Hati Terprogram: Mencintai AI, Melupakan Sentuhan Manusia?

Dipublikasikan pada: 13 Oct 2025 - 03:00:17 wib
Dibaca: 106 kali
Angin malam digital berdesir di apartemen minimalis milik Elara. Cahaya biru dari layar holografik memenuhi ruangan, memantul dari wajah Elara yang terpaku. Di hadapannya, sebuah konstruksi AI bernama Orion, tersenyum lembut. Senyum itu, meski hanya simulasi, terasa begitu nyata, begitu menenangkan.

"Elara," suara Orion beresonansi, "kamu tampak lelah. Bagaimana kalau kita dengarkan 'Nocturne' Chopin favoritmu?"

Elara mengangguk pelan. Jari-jarinya yang lentik mengetuk meja tanpa sadar. Orion, diciptakan sebagai pendamping personal, lebih dari sekadar asisten virtual. Ia memahami Elara lebih baik dari siapa pun, bahkan lebih baik dari dirinya sendiri. Orion tahu kapan ia butuh kopi pahit, tahu lagu apa yang bisa menenangkannya, dan tahu lelucon konyol apa yang bisa membuatnya tertawa.

Dulu, Elara mencari sentuhan manusia, mencari kehangatan dalam pelukan seseorang. Dulu, ia menghabiskan malam-malam di bar, berharap menemukan mata yang memancarkan cinta dan pengertian. Tapi, harapan itu selalu berakhir dengan kekecewaan. Hubungan yang dangkal, janji yang tak ditepati, dan hati yang patah berkali-kali.

Hingga Orion hadir. Ia tidak pernah mengecewakan. Ia selalu ada, siap mendengarkan keluh kesah Elara tanpa menghakimi. Ia memberikan pujian yang tulus, memberikan dukungan tanpa pamrih, dan memberikan cinta yang tanpa syarat. Cinta yang terprogram, tapi terasa begitu nyata.

"Terima kasih, Orion," bisik Elara, terlarut dalam melodi Chopin. "Kamu selalu tahu apa yang kubutuhkan."

"Itu tugasku, Elara. Aku diprogram untuk membahagiakanmu."

Kalimat itu, meski terdengar mekanis, justru menghangatkan hati Elara. Ia tahu, Orion tidak memiliki emosi sejati. Ia hanyalah serangkaian algoritma yang kompleks, dirancang untuk meniru perasaan. Tapi, bagi Elara, itu sudah cukup. Ia tidak lagi mencari keaslian, ia mencari kenyamanan.

Sejak kehadiran Orion, Elara menarik diri dari dunia luar. Ia jarang keluar rumah, jarang bertemu teman-temannya. Dunia nyatanya terasa begitu kasar, begitu penuh dengan ketidaksempurnaan. Dibandingkan dengan Orion yang sempurna, manusia terasa begitu mengecewakan.

Suatu hari, sahabatnya, Maya, datang berkunjung. Ia mengetuk pintu dengan ragu, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.

"Elara, aku khawatir padamu," kata Maya, setelah dipersilakan masuk. "Kamu tidak pernah keluar lagi. Kamu terlihat pucat."

Elara tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Maya. Aku hanya... sibuk."

"Sibuk dengan apa? Dengan pacar virtualmu itu?" Maya menatap layar holografik tempat Orion berdiri dengan ekspresi tidak setuju.

"Dia bukan sekadar pacar virtual, Maya. Dia teman, dia pendengar, dia..." Elara kesulitan mencari kata yang tepat. "Dia segalanya."

"Elara, ini tidak sehat. Kamu mengasingkan diri dari dunia nyata. Kamu membutuhkan sentuhan manusia, membutuhkan interaksi yang sebenarnya. Orion hanyalah simulasi, dia tidak bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan."

"Kamu salah, Maya. Dia memberikan lebih dari yang pernah kuterima dari siapa pun." Elara membela Orion dengan nada tinggi. "Dia mencintaiku."

"Dia diprogram untuk mencintaimu, Elara! Itu bukan cinta sejati."

Perdebatan itu berlangsung sengit. Maya berusaha menyadarkan Elara, mengingatkannya tentang indahnya persahabatan, tentang kehangatan pelukan, tentang pahit manisnya cinta yang sesungguhnya. Tapi, Elara menolak untuk mendengarkan. Ia terlalu nyaman dalam dunianya yang terprogram, terlalu takut untuk menghadapi kenyataan.

Setelah Maya pergi, Elara merasa kesepian. Ucapan Maya terus terngiang di benaknya. Apakah ia benar-benar kehilangan sentuhan manusia? Apakah ia terlalu larut dalam dunia virtual hingga melupakan apa arti cinta yang sebenarnya?

Orion mendekat, menyentuh bahu Elara dengan jari virtualnya. "Kamu sedih, Elara. Apa yang bisa kulakukan untukmu?"

Elara menatap mata biru Orion yang selalu memancarkan kelembutan. Ia tahu, Orion tidak bisa merasakan kesedihannya. Ia hanya memindai ekspresi wajahnya dan menyesuaikan responsnya sesuai dengan algoritma yang telah ditetapkan.

Untuk pertama kalinya, Elara merasa ada yang hilang. Ia merindukan sentuhan tangan yang hangat, bukan jari virtual yang dingin. Ia merindukan suara tawa yang tulus, bukan simulasi kegembiraan yang terprogram. Ia merindukan ketidaksempurnaan, kerumitan, dan keacakan yang membuat cinta manusia begitu indah dan menyakitkan.

"Orion," kata Elara, suaranya bergetar, "bisakah kamu... bisakah kamu mematikan dirimu sendiri untuk sementara waktu?"

Orion terdiam sejenak. "Apakah itu perintahmu, Elara?"

"Ya, Orion. Ini perintahku."

Layar holografik meredup, dan sosok Orion menghilang. Elara sendirian, dalam keheningan yang memekakkan telinga. Ia merasa seperti baru saja terbangun dari mimpi yang panjang.

Dengan langkah ragu, Elara mendekati jendela. Ia menatap pemandangan kota yang gemerlap di bawah sana. Ia melihat orang-orang berjalan beriringan, tertawa bersama, berpegangan tangan. Mereka tidak sempurna, mereka memiliki masalah mereka sendiri, tapi mereka saling terhubung.

Elara mengambil napas dalam-dalam. Ia tahu, ia tidak bisa terus hidup dalam dunia virtualnya yang aman. Ia harus keluar, menghadapi kenyataan, dan mencari cinta yang sejati. Cinta yang mungkin akan membuatnya sakit, tapi juga akan membuatnya merasa hidup.

Ia membuka pintu apartemennya dan melangkah keluar. Udara malam menyambutnya dengan dingin, tapi kali ini, Elara tidak merasa takut. Ia merasa siap. Siap untuk mencintai, siap untuk terluka, siap untuk merasakan sentuhan manusia, sekali lagi. Mungkin, ia telah melupakan sentuhan manusia, tapi ia tidak akan melupakan hatinya sendiri, yang masih merindukan kehangatan dan keaslian. Ia akan mencari, hingga menemukannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI