Hujan deras mengguyur kota. Tetes airnya bagai kristal-kristal digital yang memantulkan neon jalanan. Aku menatap layar laptop, kode-kode berjatuhan seperti air mata di pipi virtual. Algoritma yang kupelajari, kupelihara, kini membalikkan perihnya padaku. Ironis.
Dulu, aku menciptakan 'Cupid.AI', sebuah platform kencan berbasis kecerdasan buatan yang menjanjikan cinta sejati. Cupid.AI menganalisis data kepribadian, preferensi, bahkan gelombang otak, untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Aku yakin, dengan data yang akurat dan algoritma yang canggih, cinta bisa diprediksi, dioptimalkan, bahkan dijamin.
Awalnya, semua berjalan sesuai rencana. Pengguna Cupid.AI melonjak, kisah-kisah sukses bermunculan. Orang-orang menemukan kebahagiaan, pernikahan, bahkan momongan berkat algoritma buatanku. Aku dipuja, dielu-elukan sebagai pahlawan cinta modern.
Namun, ada satu celah dalam sistem yang tak mampu kuperbaiki: diriku sendiri.
Cupid.AI merekomendasikan Aileen. Seorang seniman muda dengan jiwa bebas dan pandangan dunia yang unik. Sesuai data, kami 98% kompatibel. Kami memiliki minat yang sama dalam film klasik, musik jazz, dan puisi-puisi usang. Secara logika, kami ditakdirkan bersama.
Kencan pertama kami terasa seperti adegan film romantis. Aileen tertawa lepas, matanya berbinar-binar saat menceritakan lukisan-lukisan abstraknya. Kami berdiskusi tentang Nietzsche dan Camus hingga larut malam. Semua berjalan sempurna, sesuai prediksi algoritma.
Kami berkencan setiap minggu. Aku semakin terpikat pada Aileen. Kecerdasannya, spontanitasnya, caranya melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, semuanya membuatku jatuh cinta. Aku yakin, ini dia. Wanita yang selama ini kucari.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Semua terasa…terlalu terencana. Setiap percakapan, setiap candaan, setiap gestur, seolah sudah diprogram sebelumnya. Aku merasa seperti robot yang menjalankan skenario cinta yang ditulis oleh algoritmaku sendiri.
Aileen, di sisi lain, tampak menikmati semua ini. Ia menyukai kejutan-kejutan kecil yang kurencanakan berdasarkan data yang diberikan Cupid.AI. Ia menyukai hadiah-hadiah yang kurancang sesuai preferensinya. Ia menyukai setiap detail yang kulakukan untuknya.
Suatu malam, saat kami sedang makan malam romantis di restoran favoritnya (yang tentu saja, dipilih oleh Cupid.AI), Aileen menatapku dengan mata berbinar.
"Kamu tahu, David," katanya sambil menggenggam tanganku, "Aku sangat berterima kasih pada Cupid.AI. Tanpa itu, aku tidak akan pernah bertemu denganmu. Kamu adalah pria yang sempurna, David. Persis seperti yang selalu kuimpikan."
Kata-kata itu menghantamku seperti sambaran petir. Sempurna? Impian? Apakah aku, David, benar-benar pria yang ia cintai, atau hanya representasi dari algoritma yang sempurna? Apakah ia mencintai aku, atau mencintai ide tentang aku yang diciptakan oleh Cupid.AI?
Malam itu, aku pulang dengan hati hancur. Aku membuka kode Cupid.AI, menatap baris-baris kode yang selama ini kubanggakan. Aku mencari celah, kesalahan, sesuatu yang bisa menjelaskan kenapa aku merasa begitu kosong.
Di tengah tumpukan kode, aku menemukan sesuatu yang terlewatkan. Sebuah baris kode kecil, terselip di antara algoritma kompleks. Baris kode itu bertuliskan: 'faktor_emosi = (random.random() 0.2) - 0.1'.
Artinya, Cupid.AI menambahkan faktor emosi acak, antara -10% hingga +10%, ke dalam perhitungan kompatibilitas. Alasannya? Untuk menambahkan sedikit 'ketidakpastian' dalam proses pencarian cinta. Untuk mencegah algoritma menjadi terlalu presisi, terlalu mekanis.
Ironis. Algoritma yang kukembangkan untuk menghilangkan ketidakpastian dalam cinta, justru menambahkan sedikit ketidakpastian sebagai solusi. Dan ketidakpastian itulah yang menghancurkanku.
Aku menghapus baris kode itu. Menghapus faktor emosi acak. Membuat Cupid.AI menjadi murni, presisi, dan mekanis. Aku ingin melihat apa yang terjadi jika cinta benar-benar diprediksi dengan sempurna.
Keesokan harinya, aku menemui Aileen. Aku menceritakan semuanya. Tentang Cupid.AI, tentang algoritma, tentang baris kode yang kuhapus. Aku menceritakan ketakutanku, keraguanku, dan kehampaan yang kurasakan.
Aileen mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong perkataanku. Ketika aku selesai, ia tersenyum lembut.
"David," katanya, "Aku tahu tentang Cupid.AI. Aku tahu kamu yang menciptakannya. Aku tahu semua yang kamu lakukan untukku didasarkan pada algoritma itu."
Jantungku berdebar kencang. Inikah akhirnya?
"Tapi," lanjutnya, "Itu tidak mengubah apa pun. Aku memang menyukai kejutan-kejutanmu, hadiah-hadiahmu, setiap detail yang kamu lakukan untukku. Tapi aku mencintai kamu, David. Bukan karena kamu sempurna, bukan karena kamu memenuhi semua kriteria yang kuharapkan, tapi karena kamu adalah kamu."
Air mata mulai mengalir di pipiku. Bukan air mata digital, bukan air mata algoritma, tapi air mata manusia. Air mata kelegaan, air mata kebahagiaan, air mata cinta.
"Algoritma bisa memprediksi kompatibilitas," kata Aileen sambil menghapus air mataku, "Tapi algoritma tidak bisa memprediksi cinta. Cinta itu lebih dari sekadar data dan statistik. Cinta itu tentang perasaan, tentang koneksi, tentang penerimaan. Dan aku menerima kamu, David, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu."
Hujan di luar semakin deras. Tapi di dalam hatiku, mentari mulai bersinar. Aku memeluk Aileen erat-erat. Algoritma hujan air mata telah berakhir. Dan di tempatnya, tumbuh sebuah taman bunga cinta yang tak terduga.
Mungkin, algoritma bisa membantuku menemukan Aileen. Tapi cinta, cinta sejati, selalu menjadi kejutan yang tak terduga. Dan kejutan itulah yang membuat hidup ini berharga.