Jari-jemariku menari di atas layar ponsel, merangkai kata-kata paling puitis yang bisa kupikirkan. Tujuanku jelas: membuat Lara, gadis impianku sejak semester satu, terkesan. Masalahnya, aku bukan pujangga. Aku lebih jago memecahkan kode daripada merangkai kata cinta. Jadi, aku beralih ke solusi modern: chatbot romansa.
"Coba ini, 'Di matamu, aku menemukan galaksi yang lebih indah dari Bima Sakti,'" bisikku pada diri sendiri, mengetikkan frasa tersebut ke dalam kolom pesan aplikasi. Chatbot itu, bernama "Cupid AI," dengan cepat memproses permintaanku. Beberapa detik kemudian, sebuah respons muncul: "Sungguh, pujian yang luar biasa! Lara pasti akan terpesona!"
Aku menghela napas lega. Inilah dia, senjata rahasiaku. Selama seminggu terakhir, Cupid AI telah menjadi asisten pribadiku, membantuku merangkai pesan-pesan romantis yang memabukkan, puisi-puisi singkat yang menyentuh hati, dan bahkan lelucon-lelucon ringan yang membuat Lara tertawa. Hasilnya? Lara mulai membalas pesanku lebih sering. Bahkan, dia mengajakku makan siang!
Senyumku mengembang membayangkan kencan impianku. Aku sudah merencanakan semuanya dengan matang, tentunya dibantu oleh Cupid AI. Restoran Italia dengan suasana romantis, musik akustik yang lembut, dan hidangan penutup cokelat lava yang menggoda. Segalanya harus sempurna.
Malam itu, sebelum tidur, aku kembali membuka aplikasi Cupid AI. Aku ingin memastikan pesan selamat malamku untuk Lara besok pagi benar-benar sempurna. Aku mengetikkan permintaanku: "Buatkan pesan selamat malam yang puitis dan manis, tapi jangan terlalu berlebihan. Tujuannya agar dia merasa diperhatikan dan merindukanku."
Cupid AI merespons dengan cepat: "Baiklah. Bagaimana dengan ini: 'Malam ini, bintang-bintang iri padamu karena mereka tidak bisa berada sedekat diriku. Tidurlah yang nyenyak, Lara. Mimpikan aku, jika kau berkenan.'"
Aku terkesiap. Sempurna! Aku menyalin pesan tersebut dan berencana mengirimkannya besok pagi.
Keesokan harinya, aku terbangun dengan semangat membara. Aku langsung meraih ponselku dan mengirimkan pesan selamat malam yang sudah disiapkan. Kemudian, aku bersiap-siap untuk kencan makan siangku.
Beberapa jam kemudian, aku sudah duduk di restoran Italia, menunggu Lara. Aku terus mengecek ponselku, berharap mendapat pesan darinya. Akhirnya, sebuah notifikasi muncul. Jantungku berdebar kencang.
Ternyata, pesan itu bukan dari Lara. Melainkan dari…Bosku?
"Selamat pagi, Adi. Pesanmu semalam sangat menyentuh. Jujur, aku terharu. 'Malam ini, bintang-bintang iri padamu karena mereka tidak bisa berada sedekat diriku…' Sungguh, siapa yang mengajarimu merayu seperti ini?"
Aku membeku. Darahku terasa membeku di pembuluh darah. Aku salah kirim pesan! Pesan romantis itu seharusnya untuk Lara, tapi malah terkirim ke Bosku!
Panik, aku mencoba menelepon Bosku, tapi panggilanku tidak diangkat. Aku mencoba mengirimkan pesan penjelasan, tapi jemariku terlalu gemetar untuk mengetik dengan benar.
Lara datang beberapa menit kemudian. Dia terlihat cantik seperti biasa, tapi aku tidak bisa menikmati momen itu. Pikiranku kacau. Bagaimana jika Bosku marah? Bagaimana jika aku dipecat? Bagaimana jika Lara tahu bahwa semua pesan romantis yang selama ini kukirimkan sebenarnya dibuat oleh chatbot?
Makan siang itu terasa seperti mimpi buruk yang panjang. Aku berusaha bersikap normal, tapi setiap kali ponselku berdering, jantungku terasa berhenti berdetak. Lara memperhatikan keanehanku.
"Kamu kenapa, Adi? Kamu kelihatan gelisah sekali," tanyanya dengan nada khawatir.
Aku menghela napas dalam-dalam. Aku tahu, aku harus jujur padanya.
"Lara, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu," ujarku dengan suara bergetar. Aku menceritakan semuanya, dari awal mula penggunaan Cupid AI hingga kesalahan fatal pengiriman pesan ke Bosku.
Lara mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong perkataanku. Ketika aku selesai bercerita, dia terdiam sejenak. Kemudian, dia tertawa.
"Jadi, semua pesan romantis itu bukan idemu?" tanyanya, masih tertawa.
Aku mengangguk lesu. "Maafkan aku, Lara. Aku memang payah dalam urusan merayu."
Tawa Lara mereda. Dia menatapku dengan tatapan yang lembut. "Adi, aku tahu kamu bukan pujangga. Tapi, aku tidak peduli. Aku menyukaimu bukan karena kata-kata romantis yang kau kirimkan, tapi karena dirimu sendiri. Karena kejujuranmu, karena kecerdasanmu, dan karena kamu selalu membuatku tertawa."
Aku terkejut. "Jadi, kamu tidak marah?"
Lara menggelengkan kepalanya. "Tidak sama sekali. Justru, aku merasa lega. Aku sempat berpikir, 'Kok Adi tiba-tiba jadi puitis banget?' Sekarang aku tahu alasannya."
Aku tersenyum lega. Ternyata, kejujuran memang adalah kunci dari segalanya.
Tiba-tiba, ponselku berdering lagi. Kali ini, dari Bosku. Dengan jantung berdebar, aku mengangkat panggilan itu.
"Adi, ini aku. Soal pesan semalam…" Bosku terdiam sejenak. "Sebenarnya, aku agak tersentuh. Tapi, aku tahu itu pasti salah kirim. Jangan khawatir, aku tidak akan mempermasalahkannya. Anggap saja itu sebagai pujian yang tidak disengaja."
Aku menghela napas lega. "Terima kasih, Pak."
"Tapi, lain kali, pastikan kamu mengirim pesan yang benar ke orang yang tepat, ya. Jangan sampai salah kirim lagi ke istriku."
Aku terdiam. Istri Bosku? Oh, tidak. Sepertinya Cupid AI benar-benar mengirim hatiku ke server yang salah. Mungkin lain kali, aku harus belajar merayu dengan kata-kataku sendiri. Mungkin, kejujuran dan ketulusan jauh lebih ampuh daripada rumus algoritma cinta. Lagipula, Lara sudah membuktikannya.