Senja itu, di kafe "Pixel & Cream," aroma kopi bercampur aroma kode. Maya mengetuk-ngetuk jarinya di meja, matanya terpaku pada layar laptop. Bukan mengerjakan laporan, melainkan menyempurnakan AI buatannya, "Amora." Amora bukan sembarang AI. Ia dirancang untuk membaca dan memahami emosi manusia, lalu menghubungkan dua jiwa yang cocok berdasarkan resonansi emosional itu.
Maya, seorang programmer jenius yang lebih nyaman berkencan dengan baris kode daripada manusia sungguhan, menciptakan Amora karena satu alasan sederhana: ia lelah sendirian. Bukan berarti ia anti sosial, hanya saja, ia merasa kesulitan memahami sinyal-sinyal halus dalam interaksi sosial. Baginya, cinta itu rumit, ambigu, dan penuh potensi kesalahan. Sementara algoritma, logis, terstruktur, dan bisa diprediksi.
“Hampir selesai,” gumamnya, menyesap latte vanilla. Kode-kode kompleks berputar di layar, menyusun jaringan saraf tiruan yang rumit. Amora bukan hanya sekadar mencocokkan data seperti aplikasi kencan biasa. Ia menganalisis pola bicara, ekspresi wajah (melalui webcam), bahkan intonasi suara untuk memahami emosi tersembunyi.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, akhirnya Amora siap diuji coba. Dengan ragu-ragu, Maya memasukkan data dirinya. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di layar, dari preferensi film hingga pandangan tentang kehidupan. Amora juga meminta akses ke akun media sosialnya, untuk menganalisis pola interaksinya dengan orang lain.
Beberapa menit kemudian, hasilnya muncul. “Potensi kecocokan tertinggi: Aksel.”
Maya mengerutkan kening. Aksel? Nama itu tidak asing. Ia ingat seorang pria dengan rambut berantakan dan senyum menawan yang sering menghabiskan waktu di perpustakaan kampus. Mereka pernah beberapa kali bertabrakan, secara harfiah, menjatuhkan buku-buku dari tangan masing-masing. Maya selalu merasa gugup di dekat Aksel, jantungnya berdebar kencang setiap kali mata mereka bertemu. Namun, ia selalu menganggap itu hanya reaksi fisiologis biasa.
“Tidak mungkin,” bisiknya. “Aksel terlalu…normal. Aku terlalu…kode.”
Rasa ingin tahu mengalahkannya. Ia mencari profil Aksel di media sosial. Foto-foto Aksel terpampang di sana: tersenyum lebar saat mendaki gunung, bermain gitar di taman, tertawa bersama teman-temannya. Aksel tampak hidup dan bahagia. Maya, di sisi lain, lebih banyak menghabiskan waktunya di depan layar komputer.
Amora benar-benar gila.
Namun, ada sesuatu dalam diri Maya yang tertarik. Mungkin inilah kesempatan untuk keluar dari zona nyaman. Mungkin, hanya mungkin, Amora tahu sesuatu yang tidak ia ketahui.
Dengan berat hati, Maya mengirimkan pesan kepada Aksel melalui aplikasi chat. “Hai, Aksel. Ini Maya, yang sering menjatuhkan buku di perpustakaan. Apa kabarmu?”
Beberapa menit terasa seperti berjam-jam. Jantung Maya berdebar kencang. Ia menyesali keputusannya. Ini pasti ide yang buruk.
Tiba-tiba, teleponnya berdering. Nama Aksel terpampang di layar. Dengan gugup, Maya menjawab panggilan itu.
“Maya? Astaga, aku tidak menyangka kamu akan menghubungiku! Aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu? Masih suka menjatuhkan buku?” suara Aksel terdengar hangat dan ramah.
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka membicarakan hobi, minat, dan mimpi masing-masing. Maya terkejut betapa mudahnya ia berbicara dengan Aksel. Aksel mendengarkan dengan penuh perhatian, tertawa pada leluconnya, dan memberikan komentar yang cerdas.
Setelah satu jam berlalu, Aksel berkata, “Maya, aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku selalu ingin mengajakmu minum kopi. Apa kamu punya waktu akhir pekan ini?”
Maya terdiam. Amora benar. Algoritma itu benar.
“Ya,” jawabnya pelan. “Aku mau.”
Kencan mereka di akhir pekan ternyata luar biasa. Aksel ternyata bukan hanya pria tampan yang hidup dan bahagia. Ia juga cerdas, lucu, dan memiliki pandangan yang sama tentang banyak hal dengan Maya. Mereka berbicara tentang teknologi, seni, dan bahkan tentang Amora, AI buatan Maya.
“Itu keren sekali!” kata Aksel, matanya berbinar. “Jadi, aku dan kamu dijodohkan oleh algoritma? Lucu sekali!”
Maya tertawa. Ia merasa nyaman dan bahagia di dekat Aksel. Ia tidak lagi merasa gugup atau canggung. Ia merasa…diterima.
Namun, di lubuk hatinya, Maya masih ragu. Apakah ini cinta sejati, atau hanya hasil perhitungan algoritma? Apakah Aksel menyukainya karena ia memang menyukainya, atau karena Amora mengatakan bahwa mereka cocok?
Keraguan itu menghantuinya. Ia memutuskan untuk melakukan percobaan. Ia mengubah beberapa parameter dalam kode Amora, membuat algoritma itu menganalisis ulang data mereka. Kali ini, hasilnya berbeda.
“Potensi kecocokan tertinggi: Tidak ada.”
Amora mengatakan bahwa mereka tidak cocok.
Maya merasa hancur. Apakah semua ini hanya ilusi? Apakah cinta yang ia rasakan palsu?
Ia memutuskan untuk menemui Aksel dan menceritakan semuanya. Ia ingin tahu apa yang Aksel rasakan.
“Aksel,” kata Maya, dengan suara bergetar. “Aku harus mengakui sesuatu. Aku membuat AI yang menghubungkan orang berdasarkan emosi. AI itu yang merekomendasikanmu padaku. Aku mengubah beberapa parameternya, dan sekarang AI itu bilang kita tidak cocok.”
Aksel menatap Maya dengan ekspresi bingung. Kemudian, ia tertawa.
“Maya, kamu ini lucu sekali. Jadi, kamu khawatir aku menyukaimu karena algoritma? Kamu pikir perasaanku bisa diprediksi oleh baris kode?”
Maya menunduk malu.
Aksel mengangkat dagunya dan menatapnya dengan lembut. “Maya, aku menyukaimu bukan karena AI. Aku menyukaimu karena kamu itu kamu. Kamu cerdas, unik, dan sedikit aneh. Aku suka cara kamu melihat dunia. Aku suka cara kamu bersemangat tentang teknologi. Aku suka caramu menjatuhkan buku di perpustakaan.”
Air mata mengalir di pipi Maya. Ia memeluk Aksel erat-erat.
“Aku juga menyukaimu,” bisiknya. “Bukan karena algoritma, tapi karena kamu.”
Saat itu, Maya menyadari sesuatu yang penting. Amora mungkin bisa membaca emosi, tapi Amora tidak bisa menciptakan emosi. Cinta sejati tidak bisa diprediksi atau dikendalikan oleh algoritma. Cinta sejati adalah tentang koneksi manusiawi, tentang menerima dan dicintai apa adanya, dengan semua kelebihan dan kekurangan.
Malam itu, di kafe "Pixel & Cream," Maya kembali ke laptopnya. Ia tidak lagi menyempurnakan Amora. Ia mulai menulis kode baru. Kode yang tidak mencoba membaca isi hati, tetapi kode yang membantu orang untuk terhubung, berbagi, dan mencintai. Karena pada akhirnya, yang terpenting bukanlah algoritma, melainkan manusia.