Cinta Digital: Antara Algoritma, Hati, dan Layar Sentuh

Dipublikasikan pada: 12 Oct 2025 - 02:20:12 wib
Dibaca: 111 kali
Jemari Luna menari di atas layar sentuh ponselnya, membalas serangkaian pesan yang masuk. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Bukan notifikasi dari grup kerja yang membuatnya tersenyum, melainkan pesan dari akun bernama "Algoritma_Cinta". Pertemuan mereka berawal klise: Luna, seorang UI/UX designer yang sedang mengerjakan proyek aplikasi kencan, membutuhkan data pengguna untuk menyempurnakan algoritma pencocokan. Ia membuat akun anonim, berharap bisa berinteraksi langsung dengan para pengguna potensial.

Di sanalah ia bertemu Algoritma_Cinta, atau lebih tepatnya, Adrian. Nama samarannya menarik perhatian Luna karena Adrian adalah seorang data scientist yang gemar bermain dengan angka dan probabilitas. Percakapan mereka awalnya seputar data dan pola perilaku pengguna aplikasi kencan. Namun, lambat laun, topik mereka meluas. Mereka membahas buku favorit, mimpi-mimpi terpendam, bahkan ketakutan-ketakutan kecil yang jarang mereka bagikan pada orang lain.

Luna merasakan ada sesuatu yang berbeda dari interaksi mereka. Adrian, di balik nama samarannya yang kaku, ternyata memiliki selera humor yang unik dan pandangan yang menarik tentang dunia. Ia merasa nyaman berbicara dengannya, berbagi pikiran dan perasaannya tanpa takut dihakimi.

Suatu malam, saat mereka membahas algoritma pencocokan ideal, Adrian bertanya, "Menurutmu, Luna, faktor apa yang paling penting dalam sebuah hubungan?"

Luna berpikir sejenak. "Koneksi. Bukan hanya koneksi fisik, tapi juga koneksi emosional dan intelektual. Kemampuan untuk saling memahami, mendukung, dan tertawa bersama."

"Menarik," balas Adrian. "Bagaimana jika algoritma bisa mengukur koneksi itu? Menggunakan data dari interaksi online, menganalisis pola bahasa, ekspresi emosi, dan minat yang sama?"

"Itu ide yang bagus," kata Luna, "Tapi kurasa ada hal-hal yang tidak bisa diukur oleh algoritma. Intuisi, misalnya. Atau perasaan aneh yang kamu rasakan saat bertemu seseorang dan merasa seperti sudah mengenalnya sejak lama."

Percakapan mereka terus berlanjut hingga larut malam. Luna menyadari bahwa ia mulai merasa lebih dekat dengan Adrian. Ia penasaran seperti apa rupa orang di balik akun Algoritma_Cinta. Ia membayangkan seorang pria berkacamata, serius, dan kutu buku, seperti stereotype data scientist pada umumnya.

Beberapa minggu kemudian, Luna dan timnya mendekati tenggat waktu peluncuran aplikasi kencan. Ia memutuskan untuk mengungkap identitasnya kepada Adrian. Dengan gugup, ia mengirimkan pesan, "Adrian, ada sesuatu yang ingin kukatakan. Aku sebenarnya adalah Luna, UI/UX designer yang sedang mengerjakan aplikasi 'Jodoh Digital'. Akun ini aku buat untuk mendapatkan feedback langsung dari pengguna."

Hening. Luna menggigit bibirnya, menunggu balasan. Jantungnya berdebar kencang. Apakah Adrian akan marah? Apakah ia merasa dibohongi?

Beberapa menit kemudian, sebuah pesan muncul. "Luna? Jadi, selama ini aku berbicara denganmu? Ini lucu sekali!"

Luna menghela napas lega. "Kamu tidak marah?"

"Tentu saja tidak. Aku justru merasa ini takdir," balas Adrian. "Atau mungkin, algoritma yang membawaku padamu."

Mereka memutuskan untuk bertemu. Luna memilih sebuah kafe kecil yang tenang, berharap suasananya bisa mencairkan kecanggungan yang mungkin timbul. Saat Adrian datang, Luna terpana. Ia jauh berbeda dari bayangannya. Adrian tidak berkacamata, wajahnya ramah, dan senyumnya menawan.

"Hai, Luna," sapa Adrian dengan suara lembut.

"Hai, Adrian," balas Luna, jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya.

Mereka menghabiskan sore itu untuk berbicara, tertawa, dan saling mengenal lebih dalam. Luna menyadari bahwa Adrian jauh lebih menarik daripada yang ia bayangkan. Ia cerdas, humoris, dan perhatian. Ia juga sangat jujur dan terbuka tentang dirinya.

Di akhir pertemuan, Adrian berkata, "Luna, aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita. Aku menikmati percakapan kita, aku suka caramu berpikir, dan aku tertarik padamu."

Luna tersenyum. "Aku juga merasakan hal yang sama, Adrian. Aku juga tertarik padamu."

Adrian mengulurkan tangannya. "Bagaimana kalau kita mencoba ini? Kita lihat apakah algoritma cinta kita benar-benar berfungsi."

Luna meraih tangan Adrian. "Aku setuju. Tapi mari kita sepakati satu hal. Kita tidak akan terlalu bergantung pada algoritma. Kita akan membiarkan hati kita yang menentukan."

Beberapa bulan kemudian, aplikasi "Jodoh Digital" diluncurkan. Aplikasi itu sukses besar, berkat desain intuitif Luna dan algoritma pencocokan akurat Adrian. Namun, bagi Luna dan Adrian, kesuksesan aplikasi itu hanyalah bonus. Yang terpenting adalah mereka telah menemukan cinta, bukan di antara angka dan probabilitas, melainkan di antara algoritma, hati, dan layar sentuh.

Mereka berpacaran, saling mendukung dalam karir dan impian masing-masing. Mereka belajar untuk saling menerima kekurangan dan merayakan kelebihan masing-masing. Mereka menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa diprediksi oleh algoritma, tapi bisa ditumbuhkan dengan kejujuran, kepercayaan, dan komitmen.

Suatu malam, saat mereka sedang menikmati makan malam romantis, Adrian mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru. Luna terkejut.

"Luna," kata Adrian dengan gugup, "Aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Maukah kau menikah denganku?"

Air mata haru menggenang di mata Luna. Ia mengangguk. "Ya, Adrian. Aku mau."

Adrian memasangkan cincin berlian di jari Luna. Mereka berpelukan erat, merasakan kebahagiaan yang meluap-luap.

Kisah cinta mereka adalah bukti bahwa cinta bisa ditemukan di mana saja, bahkan di dunia digital yang serba canggih. Yang terpenting adalah tetap terbuka, jujur, dan berani untuk mengambil risiko. Karena kadang-kadang, cinta sejati bersembunyi di balik nama samaran, di balik layar sentuh, menunggu untuk ditemukan. Dan ketika ditemukan, cinta itu akan mengubah hidupmu selamanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI