sekitar 48 jam."
Anya terisak. AmorBot, sebuah algoritma yang ia ciptakan, lebih memahami Reno daripada Reno sendiri. Ini konyol, absurd, tapi juga menakutkan. Ia merasa seperti sedang hidup dalam simulasi, di mana emosi direduksi menjadi angka dan formula.
Dua hari kemudian, Anya mengikuti saran AmorBot. Ia mengajak Reno makan siang di kafe favorit mereka. Suasana lebih santai, lebih ringan. Reno tampak lebih segar.
"Anya, maaf soal kemarin. Aku memang lagi stres banget. Banyak masalah di kantor," kata Reno, menatap Anya dengan tulus.
Anya tersenyum kecil. "Aku tahu. AmorBot bilang begitu."
Reno mengerutkan kening. "AmorBot? Apa itu?"
Anya menjelaskan tentang proyeknya. Awalnya, Reno tampak bingung, lalu tertawa.
"Kamu serius? Kamu menciptakan bot untuk menganalisis hubungan kita?"
Anya mengangguk malu-malu.
Reno terdiam sejenak, lalu meraih tangan Anya. "Anya, aku memang bukan orang yang pandai mengungkapkan perasaan. Tapi aku sayang sama kamu. Aku akan berusaha lebih baik lagi. Tapi tolong, jangan gantikan aku dengan robot."
Anya menatap Reno. Ada ketulusan di matanya, sesuatu yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma secanggih apa pun. Ia menyadari bahwa meskipun AmorBot bisa memberikan wawasan dan saran yang berguna, pada akhirnya, cinta adalah tentang koneksi manusiawi, tentang empati, tentang menerima kekurangan satu sama lain.
Ia menggenggam tangan Reno erat-erat. "Aku janji," bisik Anya.
Anya masih menggunakan AmorBot, tapi bukan lagi sebagai pengganti komunikasi, melainkan sebagai alat bantu untuk memahami dinamika hubungannya dengan Reno. Ia belajar untuk mengandalkan intuisinya sendiri, untuk mendengarkan kata hati, dan untuk menerima bahwa cinta tidak selalu logis dan rasional.
Suatu malam, Anya menemukan Reno sedang melihat-lihat kode AmorBot di laptopnya.
"Aku penasaran aja," kata Reno sambil tersenyum. "Aku mau tahu apa yang bot itu katakan tentangku."
Anya tertawa. "Jangan terlalu serius. Itu cuma algoritma."
"Ya, tapi algoritma yang diciptakan oleh orang yang aku cintai," balas Reno.
Anya mendekat dan memeluk Reno dari belakang. "Dan orang yang aku cintai sedang berusaha untuk lebih baik," bisiknya.
Di layar laptop, AmorBot menampilkan sebuah pesan: "Analisis menunjukkan peningkatan signifikan dalam kualitas interaksi antara Anya dan Reno. Tingkat kebahagiaan Anya meningkat 12%. Rekomendasi: Pertahankan komunikasi terbuka dan jujur. Nikmati momen-momen kebersamaan."
Anya tersenyum. Ia tahu bahwa algoritma tidak akan pernah bisa menggantikan cinta sejati. Tapi, mungkin, sedikit bantuan dari teknologi bisa membantu mengarungi lautan emosi yang kadang membingungkan. Yang terpenting adalah tetap terhubung, tetap saling mencintai, dan tetap menjadi manusia.