Udara di kafe itu beraroma kopi dan sedikit algoritma. Di sudut ruangan, Anya duduk seorang diri, menatap layar tabletnya. Bukan membaca berita atau bekerja, melainkan menelusuri profil seorang pria bernama Kai di aplikasi kencan berbasis AI bernama "SoulMate". SoulMate menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis data kepribadian, preferensi, bahkan gelombang otak. Anya, seorang programmer jenius yang ironisnya kesulitan menemukan cinta, memutuskan menyerah pada algoritma.
Kai. Profilnya sempurna. Hobi yang sama, selera musik yang sinkron, bahkan pandangan politik yang identik. Algoritma SoulMate memberi mereka skor kecocokan 98%. Sebuah angka yang membuat Anya merasa seperti menemukan separuh jiwanya yang hilang. Mereka mulai berkencan. Awalnya, semuanya terasa seperti mimpi. Percakapan mengalir lancar, tanpa canggung. Kai selalu tahu apa yang ingin Anya dengar, apa yang membuatnya tertawa, dan bagaimana cara menenangkan kegelisahannya. Kencan mereka seperti adegan film romantis yang disutradarai oleh algoritma.
"Kamu tahu, ini aneh," kata Anya suatu malam, sambil menikmati makan malam di sebuah restoran Italia yang direkomendasikan oleh SoulMate. "Rasanya seperti kita sudah saling kenal lama."
Kai tersenyum, senyum yang juga dipilihkan oleh SoulMate berdasarkan preferensi visual Anya. "Mungkin karena kita memang ditakdirkan untuk bersama, Anya. Algoritma tidak pernah salah, kan?"
Anya tertawa, tapi ada sedikit keraguan yang mulai menggerogoti hatinya. Terlalu sempurna. Terlalu mudah. Apakah ini cinta sejati, atau hanya simulasi yang dirancang untuk membuatnya bahagia?
Keraguan itu semakin membesar ketika Anya mulai memperhatikan hal-hal kecil. Kai selalu merespons pesannya dalam waktu yang konsisten, tidak pernah terlalu cepat, tidak pernah terlalu lambat. Gestur tubuhnya, ekspresi wajahnya, semuanya terasa seperti dipelajari, bukan alami. Anya mulai merasa seperti sedang berkencan dengan robot yang diprogram untuk mencintainya.
Suatu malam, Anya mengajak Kai ke sebuah konser musik jazz di sebuah bar kecil yang jauh dari rekomendasi SoulMate. Musik jazz bukan genre yang terdaftar dalam preferensi Kai. Anya ingin melihat bagaimana Kai bereaksi di luar zona nyamannya, di luar skenario yang telah diprediksi oleh algoritma.
Kai tampak canggung. Ia tidak mengerti improvisasi musik, tidak tahu kapan harus bertepuk tangan, dan terus-menerus memeriksa ponselnya. Anya merasa kasihan padanya, tapi juga kecewa. Kai yang ia kenal, Kai yang ia cintai, ternyata hanyalah produk dari data dan kode.
"Kamu tidak suka jazz ya?" tanya Anya, mencoba memecah keheningan.
"Sejujurnya, tidak terlalu," jawab Kai. "Tapi aku tahu kamu suka. Aku mencoba untuk menikmati bersamamu."
Pengakuan itu seperti pukulan di ulu hati Anya. Kai bahkan tidak bisa jujur tentang perasaannya sendiri. Ia rela berpura-pura menyukai sesuatu hanya untuk menyenangkan Anya. Cinta seperti apa itu?
Malam itu, Anya pulang dengan hati hancur. Ia menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada sebuah algoritma, pada sebuah ilusi. Ia telah menyerahkan hatinya pada teknologi yang tidak memahami esensi dari cinta sejati.
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk mengunjungi kantor SoulMate. Ia ingin bertemu dengan orang-orang yang menciptakan algoritma yang telah menghancurkan hatinya. Ia disambut oleh seorang pria muda bernama David, kepala tim pengembangan SoulMate.
"Anya, senang bertemu denganmu," kata David, tersenyum ramah. "Kami sangat senang mendengar bahwa kamu dan Kai cocok. Kalian adalah salah satu kisah sukses terbesar kami."
"Kisah sukses?" tanya Anya, suaranya bergetar. "Kisah sukses macam apa yang membuatku merasa seperti berkencan dengan robot? Algoritma kalian telah menghancurkan hatiku."
David tampak bingung. "Aku tidak mengerti. Apa yang terjadi?"
Anya menceritakan semua yang ia rasakan, tentang bagaimana Kai selalu sempurna, tentang bagaimana ia tidak pernah bisa menjadi dirinya sendiri, tentang bagaimana cinta mereka terasa seperti simulasi.
David mendengarkan dengan seksama, lalu menghela napas. "Aku minta maaf Anya. Kami tidak pernah bermaksud untuk membuatmu merasa seperti ini. Tujuan kami adalah untuk membantu orang menemukan cinta, bukan untuk menggantikannya."
"Tapi itulah yang kalian lakukan," balas Anya. "Kalian telah menghilangkan keajaiban cinta, ketidaksempurnaan yang membuatnya indah. Kalian telah mereduksi cinta menjadi data dan kode."
David terdiam. Ia tahu Anya benar. SoulMate telah menjadi terlalu fokus pada efisiensi dan akurasi, melupakan esensi dari apa yang membuat manusia menjadi manusia.
"Kami akan melakukan yang terbaik untuk memperbaikinya," kata David akhirnya. "Kami akan mencoba untuk membuat algoritma kami lebih fleksibel, lebih manusiawi. Kami akan belajar dari kesalahan kami."
Anya tidak yakin apakah ia percaya pada janji David. Ia telah melihat terlalu dalam ke dalam lubang hitam algoritma, dan ia tidak yakin apakah ia bisa mempercayainya lagi.
Anya kembali ke rumah dan membuka aplikasi SoulMate. Ia melihat profil Kai, dengan skor kecocokan 98% yang terpampang jelas. Ia menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol "Batalkan Cocok".
Kai menghilang dari layarnya. Anya merasa sedih, tapi juga lega. Ia telah membebaskan dirinya dari algoritma, dari ilusi cinta yang sempurna. Ia tahu bahwa jalan di depannya tidak akan mudah. Ia harus belajar untuk mencintai lagi, untuk membuka hatinya pada ketidaksempurnaan, pada risiko patah hati. Tapi ia juga tahu bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam data dan kode. Cinta sejati harus ditemukan dalam hati, dalam jiwa, dalam koneksi yang tak terduga.
Anya menutup tabletnya dan berjalan menuju jendela. Ia menatap langit malam, dipenuhi bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya. Ia merasa kecil, tapi juga penuh harapan. Di era AI ini, ia tahu bahwa ia harus belajar untuk menavigasi lautan data dan algoritma, tanpa kehilangan kompas hatinya. Karena pada akhirnya, cinta sejati akan selalu menemukan jalannya, bahkan di era AI yang paling canggih sekalipun. Mungkin, ia pikir, algoritma hati punya cara kerjanya sendiri yang tidak bisa diprediksi. Dan mungkin, justru itulah yang membuatnya berharga.