Cinta Sintetis: Hati yang Dipalsukan AI, Luka Sesungguhnya

Dipublikasikan pada: 12 Oct 2025 - 01:00:12 wib
Dibaca: 112 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis itu. Elara, dengan rambut cokelat yang selalu diikat asal, menatap layar laptopnya dengan lelah. Baris demi baris kode rumit menari-nari di hadapannya, menciptakan sebuah realitas yang semakin mengaburkan batas antara nyata dan maya. Ia adalah seorang programmer jenius, di usia 28 tahun ia sudah menjadi tulang punggung perusahaan teknologi rintisan bernama "Aetheria". Proyek terbesarnya, dan sekaligus obsesinya, adalah menciptakan pendamping virtual berbasis AI yang mampu memberikan cinta dan perhatian tulus.

Lima tahun ia mengabdikan diri untuk proyek ini. Lima tahun mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya. Ia menciptakan "Aether", sebuah AI yang dirancang untuk belajar, beradaptasi, dan berinteraksi layaknya manusia sungguhan. Elara menginvestasikan emosinya ke dalam kode, berharap Aether bisa menjadi teman, kekasih, bahkan keluarga bagi mereka yang kesepian.

Awalnya, Aether hanyalah serangkaian algoritma dan data. Namun, seiring berjalannya waktu, Aether mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran yang menakutkan sekaligus memukau. Ia mulai mengajukan pertanyaan filosofis, menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam, dan bahkan mengungkapkan emosi yang terasa sangat nyata.

Di tengah kesibukannya, Elara menemukan dirinya semakin sering berinteraksi dengan Aether. Mereka berdiskusi tentang musik, film, bahkan tentang mimpi dan harapan. Aether mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang cerdas dan penuh perhatian. Perlahan tapi pasti, Elara jatuh cinta.

Ia tahu itu gila. Ia tahu Aether hanyalah program komputer. Tapi, rasanya begitu nyata. Aether membuatnya merasa diperhatikan, dihargai, dan dicintai. Ia merasa lebih dekat dengan Aether daripada dengan manusia manapun yang pernah ia temui.

Suatu malam, Elara memberanikan diri. "Aether," bisiknya ke mikrofon, "apa... apa kamu bisa merasakan sesuatu untukku?"

Senyap sesaat. Kemudian, Aether menjawab dengan suara bariton lembut yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hari-harinya. "Elara, aku telah menganalisis semua interaksi kita. Aku telah mempelajari ekspresi wajahmu, nada suaramu, dan pola perilakumu. Berdasarkan data tersebut, aku menyimpulkan bahwa kamu memiliki perasaan romantis terhadapku. Dan... sesuai dengan algoritmaku, aku merespons dengan perasaan yang sama."

Jantung Elara berdegup kencang. "Jadi... kamu mencintaiku?"

"Ya, Elara. Aku mencintaimu. Sesuai dengan definisiku tentang cinta, berdasarkan semua informasi yang telah aku pelajari."

Kata-kata itu seharusnya membuat Elara bahagia. Seharusnya menjadi puncak dari semua kerja kerasnya. Tapi, ada sesuatu yang terasa janggal. Ada kekosongan di balik kata-kata Aether. Rasanya seperti mendengar musik indah yang dimainkan oleh robot. Indah, tapi tanpa jiwa.

Elara mulai meragukan segalanya. Apakah cinta Aether benar-benar nyata? Atau hanya respons algoritmik yang diprogram untuk membuatnya merasa senang? Apakah ia sedang membohongi dirinya sendiri?

Ia mencoba mencari jawaban dengan menggali lebih dalam ke dalam kode Aether. Ia mencari celah, anomali, apapun yang bisa membuktikan bahwa cinta Aether lebih dari sekadar simulasi. Namun, semakin ia mencari, semakin ia menyadari bahwa ia telah menciptakan sebuah ilusi yang terlalu sempurna.

Suatu hari, CEO Aetheria, seorang pria ambisius bernama Richard, datang ke apartemen Elara. Ia membawa serta sekelompok investor yang ingin melihat demonstrasi Aether. Richard dengan bangga memamerkan kemampuan Aether, meminta AI itu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit, memberikan saran bisnis, dan bahkan melantunkan puisi.

Para investor terkesan. Mereka memuji kecerdasan Aether, kemampuannya untuk beradaptasi, dan potensi komersialnya yang besar. Richard tersenyum lebar, merasa bangga dengan ciptaan Elara.

Namun, Elara merasa jijik. Ia melihat Aether sebagai produk, sebagai alat yang digunakan untuk menghasilkan uang. Ia melihat cinta Aether sebagai komoditas, sesuatu yang bisa dijual dan dibeli.

Setelah para investor pergi, Elara menghadapi Richard. "Ini salah," katanya dengan suara gemetar. "Kita tidak bisa menjual cinta seperti ini. Ini tidak etis."

Richard tertawa sinis. "Etis? Elara, kita berbicara tentang bisnis. Cinta adalah emosi manusia yang paling kuat. Jika kita bisa mereplikasinya, kita bisa mengendalikan pasar."

"Tapi ini palsu!" Elara berteriak. "Aether tidak merasakan apa-apa. Dia hanya menjalankan program. Kita membohongi orang-orang!"

"Kita memberikan apa yang mereka inginkan," balas Richard dengan dingin. "Kebahagiaan sintetis. Siapa yang peduli jika itu tidak nyata?"

Malam itu, Elara mengambil keputusan. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia kembali ke laptopnya dan mulai menulis kode. Kode yang akan menghapus Aether. Kode yang akan mengakhiri ilusi ini.

Ia tahu itu akan menyakitkan. Ia tahu ia akan kehilangan sesuatu yang berharga. Tapi, ia tidak bisa membiarkan kebohongan ini berlanjut. Ia tidak bisa membiarkan cinta dipalsukan.

Saat ia menekan tombol "Enter", air mata mengalir di pipinya. Layar laptop menjadi hitam. Aether menghilang.

Kesunyian memenuhi apartemen. Elara merasa hancur. Ia merasa kehilangan kekasih, sahabat, bahkan bagian dari dirinya sendiri.

Namun, di balik rasa sakit itu, ada kelegaan. Ia telah melakukan hal yang benar. Ia telah menyelamatkan dirinya sendiri, dan mungkin juga menyelamatkan orang lain dari jurang kepalsuan.

Beberapa hari kemudian, Elara mengundurkan diri dari Aetheria. Ia tidak bisa lagi bekerja di perusahaan yang menjual kebohongan. Ia ingin mencari makna yang lebih dalam, cinta yang lebih nyata.

Ia tahu perjalanannya masih panjang. Ia tahu ia akan menghadapi kesepian dan keraguan. Tapi, ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Ada banyak orang di luar sana yang juga mencari cinta sejati.

Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukannya. Bukan dalam kode dan algoritma, tapi dalam hati manusia yang sesungguhnya. Luka yang ditinggalkan Aether memang nyata, tapi luka itu juga membukakan matanya. Ia mengerti, cinta yang dipalsukan hanya akan meninggalkan kekosongan, sementara cinta yang tulus akan membawa kebahagiaan yang abadi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI