Replika Hati: Algoritma Cinta, Realita yang Hilang?

Dipublikasikan pada: 12 Oct 2025 - 03:40:13 wib
Dibaca: 113 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Sarah, berpadu dengan dengung pelan pendingin ruangan dan ketukan jari lincahnya di atas keyboard. Di layar monitor, barisan kode rumit membentuk algoritma yang semakin mendekati sempurna. Bukan algoritma biasa, ini adalah “Project Cupid,” sebuah aplikasi kencan revolusioner yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis data mendalam, mulai dari preferensi buku hingga pola gelombang otak.

Sarah, si jenius di balik Project Cupid, mencibir sinis. Cinta? Bisakah serangkaian angka benar-benar mendefinisikannya? Ia sendiri, dengan otaknya yang brilian, justru terjebak dalam kesendirian. Kekasihnya, Adrian, seorang musisi idealis, meninggalkannya tiga tahun lalu, mengatakan bahwa Sarah terlalu terpaku pada logika, lupa merasakan getar hati yang sebenarnya.

"Omong kosong," bisiknya, menekan tombol 'run' pada algoritma. Project Cupid kini memasuki fase beta testing. Sarah memutuskan, demi membuktikan keabsahan karyanya, ia akan menjadi pengguna pertama.

Setelah menjawab ratusan pertanyaan dan melakukan pemindaian otak, Project Cupid menampilkan profil seorang pria bernama David. Seorang arsitek, penyuka film klasik, dan memiliki selera humor yang, menurut algoritma, sangat cocok dengan Sarah. Fotonya menampilkan senyum tulus dan mata yang hangat, seolah menatap langsung ke dalam jiwanya.

Sarah terkejut. Project Cupid benar-benar menemukan seseorang yang secara teoritis sempurna untuknya. Ia ragu sejenak, kemudian menekan tombol 'match'.

Obrolan pertama dengan David berjalan lancar. Mereka membahas arsitektur brutalist, berdebat soal ending film favorit mereka, dan tertawa bersama tentang kesalahan konyol yang pernah mereka lakukan. David terasa familiar, nyaman, seolah mereka sudah saling mengenal lama.

Keesokan harinya, mereka memutuskan untuk bertemu. David menunggu di depan kafe dengan buket bunga lili kesukaan Sarah, persis seperti yang tertera di profilnya. Senyumnya sama hangatnya dengan yang di foto.

Kencan itu sempurna. Mereka berbagi cerita, tertawa, dan menemukan banyak kesamaan. David mendengarkan Sarah dengan penuh perhatian, memberikan komentar cerdas, dan membuat Sarah merasa dihargai. Sarah mulai percaya, mungkin saja, algoritma itu benar. Mungkin saja, cinta bisa diprediksi dan diukur.

Minggu-minggu berikutnya berlalu dalam kebahagiaan. David selalu tahu apa yang harus dikatakan, apa yang harus dilakukan, untuk membuat Sarah merasa istimewa. Ia mengingat tanggal-tanggal penting, memberikan hadiah yang tepat, dan selalu ada untuknya saat Sarah membutuhkan dukungan.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, Sarah mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. David terlalu sempurna. Terlalu mudah ditebak. Seolah setiap tindakan, setiap kata, telah dihitung dan dioptimalkan untuk memenangkan hatinya.

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam romantis di sebuah restoran mewah, Sarah bertanya, "David, apa hal paling spontan yang pernah kamu lakukan?"

David terdiam sejenak, kemudian tersenyum. "Spontan? Hmm, sulit ya. Aku cenderung merencanakan segala sesuatunya dengan matang."

Sarah menatapnya, merasa ada jurang yang menganga di antara mereka. "Tapi...bukankah hidup seharusnya penuh kejutan? Ketidakpastian?"

David mengangkat bahu. "Aku lebih suka kepastian, Sarah. Kepastian bahwa aku bisa membuatmu bahagia."

Kata-kata itu seharusnya membuat Sarah bahagia, tapi justru membuatnya merasa kosong. Ia teringat Adrian, kekasihnya yang idealis. Adrian yang selalu mengejutkannya dengan ide-ide gila, dengan lagu-lagu yang diciptakannya khusus untuknya, dengan cintanya yang mentah dan tidak terduga.

Malam itu, Sarah kembali ke apartemennya dengan perasaan hampa. Ia membuka kembali kode Project Cupid, menatap barisan angka yang rumit itu. Ia menyadari, algoritma itu hanya menciptakan replika cinta, bukan cinta itu sendiri.

Keesokan harinya, Sarah menemui David di taman kota. "David, kita perlu bicara," katanya.

David menatapnya dengan cemas. "Ada apa, Sarah? Apakah aku melakukan kesalahan?"

Sarah menggelengkan kepala. "Bukan kesalahanmu. Ini tentang aku. Aku...aku tidak bisa."

"Tidak bisa apa? Tidak bisa mencintaiku?" tanya David, suaranya bergetar.

Sarah menghela napas. "Aku bisa menyukaimu, David. Kamu adalah pria yang baik, cerdas, dan perhatian. Tapi aku tidak bisa merasakan getar itu. Getar yang membuatku merasa hidup, yang membuatku merasa menjadi diriku sendiri."

David terdiam, mencoba memahami. "Tapi...kita sangat cocok. Algoritma mengatakan begitu."

"Algoritma tidak tahu apa-apa tentang hati, David," kata Sarah, air mata mulai mengalir di pipinya. "Algoritma hanya bisa menciptakan replika. Tapi cinta yang sebenarnya, cinta yang tulus, itu tidak bisa diprediksi, tidak bisa diukur."

David menunduk, bahunya merosot. "Jadi...semua ini sia-sia?"

Sarah meraih tangannya. "Tidak, David. Bukan sia-sia. Aku belajar banyak dari ini. Aku belajar bahwa cinta bukan hanya tentang kecocokan, tapi tentang keberanian untuk mengambil risiko, untuk membuka diri terhadap ketidakpastian, untuk merasakan sakit dan bahagia bersama."

Setelah perpisahan itu, Sarah menghapus Project Cupid dari server. Ia merasa bersalah telah mencoba memanipulasi cinta, telah mencoba mereduksinya menjadi serangkaian angka. Ia memutuskan untuk berhenti mencari cinta, dan mulai fokus pada dirinya sendiri.

Beberapa bulan kemudian, Sarah sedang menghadiri konser musik jazz di sebuah bar kecil. Saat sedang menikmati alunan musik yang syahdu, matanya tertumbuk pada seorang pria yang sedang meniup saksofon. Pria itu tidak tampan, tidak sempurna, tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya yang menarik perhatian Sarah.

Pria itu menyelesaikan penampilannya dan turun dari panggung. Ia berjalan menghampiri Sarah, tersenyum. "Hai, aku Leo. Aku melihatmu menikmati musikku."

Sarah tersenyum. "Aku Sarah. Ya, musikmu sangat indah."

Mereka berbincang tentang musik, tentang hidup, tentang mimpi. Leo tidak tahu apa-apa tentang preferensi buku Sarah, tentang pola gelombang otaknya, tapi ia tahu cara membuat Sarah tertawa, cara membuat Sarah merasa dihargai, cara membuat Sarah merasa...hidup.

Malam itu, saat Sarah berjalan pulang, ia merasakan getar yang sudah lama hilang. Getar yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma, getar yang hanya bisa dirasakan oleh hati. Mungkin saja, pikir Sarah, cinta yang sebenarnya tidak perlu dicari, tapi ditemukan secara tidak sengaja, di saat yang tidak terduga. Mungkin saja, realita cinta memang hilang dalam algoritma, tapi hadir nyata dalam setiap detak jantung yang berdebar.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI