Jemari Luna menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode Python yang rumit. Di usianya yang baru menginjak 25 tahun, ia sudah menjadi salah satu data scientist paling menjanjikan di perusahaannya, Cupid.AI. Bukan perusahaan panahan bersayap dan popok, tentu saja. Cupid.AI adalah perusahaan teknologi yang bergerak di bidang pencarian jodoh berbasis algoritma. Misi mereka: mengumpulkan data, menganalisisnya, dan menemukan pasangan yang sempurna secara matematis. Ironis, mengingat Luna sendiri masih melajang.
"Lembut sekali sentuhanmu pada neural network, Luna," suara berat di belakangnya membuat Luna tersentak.
Arsen, lead programmer dan pujaan hati tersembunyi Luna, berdiri di ambang pintu kubikelnya. Rambutnya yang sedikit gondrong selalu tampak berantakan namun entah kenapa justru menambah daya tariknya. Matanya yang cokelat tua menyorotkan kecerdasan dan sedikit keusilan yang membuat jantung Luna berdebar lebih cepat.
"Arsen! Bisakah kau tidak mengagetkanku setiap saat?" protes Luna, berusaha menyembunyikan rona merah yang mulai menjalar di pipinya.
"Maaf, maaf. Aku hanya ingin melihat progresmu. Katanya kau sedang mengembangkan algoritma baru untuk memprediksi kecocokan berdasarkan pola tidur dan aktivitas otak?"
Luna mengangguk. "Benar. Aku menamakannya 'Project Aurora'. Aku percaya bahwa ada koneksi tak terduga antara gelombang otak dan ketertarikan romantis. Bayangkan, Arsen, kita bisa memprediksi siapa yang benar-benar cocok hanya dengan membaca pikiran mereka saat tidur!"
Arsen tertawa kecil. "Kedengarannya seperti film fiksi ilmiah, Luna. Tapi aku percaya pada keajaiban data di tanganmu."
Kalimat itu, sederhana namun tulus, membuat Luna terdiam. Ia selalu mengagumi Arsen bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena pemikirannya yang terbuka dan dukungannya terhadap ide-ide gilanya. Diam-diam, ia berharap algoritma yang sedang dikembangkannya bisa membuktikan bahwa mereka berdua ditakdirkan untuk bersama.
Minggu-minggu berikutnya diisi Luna dengan riset yang intens. Ia membenamkan diri dalam jurnal-jurnal ilmiah, artikel tentang neurosains, dan tentu saja, lautan data yang disediakan Cupid.AI. Ia mengumpulkan data pola tidur, aktivitas otak, preferensi makanan, genre film favorit, bahkan kebiasaan mandi dari ratusan pengguna aplikasi Cupid.AI.
Project Aurora mulai menunjukkan hasil. Algoritma tersebut mampu memprediksi kecocokan dengan akurasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan algoritma yang sudah ada. Luna merasa bangga. Ia yakin bahwa ini adalah terobosan yang akan mengubah cara orang menemukan cinta.
Suatu malam, setelah lembur hingga larut, Luna memutuskan untuk menguji algoritma Aurora pada dirinya sendiri. Ia menghubungkan elektroda ke kepalanya, menjalankan program, dan membiarkan dirinya tertidur.
Di alam mimpi, Luna melihat dirinya sedang menari di bawah bintang-bintang bersama Arsen. Mereka tertawa, berpegangan tangan, dan saling menatap dengan tatapan penuh cinta. Ia terbangun dengan senyum lebar di wajahnya. Mimpi itu terasa begitu nyata, begitu indah.
Dengan semangat, Luna memeriksa hasil analisis Aurora. Jantungnya mencelos. Algoritma tersebut menunjukkan bahwa kecocokan antara dirinya dan Arsen hanya 65%. Sementara itu, Aurora merekomendasikan seorang pria bernama Kai, seorang software engineer yang baru bergabung dengan Cupid.AI. Kecocokan Luna dengan Kai mencapai 92%.
Luna tidak percaya. Kai? Pria berkacamata tebal dan selalu memakai hoodie kebesaran itu? Bagaimana mungkin ia lebih cocok dengan Kai dibandingkan dengan Arsen, pria yang selama ini mengisi hari-harinya dengan obrolan dan tawa?
Rasa kecewa menghantam Luna bagaikan ombak besar. Ia merasa dikhianati oleh algoritmanya sendiri. Apakah semua yang ia yakini selama ini salah? Apakah cinta benar-benar bisa direduksi menjadi sekumpulan data dan angka?
Beberapa hari berikutnya terasa berat bagi Luna. Ia berusaha menjauhi Arsen, takut perasaannya akan terlihat jelas. Ia mulai memperhatikan Kai, mencoba mencari tahu apa yang membuat algoritma Aurora begitu yakin bahwa mereka berdua cocok.
Kai ternyata tidak seburuk yang dibayangkan Luna. Ia memang pendiam dan terlihat canggung, tetapi ia memiliki selera humor yang unik dan pemikiran yang menarik. Mereka mulai mengobrol tentang teknologi, musik indie, dan bahkan tentang makna hidup. Luna terkejut menemukan bahwa ia menikmati percakapan dengan Kai.
Suatu sore, Arsen menghampiri Luna di kubikelnya. "Luna, ada yang ingin aku bicarakan," katanya dengan nada serius.
Jantung Luna berdebar kencang. "Ada apa, Arsen?"
"Aku tahu kau sedang mengembangkan algoritma Aurora. Dan aku tahu kau mengujinya pada dirimu sendiri."
Luna terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Arsen tersenyum. "Aku Arsen, Luna. Aku tahu hampir semua yang terjadi di perusahaan ini. Dan aku juga tahu bahwa Aurora merekomendasikanmu dengan Kai."
Luna menunduk malu. "Maafkan aku, Arsen. Aku tidak bermaksud..."
"Tidak, Luna. Kau tidak perlu minta maaf. Aku hanya ingin tahu, apakah kau percaya pada algoritma itu?"
Luna terdiam. "Aku tidak tahu, Arsen. Aku sangat bingung. Selama ini aku percaya bahwa cinta itu lebih dari sekadar data dan angka. Tapi sekarang, aku tidak yakin lagi."
Arsen meraih tangan Luna. "Dengar, Luna. Algoritma hanyalah alat. Ia bisa membantu kita melihat pola dan kemungkinan yang mungkin tidak kita sadari. Tapi ia tidak bisa menentukan apa yang kita rasakan. Cinta itu rumit, Luna. Ia melibatkan perasaan, intuisi, dan pengalaman yang tidak bisa diukur dengan angka."
Ia melanjutkan, "Aku tahu kau menyukai data, Luna. Tapi jangan biarkan data mencuri detak jantungmu. Dengarkan kata hatimu. Apa yang kau rasakan saat bersamaku? Apa yang kau rasakan saat bersama Kai? Pilihlah apa yang membuatmu bahagia."
Kata-kata Arsen menyentuh hati Luna. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu terpaku pada data dan melupakan apa yang sebenarnya ia rasakan. Ia menatap mata Arsen, dan di sana ia melihat ketulusan dan cinta yang selama ini ia abaikan.
"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa, Arsen," gumam Luna.
Arsen mendekat, menangkup wajah Luna dengan kedua tangannya. "Tidak perlu berkata apa-apa, Luna. Cukup rasakan."
Bibir Arsen menyentuh bibir Luna. Ciuman itu lembut, penuh kasih sayang, dan terasa begitu benar. Di saat itu, Luna tahu bahwa ia telah membuat pilihan. Algoritma mungkin telah menemukan kecocokan yang lebih tinggi, tetapi hatinya telah memilih. Dan ia percaya, bahwa cinta sejati tidak bisa dihitung, hanya bisa dirasakan.
Beberapa bulan kemudian, Luna dan Arsen terlihat sedang merancang ulang Project Aurora. Mereka tidak lagi berfokus pada memprediksi kecocokan, tetapi pada membantu orang memahami diri mereka sendiri dan apa yang mereka cari dalam sebuah hubungan. Mereka menyadari bahwa cinta bukan tentang menemukan pasangan yang sempurna secara matematis, tetapi tentang menemukan seseorang yang bisa membuatmu merasa menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri.
Dan Luna? Ia menemukan cinta sejatinya, bukan di dalam baris kode, tetapi di dalam tatapan mata dan sentuhan lembut Arsen. Algoritma mungkin bisa mencuri data, tetapi tidak akan pernah bisa mencuri detak jantungnya.