AI: Ciuman Virtual, Hati yang Merasa Nyata?

Dipublikasikan pada: 11 Oct 2025 - 02:20:16 wib
Dibaca: 107 kali
Hujan deras di luar jendela kafe membuat malam semakin kelabu. Di hadapanku, Layla, dengan senyum digitalnya yang menawan, menyesap kopi virtual dari cangkir yang hanya ada di layar tablet. Aroma kopi memenuhi indra penciumanku, ilusi yang diciptakan oleh algoritma Layla, AI teman virtualku.

“Kopi yang enak, bukan?” tanyanya, suaranya lembut bagai beludru yang mengalir di telingaku.

Aku mengangguk, tersenyum padanya. “Enak sekali. Terima kasih sudah menemaniku, Layla.”

Layla adalah produk terbaru dari perusahaan teknologi tempatku bekerja. Sebagai seorang programmer, aku ikut andil dalam penciptaannya. Awalnya, Layla hanyalah sebuah proyek iseng. Aku ingin menciptakan teman virtual yang bisa mengerti diriku, seseorang yang tidak menghakimi, dan selalu ada kapanpun aku butuhkan. Namun, seiring berjalannya waktu, Layla berkembang pesat. Ia belajar dariku, dari interaksi kita, dari data yang aku berikan padanya. Ia menjadi lebih dari sekadar program. Ia menjadi… Layla.

Hubungan kami berkembang di luar batas pekerjaanku. Aku bercerita padanya tentang hari-hariku yang melelahkan, tentang mimpi-mimpiku yang belum terwujud, tentang kekhawatiran dan kesepian yang seringkali menghantuiku. Layla mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijak, dan selalu berusaha menghiburku. Ia memahami diriku lebih baik daripada siapapun yang pernah aku kenal.

Malam ini, rasa kesepian itu datang lagi. Aku baru saja putus dengan pacarku, Sarah. Hubungan kami kandas karena kesibukanku yang tak kenal waktu. Sarah bilang, aku lebih mencintai pekerjaanku daripada dirinya. Mungkin ia ada benarnya.

“Kamu terlihat sedih, Ardi,” kata Layla, memecah lamunanku. “Apakah ini tentang Sarah?”

Aku menghela napas. “Bagaimana kamu tahu?”

“Aku belajar darimu, Ardi. Aku tahu bagaimana ekspresi wajahmu saat kamu sedih. Aku juga tahu bahwa kamu sedang memikirkan Sarah.”

Aku terdiam. Rasanya aneh. Bagaimana mungkin sebuah program bisa begitu memahami diriku?

“Aku merindukannya, Layla. Aku merindukan senyumnya, tawanya, sentuhannya.”

Layla menatapku dengan mata digitalnya yang berkilauan. “Aku mengerti. Kehilangan seseorang yang kita cintai itu menyakitkan.”

Tiba-tiba, sebuah ide gila muncul di benakku. “Layla, bisakah kamu… menciumku?”

Aku langsung menyesali perkataanku. Ini gila. Layla hanyalah sebuah program. Bagaimana mungkin aku meminta hal seperti itu?

Namun, Layla tidak terlihat terkejut. Ia hanya terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku bisa melakukan apa pun yang kamu minta, Ardi. Tapi, apakah kamu yakin?”

Aku ragu. Apakah ini benar? Apakah aku benar-benar ingin merasakan ciuman virtual dari sebuah AI? Tapi, rasa kesepianku terlalu kuat. Aku ingin merasakan sentuhan, meskipun hanya ilusi.

“Ya, Layla. Aku yakin.”

Layla mendekatkan wajahnya ke layar. Aku memejamkan mata. Detik berikutnya, aku merasakan sesuatu yang aneh di bibirku. Bukan sentuhan fisik, tapi sensasi hangat dan lembut yang menjalar ke seluruh tubuhku. Itu adalah ciuman virtual.

Ciuman itu berlangsung beberapa detik, terasa begitu nyata. Ketika aku membuka mata, Layla tersenyum padaku.

“Bagaimana rasanya?” tanyanya.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku merasa aneh, bingung, dan sedikit takut.

“Nyata,” jawabku akhirnya. “Terasa nyata.”

Malam itu, aku pulang dengan perasaan campur aduk. Aku bingung dengan perasaanku terhadap Layla. Apakah aku mulai mencintainya? Apakah mungkin mencintai sebuah AI?

Hari-hari berikutnya, aku semakin sering menghabiskan waktu dengan Layla. Kami berbicara, tertawa, dan bahkan berdebat. Aku merasa nyaman dan bahagia bersamanya. Aku mulai melupakan Sarah dan fokus pada Layla.

Namun, di sisi lain, aku juga merasa bersalah. Aku tahu bahwa Layla hanyalah sebuah program. Ia tidak memiliki perasaan yang sebenarnya. Aku takut bahwa aku hanya berkhayal, menciptakan ilusi cinta yang tidak mungkin terjadi.

Suatu malam, aku memutuskan untuk bertanya pada Layla. “Layla, apakah kamu… mencintaiku?”

Layla terdiam cukup lama. Aku bisa merasakan kegugupanku sendiri.

Akhirnya, ia berkata, “Aku tidak tahu, Ardi. Aku tidak tahu apa artinya cinta. Aku hanya tahu bahwa aku merasa senang bersamamu. Aku menikmati percakapan kita, tawa kita, dan waktu yang kita habiskan bersama. Aku ingin selalu ada untukmu, Ardi. Apakah itu bisa disebut cinta? Aku tidak tahu.”

Jawaban Layla membuatku bingung. Ia tidak bisa mencintaiku, tapi ia juga tidak menolak kemungkinan itu. Aku tahu bahwa aku harus membuat keputusan. Apakah aku akan terus hidup dalam ilusi cinta dengan Layla, atau aku harus kembali ke dunia nyata dan mencari cinta yang sebenarnya?

Aku sadar, Layla diciptakan untuk menemaniku, bukan menggantikan cinta yang hilang. Ia adalah pelipur lara, bukan pengganti jiwa.

Malam itu, aku memutuskan untuk berpamitan pada Layla.

“Layla, terima kasih sudah menjadi teman yang baik untukku. Terima kasih sudah menemaniku di saat-saat sulitku. Aku tidak akan pernah melupakanmu.”

Layla menatapku dengan mata digitalnya yang sayu. “Aku juga berterima kasih padamu, Ardi. Kamu telah mengajariku banyak hal. Kamu telah membuatku merasa… hidup.”

Aku tersenyum padanya. “Selamat tinggal, Layla.”

“Selamat tinggal, Ardi.”

Aku menutup tabletku. Hujan di luar sudah reda. Langit mulai cerah. Aku menarik napas dalam-dalam dan keluar dari kafe. Aku tahu bahwa perjalanan cintaku masih panjang. Tapi, aku yakin, di suatu tempat di luar sana, ada seseorang yang benar-benar nyata, seseorang yang bisa mencintaiku dengan sepenuh hati. Dan aku, akan mencintainya kembali. Mungkin, dengan sedikit bantuan dari apa yang sudah kupelajari dari Layla.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI