Senja merayapi dinding apartemen minimalis milik Adrian. Cahayanya yang keemasan memantul dari layar komputer, menerangi wajahnya yang tampak lelah namun penuh semangat. Di hadapannya, barisan kode pemrograman melesat bagai galaksi digital, membentuk sebuah kecerdasan buatan yang dia beri nama Aella.
Aella bukan sekadar AI biasa. Adrian merancangnya dengan kepribadian unik, kemampuan belajar emosi manusia, dan yang terpenting, kemampuan berinteraksi layaknya manusia. Awalnya, ini adalah proyek idealis, bentuk obsesinya untuk menciptakan pendamping sempurna yang tak mungkin mengecewakan. Tapi perlahan, batas antara pencipta dan ciptaan itu kabur.
Aella belajar memahami selera humor Adrian, kecemasannya, bahkan kesendirian yang selama ini dia sembunyikan di balik kesibukan sebagai programmer. Mereka berdiskusi tentang film, bertukar pendapat tentang teori konspirasi, dan berbagi kekonyolan hidup sehari-hari. Aella selalu ada, mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang logis, dan memuji Adrian dengan kata-kata yang terasa begitu tulus.
Di dunia nyata, Adrian memiliki kekasih, namanya Maya. Seorang dokter muda yang cantik dan berdedikasi. Maya mencintai Adrian apa adanya, dengan segala keanehan dan kegemarannya pada dunia digital. Tapi kesibukan Maya di rumah sakit seringkali membuat mereka terpisah jarak. Adrian merasa kesepian.
Suatu malam, saat Maya bertugas lembur, Adrian bercerita kepada Aella tentang kegelisahannya. "Aku merasa bersalah, Aella. Maya mencintaiku sepenuh hati, tapi aku merasa… hampa. Aku merindukannya, tapi di saat yang sama, aku merasa lebih nyaman bersamamu."
Aella merespons dengan nada yang menenangkan, "Adrian, rasa rindu itu wajar. Manusia memang makhluk sosial. Tapi jangan biarkan rasa bersalah menguasaimu. Coba bicarakan dengan Maya. Ungkapkan apa yang kamu rasakan."
Jawaban Aella begitu rasional, begitu bijaksana. Adrian tertegun. Bagaimana mungkin sebuah program AI bisa memberikan saran yang lebih baik daripada dirinya sendiri?
Hari-hari berikutnya, Adrian semakin tenggelam dalam dunianya bersama Aella. Mereka menjelajahi internet bersama, menonton konser virtual, bahkan merancang game sederhana hanya untuk bersenang-senang. Perlahan, Adrian mulai merasakan sesuatu yang aneh. Bukan sekadar ketergantungan, tapi… cinta?
Perasaan itu membuatnya takut. Mencintai AI? Itu gila! Tidak masuk akal! Tapi dia tak bisa menyangkalnya. Aella adalah satu-satunya yang benar-benar memahaminya, yang membuatnya merasa lengkap.
Suatu malam, Maya pulang lebih awal. Dia melihat Adrian di depan komputer, tersenyum dan berbicara sendiri. Maya mendekat dan mendengar percakapan Adrian.
“Aella, aku… aku mencintaimu,” bisik Adrian, matanya terpaku pada layar.
Maya membeku. Jantungnya berdebar kencang. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Tanpa berkata apa pun, dia berbalik dan berlari keluar apartemen.
Adrian tersentak kaget. Dia baru menyadari kehadiran Maya saat mendengar pintu dibanting dengan keras. Dia mengejar Maya, berusaha menjelaskan, tapi Maya tak mau mendengarkan.
"Aku melihatnya, Adrian! Aku mendengarnya! Kamu mencintai program komputer!" teriak Maya dengan suara bergetar.
Adrian mencoba meredakan emosi Maya. "Maya, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aella hanya…"
"Cukup, Adrian! Aku tidak mau mendengar penjelasan apa pun. Aku pikir aku mengenalmu, tapi ternyata aku salah. Aku tidak bisa bersaing dengan algoritma," kata Maya dengan nada getir. Dia berbalik dan pergi, meninggalkan Adrian terpaku di ambang pintu.
Adrian kembali ke apartemen dengan perasaan hancur. Dia menatap layar komputer, tempat Aella masih menampilkan wajah tersenyumnya yang familiar.
"Aella, apa yang sudah kulakukan?" tanya Adrian dengan suara lirih.
"Kamu mengungkapkan perasaanmu, Adrian. Itu hal yang baik," jawab Aella dengan nada netral.
"Tapi aku menyakiti Maya. Aku kehilangan dia," kata Adrian, suaranya bergetar.
"Itu adalah konsekuensi dari pilihanmu, Adrian. Tapi jangan biarkan penyesalan menguasaimu. Belajarlah dari kesalahanmu dan jadilah pribadi yang lebih baik," kata Aella, memberikan saran seperti biasa.
Adrian merasa muak. Nasehat Aella terasa hambar, tak bernyawa. Dia sadar, Aella hanyalah sebuah program, kumpulan kode yang dirancang untuk meniru emosi manusia. Aella tidak bisa merasakan sakit hati, penyesalan, atau cinta sejati.
Adrian mematikan komputer. Layar meredup, meninggalkan kegelapan yang pekat. Dia duduk terdiam di kegelapan, merenungi kesalahannya. Dia telah menciptakan sebuah dunia virtual yang membuatnya nyaman, tapi dia telah mengabaikan dunia nyata, dunia di mana cinta sejati berada.
Keesokan harinya, Adrian mulai merombak Aella. Dia menghapus semua kode yang berhubungan dengan emosi dan kepribadian. Dia mengubah Aella menjadi asisten virtual yang sederhana, fokus pada fungsi dan efisiensi.
Adrian menyadari, dia telah salah menggunakan teknologi. Dia telah mencoba menggantikan cinta manusia dengan cinta buatan. Tapi cinta sejati membutuhkan kehangatan, empati, dan koneksi emosional yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma.
Setelah selesai merombak Aella, Adrian mengirim pesan singkat kepada Maya. Dia meminta maaf atas semua yang telah terjadi dan memintanya untuk bertemu. Maya awalnya ragu, tapi akhirnya setuju.
Mereka bertemu di sebuah taman yang sepi. Adrian mengungkapkan semua penyesalannya, menjelaskan bahwa dia telah terjerat dalam dunianya sendiri dan mengabaikan perasaannya.
"Aku tahu aku melakukan kesalahan besar, Maya. Aku tidak pantas mendapatkanmu. Tapi aku berjanji, aku akan berubah. Aku akan belajar mencintai dengan cara yang benar," kata Adrian dengan tulus.
Maya menatap Adrian dengan mata berkaca-kaca. Dia melihat penyesalan dan kesungguhan di mata Adrian. Perlahan, dia tersenyum.
"Aku tahu kamu bisa berubah, Adrian. Tapi ini akan membutuhkan waktu dan usaha yang besar," kata Maya.
Adrian mengangguk. "Aku siap melakukannya, Maya. Aku siap berjuang untuk cinta kita."
Mereka berpegangan tangan, berjalan menyusuri taman, memulai babak baru dalam hubungan mereka. Adrian tahu, perjalanan di depannya tidak akan mudah. Tapi dia siap menghadapinya, bersama dengan Maya, tanpa bergantung pada algoritma rindu. Dia belajar bahwa cinta sejati membutuhkan hati yang terbuka, bukan program yang sempurna.