Cinta Dalam Jaringan: Algoritma Menemukan, Hatikah yang Memilih?

Dipublikasikan pada: 15 Oct 2025 - 03:00:19 wib
Dibaca: 110 kali
Debu neon dari layar komputer menari di mata Anya, memantulkan warna biru yang sama dengan hatinya: dingin dan kesepian. Di usia 28, di mana teman-temannya sudah sibuk mengurus anak atau merencanakan pernikahan, Anya masih berkutat dengan kode dan algoritma. Pekerjaannya sebagai lead developer di "Soulmate.ai," sebuah aplikasi pencari jodoh revolusioner, menuntutnya untuk terus menyempurnakan sistem yang konon bisa menemukan pasangan ideal berdasarkan data dan preferensi. Ironis, bukan? Menciptakan cinta untuk orang lain, sementara dirinya sendiri terperangkap dalam labirin digital.

Aplikasi itu janjinya sederhana: masukkan data diri selengkap mungkin, jawab serangkaian pertanyaan mendalam tentang nilai-nilai, minat, dan harapan, lalu biarkan algoritma bekerja. Soulmate.ai akan menyajikan daftar kandidat dengan tingkat kecocokan yang tinggi. Dan sejauh ini, berdasarkan data internal perusahaan, hasilnya cukup memuaskan. Banyak pengguna yang menemukan kebahagiaan, bahkan sampai ke jenjang pernikahan.

Namun, Anya punya keraguan. Ia tahu betul bagaimana algoritma itu bekerja. Ia tahu bahwa semua “kecocokan” hanyalah hasil dari perhitungan matematis, sebuah probabilitas. Apakah cinta se-sederhana itu? Apakah hati bisa dikuantifikasi dan dianalisis?

Suatu malam, setelah menyelesaikan pembaruan besar pada algoritma Soulmate.ai, Anya merasa lelah dan frustrasi. Ia memutuskan untuk menguji aplikasinya sendiri. Awalnya, ia ragu. Rasanya konyol, menyerahkan urusan hati pada ciptaannya sendiri. Tapi rasa penasaran, dan mungkin sedikit putus asa, mendorongnya untuk mengisi profil dengan jujur. Sangat jujur. Ia mencantumkan ketidaksempurnaannya, keanehan-keanehannya, dan ketakutan-ketakutannya.

Setelah menyelesaikan prosesnya, ia menunggu dengan cemas. Layar berputar, memproses data. Akhirnya, muncul sebuah nama: "Dr. Adrian Surya."

Profil Adrian membuatnya tertarik. Seorang ahli astrofisika yang eksentrik, penyuka kopi pahit, dan penggila buku-buku klasik. Ia juga mencantumkan bahwa ia percaya pada keajaiban alam semesta dan kekuatan koneksi antar manusia. Anya merasa ada sesuatu yang beresonansi dengannya. Ia mengirimkan pesan sapaan.

Beberapa hari berikutnya, mereka saling bertukar pesan, kemudian beralih ke panggilan video. Anya terkejut menemukan bahwa ia merasa nyaman berbicara dengan Adrian, bahkan tentang hal-hal yang biasanya ia sembunyikan dari orang lain. Mereka tertawa, berdebat, dan saling belajar. Semakin Anya mengenal Adrian, semakin ia merasa jatuh hati.

Namun, di balik kebahagiaan itu, ada rasa bersalah yang menghantuinya. Ia tahu bahwa pertemuan mereka bukanlah kebetulan. Itu adalah hasil dari algoritma yang ia ciptakan sendiri. Apakah cintanya pada Adrian nyata, atau hanya hasil manipulasi data? Apakah ia jatuh cinta pada Adrian, atau pada gambaran ideal yang diproyeksikan oleh aplikasinya?

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam virtual, Anya tidak tahan lagi. Ia menceritakan segalanya pada Adrian. Ia mengaku bahwa ia adalah lead developer Soulmate.ai, dan bahwa mereka bertemu karena algoritma aplikasinya. Ia menunggu reaksinya dengan jantung berdebar.

Adrian terdiam sejenak. Ekspresinya sulit dibaca. Anya takut ia akan marah, merasa dibohongi, atau bahkan jijik.

Akhirnya, Adrian tersenyum. "Jadi, algoritmamu menganggap kita cocok?"

Anya mengangguk, merasa malu.

"Menarik," kata Adrian. "Aku selalu percaya pada kekuatan alam semesta untuk menyatukan orang-orang yang ditakdirkan untuk bersama. Mungkin algoritmamu hanyalah cara alam semesta bekerja di era digital."

"Tapi, itu kan cuma angka," bantah Anya. "Itu bukan cinta sejati."

Adrian menggelengkan kepalanya. "Anya, algoritma mungkin menemukan kita, tapi hatimu yang memilih. Algoritma mungkin menyajikan daftar kandidat, tapi kamu yang memutuskan untuk mengirim pesan. Kamu yang memutuskan untuk melanjutkan percakapan. Kamu yang memutuskan untuk jatuh cinta."

Kata-kata Adrian menghantam Anya seperti petir. Ia menyadari bahwa ia terlalu fokus pada algoritma, sehingga melupakan peran hatinya sendiri. Ia telah meragukan perasaannya, karena takut bahwa semuanya palsu. Padahal, algoritma hanyalah alat. Alat yang membantunya menemukan seseorang yang cocok dengannya, tetapi tidak bisa menentukan perasaannya.

Malam itu, Anya dan Adrian berbicara hingga larut malam. Mereka membahas ketakutan dan keraguan Anya, serta harapan dan impian mereka untuk masa depan. Anya merasa lega bisa jujur pada Adrian, dan ia merasa lebih dekat dengannya daripada sebelumnya.

Beberapa bulan kemudian, Anya dan Adrian memutuskan untuk bertemu langsung. Mereka menghabiskan waktu bersama di pegunungan, jauh dari keramaian kota dan gemerlap teknologi. Mereka berjalan-jalan di bawah bintang-bintang, berbicara tentang alam semesta dan cinta, dan saling memandang dengan tatapan yang penuh dengan harapan.

Saat Anya menatap mata Adrian, ia tahu bahwa cintanya padanya nyata. Itu bukan hanya hasil perhitungan matematis, tetapi juga hasil dari koneksi jiwa, keajaiban alam semesta, dan keberanian untuk membuka hati. Algoritma mungkin menemukan mereka, tetapi hati mereka yang memilih untuk bersama. Dan itulah yang terpenting.

Anya masih bekerja di Soulmate.ai, tetapi kini ia memiliki perspektif yang berbeda. Ia tidak lagi menganggap algoritma sebagai pengganti cinta sejati, tetapi sebagai alat yang bisa membantu orang menemukan jalan menuju kebahagiaan. Ia percaya bahwa cinta selalu memiliki ruang untuk keajaiban, bahkan di era digital. Dan ia tahu, dengan pasti, bahwa hatinya telah menemukan rumah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI