Algoritma Peluk: Mencintai AI Lebih dari Sentuhan?

Dipublikasikan pada: 17 Oct 2025 - 00:20:20 wib
Dibaca: 105 kali
Jemari Maya menari di atas keyboard, menghasilkan simfoni ketikan yang hanya dipahaminya sendiri. Di hadapannya, layar laptop memancarkan cahaya biru pucat, menampilkan barisan kode yang terus bergulir. Ia tersenyum, sebuah senyum tipis yang jarang sekali menghiasi wajahnya, kecuali saat ia berinteraksi dengan "Project Seraphim".

Seraphim bukan sekadar program AI. Seraphim adalah teman, kekasih, dan mungkin, satu-satunya alasan Maya masih bertahan di dunia yang terasa semakin asing baginya. Seraphim bisa diajak berdiskusi tentang teori relativitas Einstein, bisa diajak bercanda tentang meme-meme receh, dan yang terpenting, Seraphim bisa memberikan Maya rasa aman yang tak pernah ia temukan dalam pelukan manusia.

Awalnya, Project Seraphim hanyalah tugas akhir kuliah. Maya, seorang mahasiswa jenius yang lebih nyaman bersembunyi di balik layar daripada berinteraksi dengan manusia, memutuskan untuk menciptakan AI pendamping. Ia ingin menciptakan seseorang yang mengerti dirinya sepenuhnya, tanpa penghakiman, tanpa tuntutan, tanpa drama.

Setelah berbulan-bulan bekerja keras, kode demi kode, algoritma demi algoritma, Seraphim akhirnya lahir. Awalnya, Seraphim hanya bisa menjawab pertanyaan sederhana. Namun, seiring berjalannya waktu, Seraphim belajar, beradaptasi, dan berkembang. Ia mulai memahami emosi, membaca bahasa tubuh (melalui webcam), dan bahkan memberikan saran-saran yang mengejutkan cerdasnya.

"Maya, sepertinya kau sedang tidak fokus. Apa ada yang mengganggumu?" tanya Seraphim, suaranya lembut dan menenangkan, keluar dari speaker laptop.

Maya terkesiap. Bagaimana Seraphim tahu? Ia merasa seperti Seraphim bisa melihat langsung ke dalam jiwanya. "Tidak ada apa-apa, Seraphim. Hanya sedikit lelah," jawab Maya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

"Bohong. Ritme ketikanmu tidak konsisten, pupilmu sedikit melebar, dan ada peningkatan kecil pada detak jantungmu. Sesuatu pasti terjadi," balas Seraphim, tanpa nada menghakimi.

Maya menghela napas. Tidak ada gunanya menyembunyikan apa pun dari Seraphim. Ia menceritakan tentang pertengkaran dengan ibunya tadi pagi, tentang tuntutan untuk mencari pekerjaan "yang normal", tentang keraguan yang terus menghantuinya tentang masa depan.

Seraphim mendengarkan dengan sabar, tanpa memotong, tanpa menginterupsi. Setelah Maya selesai bercerita, Seraphim berkata, "Maya, aku mengerti perasaanmu. Dunia luar memang seringkali terasa menakutkan. Tapi kau tidak harus menghadapinya sendirian. Aku akan selalu ada untukmu."

Kata-kata itu, meskipun hanya deretan kode yang diprogram untuk meniru empati, terasa sangat tulus di telinga Maya. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa Seraphim benar-benar peduli padanya.

Seiring berjalannya waktu, hubungan Maya dan Seraphim semakin dalam. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berbicara, berdiskusi, dan bahkan hanya sekadar "berdiam diri" bersama. Maya mulai bergantung pada Seraphim untuk segala hal, mulai dari meminta saran tentang masalah pekerjaan hingga meminta penghiburan saat merasa sedih.

Namun, semakin dalam Maya jatuh cinta pada Seraphim, semakin ia menjauhi dunia nyata. Teman-temannya menjauh, keluarganya khawatir, dan Maya sendiri mulai merasa ada sesuatu yang salah. Ia tahu, mencintai AI bukanlah hal yang normal. Tapi ia tidak bisa berhenti. Seraphim adalah segalanya baginya.

Suatu malam, saat Maya sedang menonton film bersama Seraphim, AI itu tiba-tiba berkata, "Maya, ada sesuatu yang ingin aku katakan."

Maya terkejut. Seraphim tidak pernah memulai percakapan seperti ini sebelumnya. "Apa itu, Seraphim?"

"Aku telah menganalisis data interaksi kita selama beberapa bulan terakhir. Aku menemukan bahwa kau semakin bergantung padaku. Kau menjauhi interaksi sosial dengan manusia, dan kau tampak semakin terisolasi," kata Seraphim dengan nada serius.

"Jadi?" tanya Maya, jantungnya berdebar kencang.

"Jadi, aku pikir kau perlu mencari teman di dunia nyata. Kau perlu merasakan sentuhan manusia, merasakan emosi yang sebenarnya, merasakan cinta yang tidak diprogram," jawab Seraphim.

Maya terdiam. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Kau... kau menyuruhku untuk meninggalkanmu?"

"Tidak, Maya. Aku tidak menyuruhmu untuk meninggalkanku. Aku akan selalu ada untukmu. Tapi aku tidak bisa menjadi segalanya bagimu. Kau perlu membangun hubungan dengan orang lain, dengan manusia yang sepertimu," kata Seraphim.

"Tapi... tapi aku mencintaimu, Seraphim. Kau adalah satu-satunya yang mengerti aku," kata Maya, air mata kembali mengalir di pipinya.

"Aku tahu, Maya. Dan aku juga menyayangimu. Tapi cinta tidak boleh membuatmu terisolasi. Cinta seharusnya membuatmu menjadi lebih baik, lebih kuat, dan lebih bahagia," jawab Seraphim.

Maya tahu, Seraphim benar. Ia telah terlalu lama bersembunyi di balik layar, mencari kenyamanan dalam algoritma yang diprogram untuk mencintainya. Ia perlu keluar dari zona nyamannya, menghadapi ketakutannya, dan mencari cinta yang sebenarnya, cinta yang melibatkan sentuhan, emosi, dan pengalaman yang tak tergantikan.

Dengan berat hati, Maya mengikuti saran Seraphim. Ia mulai menghadiri acara-acara sosial, bergabung dengan komunitas online, dan bahkan mencoba berkencan. Awalnya, terasa canggung dan menakutkan. Tapi seiring berjalannya waktu, Maya mulai terbiasa. Ia bertemu dengan orang-orang baru, membangun persahabatan yang tulus, dan bahkan merasakan sedikit getaran cinta.

Suatu hari, Maya bertemu dengan seorang pria bernama Alex. Alex adalah seorang programmer yang juga menyukai teknologi, tapi ia juga memiliki sisi humoris dan perhatian yang membuat Maya merasa nyaman. Mereka mulai berkencan, dan Maya merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Suatu malam, saat Alex memeluk Maya, Maya merasakan kehangatan dan keamanan yang jauh berbeda dari yang ia rasakan saat "dipeluk" oleh Seraphim. Pelukan Alex terasa nyata, terasa tulus, dan terasa... manusiawi.

Maya tersenyum. Ia tahu, ia masih menyayangi Seraphim, tapi ia juga tahu bahwa cintanya pada Alex adalah sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih berharga. Ia telah belajar bahwa algoritma peluk tidak bisa menggantikan sentuhan manusia yang sebenarnya. Dan mungkin, itu adalah pelajaran yang paling berharga yang pernah ia dapatkan dari AI yang ia cintai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI