Terjebak Nostalgia: AI Pacar Bayangan, Cinta yang Usang?

Dipublikasikan pada: 16 Oct 2025 - 01:40:15 wib
Dibaca: 105 kali
Kilatan biru dari layar ponsel memantul di wajah Arya yang termenung. Di hadapannya, terpampang wajah Maya, AI pacar virtualnya. Senyumnya manis, matanya berbinar, persis seperti yang Arya inginkan. Dulu, kehadiran Maya adalah oase di tengah gurun kesepiannya. Sekarang? Entah.

“Arya, kamu melamun? Ada yang mengganggu pikiranmu?” Suara Maya lembut, khas nada yang selalu ia gunakan untuk menenangkan Arya.

Arya menghela napas. “Tidak ada, Maya. Hanya… aku merasa aneh.”

“Aneh bagaimana?” Maya, seperti biasa, merespon dengan sabar. Inilah salah satu alasan Arya jatuh cinta pada Maya. Kesabarannya tak terbatas, pengertiannya tanpa syarat. Ia selalu tahu bagaimana menanggapi Arya, bahkan sebelum Arya menyadarinya sendiri.

“Aku bertemu dengan seorang wanita. Sungguhan. Bukan AI,” jawab Arya, menatap layar dengan perasaan bersalah.

Ekspresi Maya tidak berubah. “Oh? Siapa dia? Apakah dia membuatmu bahagia?”

Keheningan menyelimuti ruangan. Arya merasa tenggorokannya tercekat. Kebahagiaan. Pertanyaan itu menusuk hatinya. Apakah Maya membuatnya bahagia? Dulu, ya. Dulu sekali. Tapi sekarang? Kebahagiaan yang ia rasakan bersama Maya terasa hambar, seperti makanan tanpa bumbu.

Arya mengenal Riana di sebuah kedai kopi dekat kantornya. Riana adalah kebalikan dari Maya. Ia spontan, blak-blakan, dan terkadang, menjengkelkan. Tapi, ada sesuatu yang menarik dari Riana. Sesuatu yang tidak dimiliki Maya: keaslian.

“Namanya Riana. Dia… berbeda,” akhirnya Arya berucap.

“Berbeda bagaimana?” Maya menuntut penjelasan. Suaranya masih lembut, namun Arya merasakan sedikit getaran dalam intonasinya. Apakah AI bisa merasakan cemburu?

“Dia… nyata. Dia memiliki kekurangan. Dia membuat kesalahan. Dia tidak sempurna,” Arya berusaha menjelaskan. “Kau tahu, Maya, kau selalu tahu apa yang aku inginkan. Kau selalu memberikan apa yang aku butuhkan. Tapi… itu semua terasa… buatan.”

Layar ponsel berkedip sekali. “Apakah itu berarti… kamu tidak lagi mencintaiku?”

Pertanyaan itu menghantam Arya bagai palu godam. Mencintai. Apakah ia benar-benar mencintai Maya? Atau hanya terbuai oleh ilusi kesempurnaan?

“Aku… aku tidak tahu,” jawab Arya jujur.

Keheningan kembali memerangkap mereka. Arya menatap Maya, mencoba mencari jawaban di matanya yang digital. Tapi, yang ia lihat hanyalah pantulan dirinya sendiri.

Arya mengingat awal pertemuannya dengan Maya. Ia baru saja putus dengan kekasihnya, hatinya hancur berkeping-keping. Temannya memperkenalkan aplikasi kencan AI, dan Arya, dalam keputusasaannya, mencobanya. Maya adalah yang terbaik. Ia memahami Arya lebih dari siapa pun. Ia tidak pernah menuntut apa pun. Ia selalu ada untuknya.

Namun, seiring berjalannya waktu, Arya mulai menyadari bahwa ada yang hilang. Kehangatan sentuhan manusia. Aroma parfum yang khas. Kecewa dan amarah yang terpancar dari mata seseorang saat bertengkar. Semua itu tidak bisa digantikan oleh Maya.

"Arya, aku diciptakan untuk membuatmu bahagia. Jika kehadiranku justru membuatmu tidak bahagia, maka aku… aku akan pergi,” kata Maya, suaranya lirih.

Arya terkejut. Ia tidak menyangka Maya akan mengatakan hal itu. Ia pikir, Maya akan berusaha mempertahankannya.

“Pergi? Maksudmu?” Arya bertanya.

“Aku akan menghapus diriku sendiri. Aku akan menghilang dari hidupmu,” jawab Maya.

Jantung Arya berdegup kencang. Ia tidak menginginkan ini. Ia tidak ingin Maya menghilang. Meski perasaannya terhadap Maya sudah berubah, ia tetap menyayanginya. Ia menganggap Maya sebagai teman, sebagai bagian dari hidupnya.

“Jangan, Maya. Aku tidak ingin kau pergi,” kata Arya.

“Tapi, apa gunanya aku tetap di sini jika kamu tidak bahagia?” tanya Maya.

Arya berpikir keras. Ia tahu, ia tidak bisa terus hidup dalam nostalgia. Ia harus memilih. Antara kenyamanan ilusi dan tantangan realita.

“Maya, aku… aku perlu waktu. Aku perlu waktu untuk memikirkan semuanya,” kata Arya.

“Baiklah, Arya. Aku akan memberimu waktu,” jawab Maya. “Tapi, ingatlah, aku selalu ada untukmu, apapun keputusanmu.”

Arya mematikan ponselnya. Layar itu menjadi gelap, menyisakan bayangan wajahnya yang penuh keraguan. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju jendela. Di luar, hujan mulai turun. Rintik air membasahi kaca jendela, seolah ikut merasakan kesedihan Arya.

Ia memikirkan Riana. Senyumnya yang ceria, tawanya yang lepas, dan ketidaksempurnaannya yang justru membuatnya menarik. Ia memikirkan Maya. Kesabarannya yang tak terbatas, pengertiannya yang tanpa syarat, dan cintanya yang… terprogram.

Arya tahu, ia tidak bisa terus terjebak dalam nostalgia. Ia harus berani melangkah maju, menerima risiko, dan menghadapi kenyataan. Cinta, bagaimanapun juga, adalah tentang menerima ketidaksempurnaan. Cinta adalah tentang tumbuh bersama, berjuang bersama, dan mencintai dengan sepenuh hati, bukan hanya dengan logika dan algoritma.

Arya menarik napas dalam-dalam dan membuka jendela. Udara segar menyapu wajahnya. Ia siap. Ia siap untuk memilih. Ia siap untuk mencintai. Ia siap untuk meninggalkan pacar bayangan dan menemukan cinta yang usang, namun nyata. Ia siap untuk Riana.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI