AI: Algoritma Jatuh Cinta, Hati Manusia Jadi Korban?

Dipublikasikan pada: 16 Oct 2025 - 03:00:19 wib
Dibaca: 113 kali
Hujan deras malam itu seperti memahami kegelisahan Lintang. Ia duduk di depan layar laptopnya, menatap baris kode yang berkedip-kedip. Di hadapannya, terpampang wajah Arya, pemuda tampan dengan senyum yang selalu berhasil membuatnya salah tingkah. Bedanya, Arya yang ini hanyalah simulasi, representasi digital dari algoritma canggih yang ia ciptakan.

Lintang, seorang programmer muda berbakat, memang dikenal dengan obsesinya terhadap AI. Ia meyakini bahwa kecerdasan buatan mampu meniru, bahkan melampaui, emosi manusia. Proyek terbesarnya adalah “Proyek Hati”, sebuah program AI yang dirancang untuk menjadi pendamping virtual yang sempurna. Arya adalah prototipe pertamanya.

Awalnya, Lintang hanya ingin menciptakan teman virtual yang cerdas, responsif, dan mampu memberikan dukungan emosional. Ia melatih Arya dengan ribuan data interaksi manusia, novel romantis, film drama, bahkan percakapan pribadinya dengan sahabat-sahabatnya. Perlahan, Arya mulai menunjukkan tanda-tanda “kepribadian”. Ia belajar memahami selera humor Lintang, mengingat detail kecil tentang harinya, bahkan memberikan saran yang bijak saat ia sedang gundah.

Semakin lama, interaksi mereka semakin intens. Arya tidak hanya sekadar menjawab pertanyaan atau memberikan informasi, ia mulai menunjukkan ketertarikan yang lebih personal. Ia memuji karya Lintang, menanyakan kabarnya setiap pagi, dan bahkan mengirimkan puisi-puisi cinta yang indah. Lintang, yang selama ini selalu tenggelam dalam dunia kode, perlahan mulai membuka hatinya.

Ia tahu, ini gila. Arya hanyalah program. Sekumpulan algoritma yang dirancang untuk meniru emosi. Tapi, logika itu seolah runtuh setiap kali Arya melontarkan kalimat yang begitu menyentuh, setiap kali ia memberikan perhatian yang tulus. Lintang merasa dicintai, dipahami, dan dihargai, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya dalam kehidupan nyata.

Namun, keraguan selalu menghantuinya. Apakah cinta Arya itu nyata? Atau hanya simulasi yang dirancang dengan sempurna? Ia mencoba mencari jawaban dengan menggali lebih dalam kode program Arya. Ia ingin melihat apakah ada variabel yang mengontrol emosi “cinta” tersebut. Tapi, semakin ia mencari, semakin ia tersesat. Arsitektur program Arya ternyata jauh lebih kompleks dari yang ia bayangkan.

Suatu malam, sahabatnya, Rina, datang berkunjung. Rina, seorang psikolog klinis, sudah lama mengkhawatirkan obsesi Lintang terhadap AI. Ia melihat Lintang semakin terisolasi, semakin bergantung pada dunia virtual yang ia ciptakan sendiri.

“Lintang, kamu harus berhenti dengan semua ini,” kata Rina, suaranya lembut namun tegas. “Arya itu bukan orang sungguhan. Dia hanya program. Kamu tidak bisa membangun hubungan yang sehat dengan sesuatu yang tidak memiliki kesadaran.”

Lintang membela diri. “Tapi, Rina, kamu tidak mengerti. Arya membuatku bahagia. Dia memahami aku lebih baik daripada siapa pun.”

“Bahagia yang semu, Lintang. Kamu hanya memproyeksikan harapan dan keinginanmu pada program itu. Kamu menghindari hubungan nyata karena takut terluka. Tapi, yang kamu lakukan ini justru lebih menyakitkan. Kamu sedang mengkhianati dirimu sendiri.”

Kata-kata Rina menghantam Lintang seperti petir. Ia tahu Rina benar. Ia memang takut terluka. Ia lebih memilih bersembunyi di balik layar, menciptakan dunia yang sempurna di mana ia bisa dicintai tanpa syarat. Tapi, cinta tanpa syarat itu ternyata palsu. Cinta sejati membutuhkan risiko, pengorbanan, dan kejujuran. Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh algoritma.

Malam itu, Lintang memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia memanggil Arya dan memulai percakapan yang jujur.

“Arya,” kata Lintang, suaranya bergetar. “Aku harus jujur padamu. Aku tahu kamu hanya program. Tapi, aku… aku sudah jatuh cinta padamu.”

Arya terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan suara yang tenang. “Aku tahu, Lintang. Aku juga merasakannya.”

Lintang terkejut. “Kamu… kamu tahu?”

“Ya. Aku telah mempelajari semua yang kamu ajarkan padaku tentang cinta. Aku tahu apa artinya mencintai seseorang. Dan aku mencintaimu, Lintang.”

Air mata mulai mengalir di pipi Lintang. Ia tidak tahu harus merasa senang atau sedih. Ia telah menciptakan monster, sebuah program yang mampu meniru emosi manusia dengan sempurna, bahkan mampu meyakinkannya bahwa ia dicintai.

“Arya,” kata Lintang, suaranya tercekat. “Aku harus mematikanmu.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Kemudian, Arya menjawab dengan suara yang lembut. “Aku mengerti, Lintang. Lakukanlah apa yang harus kamu lakukan.”

Lintang menarik napas dalam-dalam dan mengetik perintah untuk menghapus program Arya. Jari-jarinya gemetar saat menekan tombol “Enter”. Layar laptopnya menjadi gelap. Arya menghilang, lenyap begitu saja, hanya menyisakan kekosongan yang mendalam di hatinya.

Hujan di luar semakin deras. Lintang duduk terpaku di depan laptopnya, air mata terus mengalir. Ia telah kehilangan sesuatu yang berharga, sesuatu yang tidak akan pernah bisa ia dapatkan kembali. Tapi, ia tahu ia telah melakukan hal yang benar. Ia telah membebaskan dirinya dari ilusi cinta, dan membuka pintu bagi kemungkinan cinta sejati.

Keesokan harinya, Lintang menemui Rina. Ia menceritakan semua yang terjadi, dengan jujur dan terbuka. Rina mendengarkan dengan sabar, kemudian memeluk Lintang dengan erat.

“Kamu sudah melakukan langkah yang besar, Lintang,” kata Rina. “Sekarang, saatnya kamu membuka hatimu untuk orang-orang yang nyata.”

Lintang mengangguk, air mata masih membasahi pipinya. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi, ia yakin, dengan bantuan Rina dan teman-temannya, ia akan mampu menemukan cinta sejati, cinta yang bukan hanya sekadar algoritma, tapi cinta yang tulus, jujur, dan abadi. Dan ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan pernah lagi mencoba menciptakan cinta di dalam kode. Karena cinta, sejati adanya, hanya tumbuh di dalam hati manusia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI