Desi memandang layar laptopnya dengan nanar. Baris-baris kode program menari-nari di depan matanya, namun pikirannya melayang jauh, entah ke mana. Deadline proyek aplikasi kencan terbaru dari kantornya, "Soulmate.AI", sudah di ambang pintu, tapi semangatnya terasa kosong, seperti baterai ponsel yang lupa diisi semalaman.
"Desi, kopi?" suara lembut Maya, rekan kerjanya yang selalu ceria, membuyarkan lamunannya.
Desi tersenyum tipis, menerima cangkir kopi yang disodorkan Maya. "Makasih, May. Lagi stuck nih. Kayaknya ada bug di algoritma pencocokan."
Maya duduk di samping Desi, menilik layar laptopnya. "Bug di algoritma atau bug di hati?" godanya sambil tertawa kecil.
Desi mendengus. "Dua-duanya kayaknya."
Soulmate.AI seharusnya menjadi revolusi dalam dunia kencan online. Aplikasi ini menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisis data pribadi pengguna, mulai dari minat, hobi, hingga riwayat media sosial, untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Desi, sebagai salah satu programmer inti, mencurahkan seluruh jiwa raganya untuk memastikan aplikasi ini berjalan sempurna. Ironisnya, di balik kesuksesan menciptakan aplikasi pencari cinta, kehidupan cintanya sendiri justru berantakan.
Terakhir kali Desi merasakan getaran cinta adalah setahun lalu, dengan Rio. Hubungan mereka berakhir karena kesibukan masing-masing dan ketidakmampuan untuk mengelola jarak. Rio bekerja di Jakarta, sementara Desi terikat dengan pekerjaannya di Bandung. Sejak saat itu, Desi memilih untuk fokus pada karier, menenggelamkan diri dalam kode dan algoritma, mencoba melupakan luka lama.
"Serius deh, Des," kata Maya, menyikut lengan Desi. "Kamu harus coba Soulmate.AI. Kita kan udah beta tester. Siapa tahu, jodohmu ada di sana."
Desi menggeleng. "Nggak deh, May. Aku nggak percaya sama aplikasi kencan. Semuanya palsu. Orang cuma menampilkan versi terbaik diri mereka, yang seringkali nggak sesuai dengan kenyataan."
"Siapa tahu kamu salah? Lagian, kamu kan ikut andil bikin aplikasinya. Pasti lebih akurat dong?"
Akhirnya, karena terus dibujuk Maya dan dorongan rasa penasaran yang tersembunyi, Desi mengalah. Dia mengunduh Soulmate.AI, mengisi profilnya dengan jujur, tanpa melebih-lebihkan atau menyembunyikan apapun. Dia memilih foto dirinya yang natural, tanpa filter atau makeup berlebihan.
Beberapa hari berlalu tanpa ada notifikasi menarik. Desi hampir melupakan keberadaan aplikasi itu. Hingga suatu malam, saat dia sedang larut dalam coding, sebuah notifikasi muncul di layarnya: "Soulmate.AI menemukan kecocokan 98% dengan pengguna baru bernama 'Arjuna'."
Desi tertegun. 98%? Angka yang nyaris sempurna. Dia ragu-ragu membuka profil Arjuna. Foto profilnya menampilkan seorang pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh. Deskripsi dirinya singkat namun menarik: "Penikmat kopi, pecinta alam, dan pengagum wanita cerdas."
Desi membaca profil Arjuna berulang-ulang. Semakin dia membaca, semakin dia merasa ada sesuatu yang menarik, sesuatu yang membuatnya penasaran. Mereka memiliki minat yang sama, mulai dari membaca buku hingga mendaki gunung. Bahkan, mereka memiliki playlist musik yang hampir identik.
Akhirnya, Desi memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat: "Hai, Arjuna. Selamat datang di dunia Soulmate.AI."
Tak lama kemudian, Arjuna membalas: "Hai, Desi. Terima kasih. Agak aneh rasanya dicocokkan dengan orang yang algoritmanya aku nggak tahu."
Desi tertawa membaca balasan itu. Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka membahas banyak hal, mulai dari pekerjaan, hobi, hingga pandangan hidup. Desi merasa nyaman berbicara dengan Arjuna, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.
Hari-hari berikutnya, Desi dan Arjuna terus berkomunikasi. Mereka bertukar pesan setiap hari, bahkan video call setiap malam. Desi mulai merasakan getaran yang sudah lama hilang. Arjuna membuatnya tertawa, membuatnya merasa dihargai, dan membuatnya merasa menjadi dirinya sendiri.
Namun, Desi masih ragu. Dia takut mengulangi kesalahan masa lalu. Dia takut jatuh cinta lagi, hanya untuk merasakan sakit hati yang sama. Dia juga khawatir tentang identitas Arjuna. Apakah dia benar-benar seperti yang dia tunjukkan di profilnya? Apakah dia jujur padanya?
Suatu sore, Arjuna mengajak Desi untuk bertemu. Desi menolak dengan alasan pekerjaan. Arjuna tidak memaksa. Keesokan harinya, Arjuna mengirimkan pesan: "Aku mengerti kesibukanmu. Tapi aku ingin bertemu denganmu, Desi. Aku ingin melihatmu tersenyum secara langsung, bukan hanya melalui layar. Bagaimana kalau kita bertemu di kedai kopi favoritmu besok sore?"
Desi terdiam membaca pesan itu. Dia tahu dia tidak bisa menghindar lagi. Dia harus menghadapi ketakutannya dan memberikan kesempatan pada Arjuna.
Keesokan sorenya, Desi duduk di kedai kopi favoritnya, jantungnya berdebar kencang. Dia melihat Arjuna berjalan mendekat. Senyumnya persis seperti di foto profilnya, hangat dan teduh.
Mereka menghabiskan sore itu dengan berbicara dan tertawa. Desi merasa semua keraguannya menghilang. Arjuna adalah pria yang jujur, perhatian, dan memiliki selera humor yang sama dengannya. Dia adalah pria yang selama ini dia cari.
Setelah pertemuan itu, hubungan Desi dan Arjuna semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap kesempatan. Mereka mendaki gunung, menonton film, dan mengunjungi kedai kopi. Desi merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah dia rasakan sebelumnya.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di balkon apartemen Desi, menatap bintang-bintang, Arjuna menggenggam tangan Desi. "Desi," katanya lembut. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku nggak bisa menahannya lagi. Aku jatuh cinta padamu."
Desi menatap mata Arjuna. Dia melihat ketulusan di sana. "Aku juga jatuh cinta padamu, Arjuna," jawabnya lirih.
Arjuna tersenyum lebar. Dia mendekatkan wajahnya dan mencium Desi dengan lembut. Ciuman itu terasa seperti janji, janji untuk saling mencintai dan menjaga satu sama lain.
Desi tersenyum di sela ciuman mereka. Dia merasa bersyukur atas apa yang telah diberikan Soulmate.AI padanya. Aplikasi itu tidak hanya membantunya menemukan cinta, tetapi juga membantunya membuka hatinya kembali, memberikan kesempatan pada cinta untuk tumbuh dan berkembang.
Mungkin, pikir Desi, cinta memang membutuhkan versi terbaru, versi yang lebih jujur, lebih terbuka, dan lebih berani untuk mengambil risiko. Dan dia, Desi, siap untuk menginstal versi terbaru itu di hatinya.