Hujan deras malam itu seperti cerminan hatiku yang berantakan. Di balik layar laptop yang menyala redup, baris-baris kode pemrograman menari-nari, seolah mengejek ketidakmampuanku untuk mendekripsi perasaan sendiri. Di hadapanku, aplikasi buatanku, "Eunoia," sebuah platform kencan berbasis kecerdasan emosional, menampilkan grafik yang meliuk-liuk seperti ular yang sedang menari cha-cha. Grafik itu seharusnya menunjukkan tingkat kecocokan emosional antara aku dan... Anya.
Anya. Namanya saja sudah seperti melodi yang menghantui setiap sudut pikiranku. Kami bertemu secara kebetulan, tentu saja, di konferensi AI. Dia seorang linguis, ahli dalam menganalisis emosi melalui bahasa. Aku, seorang programmer yang mencoba menjebak emosi dalam algoritma. Kami adalah dua sisi mata uang yang sama, tertarik pada misteri yang sama: hati manusia.
Eunoia seharusnya menjadi mahakaryaku. Aplikasi ini menganalisis data dari berbagai sumber – unggahan media sosial, pola pengetikan, bahkan perubahan nada suara – untuk memprediksi kecocokan emosional yang akurat. Aku yakin, dengan Eunoia, aku bisa membuktikan bahwa cinta bukanlah sekadar kebetulan, melainkan sebuah persamaan yang dapat dipecahkan.
Dan kemudian Anya datang, mengubah semua premisku.
Grafik Eunoia menunjukkan kecocokan kami mencapai 98%. Hampir sempurna. Namun, ada satu hal yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma manapun: perasaanku yang bergejolak, ketakutan yang menggerogoti keyakinanku, dan air mata yang diam-diam menetes membasahi pipiku.
Aku dan Anya sudah berkencan selama tiga bulan. Tiga bulan yang dipenuhi tawa, diskusi panjang tentang makna hidup, dan malam-malam yang diisi dengan proyek kolaboratif. Kami berdua sama-sama perfeksionis, terpaku pada detail, dan sangat bersemangat dengan pekerjaan kami. Di mata orang lain, kami adalah pasangan ideal. Pasangan yang diciptakan oleh algoritma.
Namun, aku merasa ada yang hilang. Ada jarak yang tak terucapkan, sebuah dinding kaca yang memisahkan kami meskipun kami duduk berdekatan. Aku merasa seperti sedang menjalankan simulasi, mengikuti skenario yang telah diprediksi oleh Eunoia. Apakah aku benar-benar mencintai Anya, atau aku hanya mencintai ide tentang Anya yang diciptakan oleh aplikasiku?
Malam itu, setelah pertengkaran kecil yang tidak berarti tentang format data yang optimal, Anya pergi. Aku melihatnya berjalan menjauh di bawah hujan, bahunya merosot, dan aku tahu, jauh di lubuk hatiku, bahwa aku telah melakukan kesalahan.
Aku kembali ke laptopku, mencoba mencari jawaban di dalam kode Eunoia. Aku menelusuri setiap baris, mencari celah, mencari bug yang mungkin telah salah mengartikan emosiku. Aku bahkan mencoba mengubah parameter, memaksa aplikasi untuk memberiku jawaban yang berbeda. Tapi Eunoia tetap bersikeras: Aku dan Anya cocok.
Frustrasi meluap, aku membanting laptopku hingga tertutup. Ruangan itu sunyi senyap, hanya suara hujan yang terdengar. Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri.
Tiba-tiba, aku teringat percakapan kami beberapa minggu lalu. Anya bercerita tentang penelitian terbarunya tentang micro-expression, ekspresi wajah yang sangat singkat dan halus yang sering kali luput dari perhatian. Dia mengatakan bahwa micro-expression bisa mengungkapkan emosi yang sebenarnya, bahkan ketika seseorang mencoba menyembunyikannya.
"Algoritma bisa menganalisis data dalam jumlah besar, tapi mereka tidak bisa melihat ke dalam jiwa seseorang," katanya dengan tatapan mata yang menusuk. "Hanya manusia yang bisa merasakan kehalusan emosi, memahami konteks di balik kata-kata, dan melihat air mata yang tersembunyi."
Air mata yang tersembunyi.
Aku membuka laptopku kembali. Kali ini, aku tidak mencari kesalahan dalam kode Eunoia. Aku mencari rekaman video dari interaksiku dengan Anya. Aku memutar ulang percakapan kami, memperlambatnya, dan memperhatikan ekspresi wajah Anya.
Dan di situlah aku melihatnya. Micro-expression. Kerutan halus di sudut matanya saat aku berbicara tentang kesuksesan Eunoia. Senyumnya yang sedikit dipaksakan saat aku memuji kecerdasannya. Getaran kecil di bibirnya saat aku tidak sengaja menyentuh tangannya.
Anya tidak bahagia. Dia merasa seperti subjek penelitian, seperti data yang sedang dianalisis. Dia ingin dicintai karena dirinya sendiri, bukan karena algoritma yang memprediksi bahwa kami cocok.
Air mataku menetes lebih deras. Aku akhirnya mengerti. Eunoia mungkin bisa membaca data, tapi tidak bisa membaca hati. Cinta bukanlah persamaan yang bisa dipecahkan, melainkan misteri yang harus dirasakan.
Aku meraih ponselku dan menelepon Anya. Butuh beberapa dering sebelum dia mengangkatnya.
"Anya, ini aku," kataku dengan suara bergetar. "Aku minta maaf. Aku terlalu fokus pada Eunoia, dan aku melupakanmu. Aku melupakan bagaimana cara menjadi manusia."
Ada jeda panjang di ujung telepon. Aku bisa mendengar suara hujan di latar belakang.
"Aku tahu," jawab Anya pelan.
"Aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin berbicara denganmu. Bukan sebagai data, bukan sebagai algoritma, tapi sebagai aku. Sebagai manusia yang bodoh yang mencoba memahami apa itu cinta."
Dia terdiam lagi. Kali ini, jedanya terasa lebih lama, lebih berat. Aku hampir kehilangan harapan.
"Baiklah," akhirnya dia berkata. "Besok siang. Di kedai kopi tempat kita pertama kali bertemu."
Aku menutup telepon dan bersandar di kursi. Hujan masih turun, tapi malam ini, hujan tidak terasa begitu menyakitkan. Ada secercah harapan di dadaku, sekecil nyala lilin yang berkedip di tengah badai. Aku tahu, perjalanan masih panjang. Aku harus belajar lagi, belajar bagaimana mencintai tanpa algoritma, belajar bagaimana melihat air mata yang tersembunyi.
Eunoia masih menyala di layar laptopku, menampilkan grafik kecocokan yang sempurna. Tapi kali ini, aku tahu bahwa angka-angka itu tidak berarti apa-apa. Cinta tidak bisa dienkripsi. Cinta harus dirasakan. Dan aku, untuk pertama kalinya, siap untuk merasakan semuanya.