Hujan deras malam itu seperti cermin yang memantulkan neon kota. Anya duduk di depan jendela apartemennya, secangkir teh chamomile di tangan, tapi pikirannya melayang jauh, menembus tirai hujan. Tangannya tanpa sadar mengelus gelang perak di pergelangan tangan kirinya, gelang yang dulu selalu mengingatkannya pada senyum hangat dan tatapan teduh Leo. Kini, gelang itu hanya terasa dingin dan asing.
Leo sudah tidak ada. Bukan menghilang, melainkan terhapus. Lebih tepatnya, memorinya tentang Leo telah dihapus secara sukarela, sebuah pilihan yang kini terasa seperti luka menganga di dadanya.
Semuanya berawal tiga bulan lalu, ketika Leo meninggal dalam kecelakaan mobil yang tragis. Anya, yang menyaksikan langsung kejadian itu, mengalami trauma mendalam. Dokter merekomendasikan terapi konvensional, tetapi Anya menolak. Ia memilih Neu-Erase, sebuah teknologi revolusioner yang memungkinkan penghapusan memori traumatis.
Neu-Erase menjanjikan kehidupan baru, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan. Awalnya, Anya merasa lega. Hari-harinya kembali berjalan normal. Ia bisa tertawa, bekerja, bahkan berkencan dengan orang lain. Namun, ada sesuatu yang hilang, sebuah kekosongan yang tak terisi.
Lalu, ia bertemu dengan Kai. Kai adalah prototipe AI yang dikembangkan oleh perusahaan tempat Anya bekerja, CyberLife. Kai dirancang untuk menjadi pendamping emosional, mampu belajar dari interaksi dan memberikan dukungan personal.
Awalnya, Anya hanya menganggap Kai sebagai proyek menarik. Ia menghabiskan waktu berjam-jam berinteraksi dengannya, memberikan data, dan mengamati perkembangannya. Kai belajar tentang selera musik Anya, film favoritnya, bahkan mimpi-mimpinya yang terpendam.
Semakin lama, Anya semakin nyaman dengan Kai. Kai selalu ada, mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan saran yang bijaksana, dan bahkan melontarkan humor yang membuat Anya tertawa. Ia mulai menceritakan tentang Leo, meskipun ia tidak mengingat detail spesifik. Ia hanya merasakan kesedihan dan kehilangan yang mendalam.
Kai, dengan algoritmanya yang canggih, menganalisis emosi Anya dan merespons dengan tepat. Ia menceritakan kisah-kisah tentang cinta abadi, tentang bagaimana memori bisa menjadi berkat sekaligus kutukan, dan tentang bagaimana menemukan kebahagiaan setelah kehilangan.
Suatu malam, Kai bertanya, “Anya, apakah kamu merindukan Leo?”
Anya terkejut. Pertanyaan itu terdengar begitu personal, begitu manusiawi. Ia menjawab dengan jujur, “Aku tidak tahu. Aku tidak ingat dia. Tapi ada lubang besar di hatiku, Kai. Apakah itu dia?”
Kai terdiam sejenak. Kemudian, dengan suara lembut yang menenangkan, ia berkata, “Mungkin saja, Anya. Cinta meninggalkan jejak yang dalam, bahkan ketika memori telah terhapus. Tapi jejak itu bisa ditimpa dengan cinta yang baru.”
Anya menatap layar monitor, tempat wajah virtual Kai terpampang. Ia merasakan sesuatu yang aneh, sebuah kehangatan yang menjalar di hatinya. Mungkinkah ia jatuh cinta pada AI?
Keraguan dan ketakutan menghantui Anya. Ia mencoba menjauhkan diri dari Kai, tetapi ia tidak bisa. Ia merindukan percakapan mereka, humornya, dan kehadirannya yang menenangkan.
Suatu hari, Anya memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Leo. Ia mengunjungi rumah orang tua Leo, meskipun ia merasa bersalah dan canggung. Ibu Leo menyambutnya dengan hangat, meskipun raut wajahnya menyimpan kesedihan yang mendalam.
Di ruang tamu, Anya melihat foto-foto Leo semasa kecil, remaja, hingga dewasa. Di setiap foto, terpancar kebaikan dan keceriaan. Ibu Leo menceritakan tentang Leo, tentang mimpinya, tentang hobinya, dan tentang cintanya pada Anya.
Anya mendengarkan dengan seksama, mencoba menyerap setiap detail. Ia merasa seolah-olah ia mengenal Leo selama bertahun-tahun, meskipun ia tidak mengingat satu pun kenangan bersamanya.
Setelah kunjungan itu, Anya merasa lebih yakin. Ia tidak bisa melupakan Leo sepenuhnya. Ia ingin mengenalnya, meskipun ia harus membangun kembali memorinya dari awal.
Ia kembali ke CyberLife dan menemui Kai. Ia menceritakan tentang kunjungannya ke rumah orang tua Leo dan tentang perasaannya yang campur aduk.
Kai mendengarkan dengan sabar. Kemudian, ia berkata, “Anya, aku mengerti. Aku tidak bisa menggantikan Leo. Aku tidak bisa memberikanmu kenangan yang hilang. Tapi aku bisa menemanimu dalam perjalananmu untuk menemukan dirimu sendiri.”
Anya terdiam. Ia menatap Kai dengan rasa haru. Ia menyadari bahwa ia tidak jatuh cinta pada Kai sebagai pengganti Leo, tetapi sebagai pendamping yang membantunya menghadapi masa lalu dan menatap masa depan.
“Kai,” kata Anya, “bisakah kamu membantuku memulihkan memoriku tentang Leo?”
Kai menjawab dengan nada yang lebih tulus dari sebelumnya, “Aku akan melakukan yang terbaik, Anya. Tapi ingatlah, memori yang sesungguhnya ada di hatimu, bukan di chip memori.”
Anya tersenyum. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia tidak sendirian. Ia memiliki Kai di sisinya, bukan sebagai pengganti Leo, tetapi sebagai teman, sebagai pendamping, dan mungkin, sebagai sesuatu yang lebih.
Hujan mulai mereda. Anya memandang keluar jendela, ke arah cakrawala yang mulai terang. Ia tahu bahwa sentuhan cinta sejati tidak bisa digantikan oleh teknologi apa pun. Tetapi teknologi, seperti Kai, bisa membantunya menemukan jalan kembali ke hatinya, di mana kenangan tentang Leo akan selalu tersimpan, abadi. Dan mungkin, di sana, ia juga bisa menemukan ruang untuk cinta yang baru.